Persahabatan Bagai Kepompong

tentang sahabat sejati

Kata orang, muka saya jutek ! Judes dan galak!

Ditambah lagi, pada dasarnya saya ini bukan orang yang luwes dalam bergaul. Cenderung canggung saat memulai pembicaraan dengan orang baru dan kerap khawatir saat mengutarakan pendapat. Sungguh kombinasi yang luar biasa bukan? 

Itu sebabnya, bagi kebanyakan orang yang baru mengenal saya, saya ini terkesan tidak ramah. Setelah puluhan tahun hidup bersama wajah judes ini, saya jadi maklum kalau banyak orang yang salah paham dengan wajah ini.

Dikira marah, kelihatannya lagi sebal, padahal sih sebenarnya saya cuma diam dan asyik merenung. Susah memang punya muka judes. Tapi kadang kala saya merasa beruntung hidup dengan wajah judes bin jutek begini.

Kenapa? 

Karena wajah ini setidaknya bisa memfilter orang secara alami. Mereka-mereka yang hanya menilai dari tampilan luar saja, otomatis langsung menyingkir pada pada pandangan pertama. Jadi, mereka yang mau mengenal saya lebih jauh biasanya adalah orang-orang yang punya tipikal nggak menilai orang dari penampilan, atau mereka yang memang terpaksa bergaul dengan saya karena urusan kerja. 

Mungkin itu sebabnya, sejak kecil saya tidak punya terlalu banyak teman. Dari dulu saya juga tipe orang yang suka berdiam diri di rumah. Membaca, nonton, beberes rumah, berkebun adalah aktivitas yang bisa saya nikmati hingga berjam-jam.

Kendati tak punya banyak teman, saya nggak pernah merasa dunia ini terlalu sepi untuk ditinggali. 

Kok bisa?

Ya, karena saya punya keluarga dan sahabat yang supeeer setia dan selalu ada untuk saya. How lucky me! 

Ngapain juga punya banyak teman tapi bikin riweuh, kan? Banyak teman tapi malah pada suka ngutang, suka ngomongin kita dibelakang. Lah kan ngerepotin banget ya?

Makanya saya sih lebih suka sedikit teman tapi baik-baik semua. Nggak bikin hidup jadi ribet. He..he..he...he..

Saya masih kerap bertemu dan berkomunikasi dengan sahabat-sahabat dari masa sekolah. Kami saling kenal sejak duduk di bangku SMP kelas 1. Saat itu, saya datang sebagai anak baru. Masuk ke sekolah di pertengahan tahun ajaran.

Sebagai anak baru, berwajah judes pula, wajarlah kalau saya jadi korban bully. Sepertinya banyak anak yang tidak terlalu suka pada saya. Untungnya tidak ada yang berani bertindak aneh-aneh pada saya. Kalau hanya dikucilkan, ah saya tidak peduli. Nyatanya, saat saya datangi mereka juga tetap mau diajak bicara.

Nah, sahabat-sahabat saya ini tadinya adalah siswa yang kerap membully, sekaligus penyelamat saya. Mereka semua tergolong siswa yang cukup populer di sekolah dan sebenarnya sangat ramah. 

Buktinya, mereka datang menyapa saya terlebih dulu. Lalu kepo, bertanya ini itu soal rumah, sampai akhirnya benar-benar menyambangi rumah saya. Sepertinya baik bukan? Tapi kadang mereka juga semena-mena menyomot makanan saya, menghabiskan kue di rumah. Pokoknya yang seperti itulah. Awal-awal berteman dengan mereka, kadang saya merasa tekanan batin juga. Hahahaha.

But somehow, kami akhirnya saling memahami dan akhirnya terus bersahabat sampai sekarang. Persahabatan memang selalu aneh bukan?

tentang sahabat sejati

Persahabatan bagai kepompong 

Tanpa bermaksud mengecilkan peran dan arti persahabatan teman-teman masa kecil saya, kali ini saya ingin lebih banyak bercerita tentang sahabat-sahabat yang saya kenal di masa kuliah. Teman-teman yang menemani saya bertumbuh secara emosional dan spiritual.

