Dalam 63 hari penayangan, Jumbo resmi jadi film Indonesia terlaris sepanjang masa. Tapi di balik angka fantastis itu, saya menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar rekor, yaitu tontonan yang menghangatkan hati dan pelajaran kecil soal relasi, kehilangan, dan betapa pentingnya jadi pendengar yang baik.
Mungkin pendapat saya agak beda dari kebanyakan orang. Tapi setelah nonton Jumbo, menurut saya, film ini bukan sekadar cerita tentang anak yang di-bully.
Don, si tokoh utama memang kerap dipanggil Jumbo oleh teman-temannya, lantaran badannya yang sedikit tambun. Tapi, menurut saya, bukan itu sentral ceritanya. Lebih dalam lagi, Jumbo berkisah tentang bagaimana kita belajar menghargai relasi, merawat persahabatan, dan menghadapi kehilangan.
Saat saya menuliskan artikel ini, lebih dari 10 juta orang telah menonton petualangan Don dan teman-temannya. Dan saya adalah salah satu mereka, para penonton itu!
Jumbo memang film istimewa!
Mungkin inilah satu-satunya animasi lokal yang 100% pengerjaannya dilakukan oleh kreator lokal Indonesia. Setidaknya begitu yang saya baca dari berbagai artikel yang mengulas Jumbo.
Sebagai film animasi Indonesia terlaris, Jumbo memang nggak terlepas dari kritik. Ada yang bilang ceritanya nanggung. Ada yang bilang ceritanya nggak sesuai akidah agama tertentu. Namun apapun itu, Jumbo berhasil membuktikan diri bahwa ia dicintai.
Kalau boleh jujur, saya sebenarnya nonton Jumbo karena FOMO. Tiap kali scroll medsos, reviewnya bertebaran. Teman-teman se-circle, ibu-ibu di grup wa, bahkan sampai grup keluarga, semuanya ngomongin Jumbo. Bahkan nggak sedikit juga teman saya yang mengklaim diri sebagai buzzer gratisan Jumbo. Secinta itu mereka dengan film ini.
Ditambah lagi, soundtrack ‘Selalu Ada di Nadimu’ benar-benar bikin hati nyess. Liriknya, musiknya, bikin kita kangen dengan orang tua, bikin kita makin sayang sama anak. Relate dengan berbagai generasi. Serius deh, Jumbo ini seperti virus yang menginfeksi semua orang.
Digadang sebagai film petualangan fantasi, animasi yang jadi debut sutradara Ryan Adriandhy ini menggandeng banyak nama besar sebagai voice actor. Ada Bunga Citra Lestari, Ariel Noah, Ratna Riantiarno, Kiki Narendra, Angga Yunanda, dan banyak lagi.
Don, sebagai tokoh utama dalam kisah Jumbo diisi suaranya oleh 2 aktor berbakat masa depan. Yaitu Den Bagus Satrio Sasono sebagai Don kecil dan Prince Poetiray sebagai Don yang berusia 10 tahun. Ada juga Yusuf Ozkan sebagai Nurman, Graciella Abigail sebagai Maesaroh alias Mae, Quinn Salman sebagai Meri dan Muhammad Adhiyat sebagai Atta.
Sebelum lanjut membahas ceritanya, yuk simak dulu sinopsis Jumbo.
Sinopsis
Don, seorang anak yatim piatu. Ayah Ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat Don berusia 4 tahun. Meski kerap merindukan orang tuanya, Don tak pernah kesepian. Ia diasuh oleh Oma yang penyayang dan selalu ditemani dua sahabatnya, Nurman dan Mae, yang setia.
Nggak heran kalau Don tumbuh menjadi anak yang ceria.
Walau demikian, tak dipungkiri bahwa dalam hatinya, Don selalu merindukan kehadiran kedua orang tuanya. Dan tokoh utama kita yang kini sudah berusia 10 tahun, punya cara yang unik untuk mengatasi rasa kehilangannya.
Apakah itu?
Mendongeng! Ya, Don senang sekali mendongeng. Ceritanya selalu sama, tentang Ksatria di Pulau Gelembung.
Bisa dibilang, dongeng yang dibacakan Don kepada teman-temannya ini adalah cerita eksklusif, karena dibuat oleh ayah dan ibu Don sesaat sebelum keduanya meninggal.
