Cagar Budaya Indonesia : menggali kembali ceceran sejarah yang hilang


Di lebih dari 2,5 abad perjalanan hidupnya, Solo sepatutnya menyimpan banyak rekaman cerita masa lalu. Perpaduan antara sejarah kelam dan keemasan yang memberi pelajaran penting bagi warga Solo masa kini.

Namun apa lacur, nyatanya rekaman-rekaman jejak perjalanan panjang itu kini kian tergerus modernisasi, sebagian hilang tak berbekas, sebagian lagi terlupakan. Apa boleh buat, kesadaran untuk mencintai cagar budaya sebagai penghormatan masa lalu memang sangat rendah. Tak heran banyak aset bersejarah kini tak terselamatkan, rusak dan hilang. Tak ketahuan nasibnya.

Keprihatinan akan lenyapnya jejak-jejak leluhur inilah yang dulu mendorong saya untuk membuat artikel tentang cagar budaya yang terabaikan di Solo. Beberapa bagian tulisan ini sudah sempat dimuat di Harian Umum Solopos, sekitar 10 tahun silam. Namun saya selipkan kembali di blog ini dengan tambahan fakta teraktual serta beberapa informasi off the record yang tak termuat saat itu.

Mudah-mudahan saja, tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi siapapun, yang terdampar dan membaca artikel ini, untuk selalu menjaga cagar budaya sebagai warisan leluhur yang tak ternilai harganya.

Hidup segan, mati pun enggan 

Sebagai kota tua dengan sejarah yang sangat panjang, Solo memiliki banyak sekali bangunan dan kawasan cagar budaya. Coba saja telusuri sepanjang jalan utama Solo, Jalan Slamet Riyadi. Maka dengan mudahnya kita akan melihat deretan bangunan tua bersejarah. Sebagian masih terawat dengan baik, dialih fungsikan menjadi toko, museum, rumah dinas walikota, gedung pertemuan dan banyak lagi.

Arsitekturnya pun cukup berwarna. Ada bangunan yang kental dengan nuansa kolonial, adapula yang menonjol dengan arsitektur Jawa, namun tak sedikit pula bangunan yang memadukan kedua unsur itu, kolonial dan Jawa.

Limabelas tahun yang lalu saat saya pertama kali menginjakan kaki di Solo, banyak diantara bangunan cagar budaya yang berada dalam kondisi terabaikan. Saya sempat mencari tahu fakta detail tentang hal ini ke dinas terkait saat itu. Saya bertanya mengapa begitu banyak bangunan kuno di Solo yang terabaikan?

Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sebagai representasi kekuasaan dan kerap dianggap paling bertanggung jawab atas semua ini, mengaku telah berupaya keras dalam penyelamatan benda cagar budaya. “Secara bertahap Pemkot sudah melakukan berbagai upaya penyelamatan cagar budaya, khususnya 70 bangunan dan kawasan kuno bersejarah yang terdaftar dalam SK Walikota No 646/116/1/1997,” terang Arif Nurhadi yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang Kawasan Benda Cagar Budaya Dinas Tata Kota Solo.

Ditambahkan dia selain melakukan pendataan dan penetapan bangunan cagar budaya, pihak Pemkot Solo saat itu juga telah berupaya untuk melakukan pelestarian bangunan kuno bersejarah melalui empat metode, yaitu :

  1. Rehabilitasi, yaitu dengan memperbaiki bagian-bagian bangunan tanpa menghilangkan bentuk asli bangunan.
  2. Revitalisasi, alias mengubah fungsi bangunan tanpa melakukan perubahan besar.
  3. Rekonstruksi, yang berarti pembangunan kembali bangunan kuno bersejarah sesuai bentuk aslinya, dengan menggunakan material baru.
  4. Preservasi, atau perlindungan total, dalam hal ini bangunan tidak boleh mengalami pembaharuan atau perombakan sedikit pun. 
Sayang, tak semua bangunan yang tercantum dalam SK Walikota tersebut bernasib baik dan mendapat penanganan dari Pemkot. “Untuk melakukan upaya pelestarian itu, kami masih terkendala minimnya anggaran dan kepemilikan aset bangunan, jadi memang belum bisa seluruhnya tertangani,” keluh dia saat itu.