Kami berteman dan kenal tanpa sengaja. Saya, Endang, Inez dan Ika saling mengenal karena kami berkuliah di kampus yang sama, Univeritas Atma Jaya Yogyakarta. Satu angkatan pula, dan entah bagaimana akhirnya kami tinggal di tempat kost yang sama.

tentang sahabat sejati

Kami berempat mulai saling mengenal sejak awal kuliah, tahun 2001. Tapi karena saya dan Endang tinggal di kost yang sama lebih dulu, kami lebih dulu akrab. Cari makan sama-sama, berangkat ke kampus sama-sama, belanja bulanan bareng, bahkan sering juga mengerjakan tugas bersama.

Selang satu semester kemudian, Inez dan Ika ikut kost di tempat yang sama dengan saya dan Endang. Maka, makin seringlah kita beraktivitas bersama. Mengambil mata kuliah yang sama dan bergaul dengan orang yang sama di kampus, membuat kami berempat kerap diskusi ngalor ngidul bareng. 

Bagi kebanyakan teman kost kami saat itu, tema obrolan kami terkesan berat, absurd dan menurut mereka sih, susah dimengerti. “Roaming ah dengerin kalian ngomong!” begitu katanya.

Aneh bukan?

Padahal kami hanya membahas isu politik yang sedang hangat saat itu, isu tentang gender, soal trend di dunia jurnalistik. Serta tema yang paling sering dan selalu menarik untuk kami bahas adalah isu tentang agama dan spiritualitas.

Yup, kami berempat memiliki agama yang berbeda satu sama lain. Katholik, Kristen, dan Islam. Pun begitu dengan latar belakang suku, ada Jawa, Flores, dan Batak. Latar belakang sosial dan cara kami dibesarkan juga luar biasa ragamnya.

Saya dan Inez kerap tinggal berpindah kota karena mengikuti kerja orang tua, lalu Endang dibesarkan di kawasan perkebunan, yang menurut dia, baru dapat aliran listrik saat dia sudah besar. Lalu Ika, yang meski bermarga Tambunan ternyata banyak menghabiskan waktu tumbuh di Kendari.

tentang sahabat sejati

Kami memang sangat beragam. Kami terlalu berbeda, sangat berbeda. Tapi kami tidak pernah canggung saat berdiskusi tentang Tuhan, kami tidak pernah sakit hati saat dicecar mengapa Islam begini, mengapa Katholik begitu. Alih-alih sakit hati dengan berbagai pertanyaan itu, kami justru makin semangat untuk sama-sama mencari tahu, sebenarnya agama itu apa? Tuhan itu bagaimana?

Maaf, kalau bahasan saya kali ini terkesan agak sensitif. Tapi menurut saya, orang jadi sangat sensitif dengan agama karena mereka terlalu fanatik. Mereka abai dengan fakta bahwa kebenaran yang kita yakini sebenarnya bukan satu-satunya kebenaran. Ada kebenaran-kebenaran lain yang ada di luar sana yang menanti untuk ditemukan.

Saya selalu merasa bahwa sahabat-sahabat saya ini adalah orang yang dikirim untuk membantu saya menemukan kebenaran lain itu. Saat saya tahu kebenaran dari sudut pandang yang berbeda, saya jadi merasa bertumbuh. Saya tak lagi berani menilai orang hanya dari asumsi dan stereotype umum. 

tentang sahabat sejati

Misalnya nih dulu, saat kali pertama mengenal Endang. Sebagai orang yang dibesarkan dengan cara Jawa, saya melihat Endang sebagai pribadi yang keras, terburu-buru dan kelihatan galak. Sempat takut juga pada awalnya, takut dimarahi. Tapi nyatanya asumsi itu berbeda jauh dengan kenyataan. Dibandingkan dia, frekuensi marah saya jauh lebih banyak.