Sayangnya, Don mendongeng tak kenal waktu dan nggak mau baca situasi. Kapan saja dia mau, dia akan mengambil spot dan mulai mendongeng. Nggak peduli, apakah teman-temannya saat itu lagi mood mendengarkan atau tidak.
Sudah pasti dong, banyak teman sebaya di lingkungan Don yang malas bergaul dengan dia. Hanya Nurman, Mae dan 3 kambing peliharaan Nurman yang betah mendengarkan cerita Don berulang kali.
Kekesalan anak-anak Kampung Seruni pada Don, membuat Don sering tersisihkan dalam permainan bersama. Saat bermain kasti, misalnya, mereka ogah-ogahan membiarkan Don ikut bermain. Namun, sebagai anak ceria yang juga butuh pengakuan dari teman-temannya, Don tak keberatan kalau harus berjuang lebih keras demi menyenangkan teman-temannya.
Contoh, saat bola kasti yang mereka mainkan terlempar keluar jauh ke luar lapangan, Don dengan segala upaya mengejar bola itu. Sayang, usaha kerasnya itu justru bikin sebagian anak-anak Kampung Seruni, yang dipimpin Atta, makin kesal dengan Don.
Jadilah Don, diolok Jumbo oleh mereka, karena badannya yang memang agak tambun.
Hingga satu hari, digelar Festival Seni di Kampung Seruni. Semua orang boleh berpartisipasi. Penampil terbaik akan mendapat hadiah uang tunai yang lumayan.
Don melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk mendapat pengakuan dari teman-temannya. Lebih dari itu ia ingin melestarikan cerita indah yang ditulis oleh ayah dan ibunya. Walau awalnya dia agak ragu sih untuk ikutan festival, dukungan dari Oma, Nurman dan Mae, membuatnya mantap untuk tampil di festival.
Di saat yang sama, Atta juga mau mendaftar ikut festival. Beda dengan Don, motivasi utama Atta mengikuti festival kali ini semata karena hadiah uang.
Atta seorang yatim piatu, ia hanya tinggal bersama kakak laki-lakinya, Acil.
Kehidupan mereka bergantung pada pendapatan dari tempat reparasi elektronik yang dijalankan Acil. Hasilnya tidak seberapa, ditambah lagi, kaki Acil patah dan butuh pengobatan dengan biaya besar.
Niat Atta, hadiah dari festival nanti akan digunakan untuk membiayai pengobatan abang kesayangannya itu. Ia percaya diri dengan kemampuannya merakit barang elektronik.
Setiba di tempat pendaftaran, kuota peserta ternyata sudah penuh. Atta yang datang duluan, langsung ditolak panitia. Meski kecewa, Atta berusaha legawa. Tapi dia nggak langsung pulang. Ia menghabiskan waktu dengan nongkrong tak jauh dari tempat pendaftaran.
Tak lama berselang, Don, ditemani Nurman dan Mae datang mendaftar. Awalnya, mereka pun ditolak, tapi disaat bersamaan panitia dapat kabar ada satu peserta mengundurkan diri. Satu tempat kosong tersedia, dan pendaftaran Don diterima.
Melihat hal ini, Atta emosi. Meski semua ini hanya karena keberuntungan, tetap saja Atta merasa situasinya nggak adil. Ditambah lagi, dia memang nggak suka dengan Don.
Saking kesalnya, Atta berusaha menggagalkan usaha Don untuk tampil di festival. Ia merebut paksa buku dongeng kesayangan Don. Mungkin dia pikir, kalau aku nggak bisa ikut festival, Don juga nggak boleh ikut festival!
Dengan segala daya upaya, Don mencoba mengambil kembali bukunya. Sayangnya, Atta yang kuat dan gesit ternyata memang bukan tandingan Don, Nurman dan Mae.
Cara biasa nggak berhasil, Don dan kedua sahabatnya mulai mengatur rencana untuk mengambil kembali buku dongeng itu. Mereka mendiskusikan rencana itu di bangunan tua kosong di pinggiran Kampung Seruni.
Siapa sangka, ternyata ada yang lain yang memata-matai diskusi ketiga sahabat ini. Si mata-mata itu bernama Meri. Dia bukan manusia, Meri adalah hantu gadis kecil yang gentayangan. Ia dipisahkan secara paksa dengan arwah kedua orang tuanya oleh sesosok makhluk bertudung hitam.