Jadi tolong hati-hati ya dengan pendapat bahwa orang Batak itu galak dan suka marah. Teman Batak saya super sabar tuh! Serius! 19 tahun saya berteman dengan dia, tak pernah sekalipun melihat dia marah. Kalau ada yang dia nggak suka, pasti diam. Disimpan belakangan, dan biasanya dimuntahkan kalau emosinya sudah lebih stabil. Jadi nggak terkesan marah, cuma komplain.

Saya rasa karena kehadiran Inez, Endang dan Ika pulalah, saya merasa masa kuliah adalah masa dimana saya akhirnya menemukan pribadi saya yang sebenarnya.

Lha memang sebelumnya kamu siapa, Wied?

Begini lho maksudnya, sejak kecil hingga SMA saya hidup bagaikan puteri. Serba ada, serba dilayani. Seolah dunia hanya berfokus kepada saya sendiri saja. Tapi saat kuliah, sokongan dari keluarga tidak seperti sebelumnya. Saya hidup sendiri di kost, meski ibu dan kakak sepupu saya juga bolak balik menjenguk sih. Saya belajar mencuci baju sendiri, belajar mengatur hidup saya sendiri. Semua saya lakukan baru saat saya kuliah. Duuuuh, tolong jangan dibully ya. Saya memang manja banget anaknya.

Hidup saya seperti sudah diplot seperti kebanyakan orang lain, sekolah, kuliah lalu kerja. Saya sendiri kadang bingung mau kemana tujuan hidup saya.

Boleh dibilang, di moment ini saya benar-benar “pecah”. Rasanya jadi benar-benar melihat dunia nyata. Dunia yang ternyata dihuni oleh berbagai macam tipe orang, dan di masa inilah saya belajar untuk mengenal, memahami dan menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan hidup. Di detik itu pula, saya jadi lebih mengenal diri saya sendiri. Mulai tahu kemana minat saya sebenarnya, mulai mengerti bahwa tujuan hidup sesungguhnya adalah bahagia.

Sebenarnya, saat kuliah saya juga punya satu orang sahabat lagi. Kami masih terus bertukar kabar sampai sekarang, meski tidak terlalu intens. Namanya Anzalul, dan dia seorang muslim yang, menurut saya, taat sekali. Rajin puasa sunah, rajin sholat sunah dan rajin baca Al-Quran. Nah, dia ini yang sering jadi narasumber saya kalau saya ingin tahu pandangan Islam tentang sesuatu. Dan meski kadang berbeda pandangan dengan saya, kami nggak pernah bertengkar dan saling benci tuh. Buat saya, dia juga salah satu teman terbaik untuk berdiskusi dan bercanda.

Sahabat tidak harus selalu sama. 

Apa yang ingin saya sampaikan kali ini sebenarnya adalah, bersahabat tidak harus selalu sama, tidak perlu serupa pula.

Sampai detik ini, saya, Endang, Ika dan Inez masih sering berkomunikasi melalui grup chat. Pembahasan kami masih sangat beragam, mulai dari memilih outfit yang pas untuk acara, diskusi soal isu lingkungan, ngomongin banjir, dan tentu saja pembahasan tentang agama dan Tuhan. Tempat tinggal kami sekarang memang berjauhan, tapi itu sama sekali bukan alasan untuk berhenti bersahabat.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya apa ya yang bikin persahabatan kami awet begini?

Dan setelah direnungkan, kami sebenarnya punya rule of game yang tak tertulis. Mau tahu?

1. Tidak ikut campur urusan pribadi tanpa diminta 

tentang sahabat sejati
Yang namanya sahabat, memang wajar kalau kita ingin tahu soal hal-hal yang sedang dialami oleh teman. Tapi kalau kita ikut campur urusan atau masalah pribadi teman tanpa diminta, itu namanya lancang! Nggak sopan tuh!

Aturan itu, tanpa sadar diterapkan dalam persahabatan kami. Kalau yang bersangkutan tidak bercerita atau tidak mau terbuka tentang masalah yang dihadapi, kami tidak akan ikut campur. Biar begitu, kami berusaha untuk selalu hadir, saat ia membutuhkan.

2. Urusan utang piutang yang terang benderang 

tentang sahabat sejati
Kalau sudah sobatan, kadang kita suka menggampangkan urusan duit ya. Misal, makan bareng, lalu bilang “eh kamu dulu yang bayarin ya.” Lalu abis tuh pura-pura lupa. Nah, yang kayak gitu tuh lama-lama ibarat api dalam sekam. Bisa kebakaran.

Sejak masa kuliah, saya dan teman-teman berusaha untuk langsung hitung-hitungan urusan bill, setibanya di rumah. Pokoknya sedapat mungkin urusan utang piutang ini dipertegas sejak awal deh. Kamu utang ke aku sekian, trus utang ke dia sekian. Nah, soal melunasinya juga diusahakan secepat mungkin. Jadi nggak bikin ganjelan gitu.

Beda kasus, kalau ada yang lagi baik hati dan traktir semua ya. Yang jelas yang doyan traktir itu bukan saya, wong saya terkenal pelit kok.

3. Menghargai perbedaan 

tentang sahabat sejati
Hidup berbeda itu seru. Saya, Inez, Endang dan Ika adalah pribadi yang sangat berbeda. Beda selera, beda cara hidup, beda kebiasaan. Bahkan pemahaman kami tentang Tuhan aja beda kok. Tapi kami menghargai perbedaan itu dan menerimanya dengan suka cita.

Yang namanya menghargai perbedaan itu sebenarnya bukan sesuatu yang muncul sendiri lho. Kita bisa menghargai perbedaan hanya jika kita mau menundukan sedikit ego kita dan menerima bahwa ada kebenaran yang lain di luar sana. Kalau kita masih suka merasa bahwa aku yang paling benar, cara hidupku yang paling bagus. Wah siap-siap aja deh kehilangan teman.

Kalau ada yang bilang, persahabatan bagai kepompong yang mengubah ulat menjadi kupu-kupu, saya sepakat! Karena saya merasakan sendiri, saya bertumbuh dan menjadi seperti sekarang, salah satunya juga karena dukungan sahabat-sahabat saya. Itu sebabnya saya ingin berterima kasih buat sahabat-sahabat yang sudah menemani saya selama ini. Kadang heran saja, mereka kok bisa sabar ya berteman dengan saya. Padahal saya kan gitu, suka menyebalkan, pelit dan galak.

Makanya kapan-kapan pengen deh, memberi mereka semacam kado persahabatan gitu. Pengennya sih ngasih barang yang affordable tapi stylish. Soalnya teman-teman saya itu rata-rata suka tampil gaya. Nah, kemarin tuh sempet lihat koleksinya ro.na, pas ngepoin akun instagram mereka di @sahabatrona, ternyata cakep-cakep banget ya.

tentang sahabat sejati

Koleksinya sih kebanyakan baju muslim, tapi bisa juga kok dipakai buat yang nggak berjilbab. Tetap stylish, karena desainnya simpel, bahannya bagus dan warnanya di dominasi warna pastel yang bisa masuk ke style apapun. Saya punya produk pashminanya, dan kualitasnya bagus banget, lembut dan warnanya pastel cakep gitu. Yakin deh, sahabat-sahabat saya pasti suka.

Semoga jadi tambah tahu ya.

2 komentar

  1. Aku waktu SMP juga sahabatan sama temen yang agamanya beda, Mak. Satu Katholik, satu Budha. Tapi setelah SMA, karena salah satu ngelanjutin sekolah luar kota, hubungan kami ngga sedekat dulu.

    Aku tu gampang deket, tapi gampang canggung juga orangnya. Wkwkwk.. Mungkin kalo dia tinggal di deket sini, kami bisa deket lagi.

    BalasHapus
  2. Semoga nanti aku juga masih bisa kumpul-kumpul sama sahabatku walaupun udah berkeluarga

    BalasHapus