Meri butuh bantuan Don, Nurman dan Mae untuk mencari kedua orang tuanya. Maka ia pun menawarkan diri untuk membantu Don mengambil kembali buku dongeng itu dari Atta. Mereka sepakat, setelah buku dongeng kembali dan pementasan usai, Don akan membantu Meri mencari orang tuanya.
Singkat cerita, buku dongeng berhasil direbut kembali. Pementasan Don pun berjalan lancar. Ia bahkan berhasil memenangkan festival. Kini giliran Don menepati janjinya pada Meri. Sayang, Don malah ingkar janji. Ia malah lebih fokus pada persiapan pementasan berikutnya, dan memutuskan menunda pencarian orang tua Meri, padahal waktu Meri tak banyak. Persislah kayak orang-orang yang suka amnesia kalau giliran ditagih janjinya. Jawabannya, iya iya melulu tapi nggak pernah ditepati!
Konflik dan keseruan film pun dimulai dari sini. Kalau kalian penasaran, tonton sendiri saja filmnya.
Don, si Pendongeng yang Tak Selalu Didengar
Bagusnya film Jumbo, tidak ada tokoh jahat di sini. Sebagai penulis, Ryan memberi latar belakang dan alasan yang masuk akal untuk tindakan tiap tokoh. Hal ini membuat saya sebagai penonton akhirnya paham dan maklum pada keputusan para tokoh.
Sebagai tokoh utama, Don tidak ditampilkan sebagai anak yang sempurna. Dia adalah sosok yang di awal cerita digambarkan sebagai anak yang merasa dunia hanya berputar di sekelilingnya.
Kelihatan kok, saat dia bersikeras bercerita meski dia lihat teman-temannya tak antusias dan bosan dengan ceritanya. Keegoisan Don, juga terlihat ketika ia mengabaikan janjinya pada Meri. Bahkan di situasi genting, prioritasnya masih soal pertunjukan dan buku dongeng yang ditinggalkan orang tuanya.
Nggak heran kalau dia akhirnya juga dijauhi oleh dua sahabatnya, Nurman dan Mae.
Pun begitu, Jumbo memberi akhir berupa pelajaran yang bermakna dan indah kepada Don.
Sebuah pelajaran untuk mendengarkan orang lain, sebelum kita menuntut untuk didengarkan.
Sungguh, pelajaran bermakna yang nggak hanya penting buat anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang sering lupa untuk mendengarkan.
Tokoh lain yang menarik perhatian saya di film ini adalah Atta. Musuh bebuyutan Don, yang ternyata menjalani kehidupan yang lebih menyedihkan daripada Don. Atta, bisa dibilang sebagai representasi orang yang sering disalahpahami di masyarakat. Dianggap nakal, kasar, jahat, padahal mereka sebenarnya hanya melampiaskan perasaan karena kondisi hidup yang buruk.
Saya suka semua tokoh di cerita ini. Tapi satu tokoh yang, menurut saya, layak jadi scene stealer di film Jumbo adalah, Nurman.
Nurman yang selalu pasang senyum dan jadi garda terdepan membela dan menolong temannya terlihat sangat menyenangkan.
Meski latar belakangnya hanya diceritakan sekilas, sebagai penonton, saya bisa mendapat gambaran bahwa kehidupannya tak lebih baik dari Don dan Atta.
Pun begitu, nggak seperti Don yang self-oriented dan Atta yang gampang emosi, Nurman tumbuh jadi sosok yang setia kawan, selalu cerita dan positive thinking. Semoga kapan-kapan bisa dipertimbangkan untuk bikin spin-off cerita si Nurman.
Secara keseluruhan, saya menilai, Jumbo memang layak jadi film terlaris. Kisahnya sederhana, konfliknya jelas dan terselesaikan tuntas juga. Animasinya bagus, cukup memanjakan mata.
Kalaupun ada yang agak mengganjal, itu hanya di bagian penyelesaian masalah Meri dan tokoh bertudung hitam. Kenapa? Karena motivasi si tudung hitam memang agak susah dipahami oleh anak-anak. Bahkan saya sebagai orang dewasa saja agak heran dengan motivasi si tudung hitam ini.
Tapi ya sudahlah. Toh tanpa tahu hal itu, adegan kejar-kejaran antara geng Don dan si tudung hitam cukup seru untuk diikuti.
Semoga jadi tambah tahu ya...
Tidak ada komentar