Memang, dari 70 bangunan yang terdaftar dalam SK Walikota masa orde baru itu, sekitar 60 % diantaranya dimiliki oleh swasta, termasuk diantaranya Benteng Vastenburg, dan eks RS Kadipolo. Meski sebenarnya kepemilikan aset bersejarah oleh swasta tak dilarang oleh undang-undang, hal tersebut cukup mengganjal upaya pelestarian.

Ini lantaran tak seluruh pemilik memiliki kesadaran yang cukup terhadap nilai sejarah bangunan. Lebih dari itu, minimnya tenaga ahli yang memahami konstruksi sejarah bangunan juga menjadi tantangan lain yang harus dihadapi Pemkot dalam upaya pelestarian benda kuno bersejarah.

Kebanggaan sejarah yang terlahir kembali 

Sekitar 15 tahun berselang sejak saya mulai mengulik tentang bangunan cagar budaya terabaikan di Solo, kini sebagian bangunan itu sudah lebih baik kondisinya.

Sebut saja bangunan Omah Lowo yang terletak di pojok perempatan Purwosari. Dulu, gedung berarsitektur Kolonial, yang menurut sejarah sempat digunakan sebagai markas gerilyawan, ini mangkrak tak terurus. Satu-satunya penghuni setia bangunan ini adalah sekelompok kelelelawar yang menjadikan gedung itu tempat tinggal mereka.

cagar budaya solo
sumber foto : republika online

Itu pula sebabnya, masyarakat sekitar menyebutnya Omah Lowo yang berarti Rumah Kelelawar. Suasana yang suram membuat Omah Lowo kerap diasosiasikan dengan bangunan angker yang dihuni makhluk tak kasat mata.

cagar budaya solo
sumber foto : facebook @kotasolo

Namun kini, bangunan ini mulai tampak cerah. Saat saya melewati gedung ini beberapa bulan silam, tampak beberapa pekerja mulai melakukan revitalisasi. Konon, bangunan ini nantinya akan dialih fungsikan menjadi showroom batik.

Kabar menggembirakan juga tampak dari Benteng Vastenburg yang dulu sempat terabaikan. Di masa lalu, penyelamatan Benteng Vastenburg sempat terkendala karena kepemilikannya yang ada di tangan swasta. Ya, benteng bersejarah yang seharusnya dikuasai dan dikelola negara ini memang sempat jatuh ke tangan seorang pengusaha.

cagar budaya solo
sumber foto : pesona travel

Untungnya di tahun 2016, Pemkot Solo berhasil mengambil alih pengelolaan bangunan yang dimiliki secara kolektif oleh PT Benteng Gapuratama, PT Benteng Perkasa Utama, Perusahaan Pengelola Aset Bank Danamon dan pengusaha Robby Sumampauw. Benteng yang suram dan lagi-lagi diklaim angker, akhirnya dipercantik dan dialih fungsikan sebagai tempat pertunjukan seni budaya.

Terlupakan dan dianggap angker 

Sayangnya tidak semua bangunan bersejarah Solo seberuntung itu.

Sejumlah aset bersejarah Solo lainnya, hingga kini terpaksa menghadapi takdir yang memilukan. Bangunan-bangunan itu, dulu dipuja, dibangun dengan cucuran keringat, bahkan dipertahankan dengan darah. Tapi kini bangunan yang menyimpan memori perjuangan dan kehidupan masa lalu itu tak lebih dari bangunan tua, terabaikan dan terlupakan.

Salah satunya adalah bangunan bekas Rumah Sakit Kadipolo di Jalan Radjiman, Panularan, Laweyan. Bangunan ini sesungguhnya tercatat dalam Surat Keputusan Walikota sebagai bangunan cagar budaya. Tapi itu ternyata tak menjamin bangunan ini mendapat perlindungan sebagaimana mestinya.
cagar budaya solo
Rumah Sakit Kadipolo. sumber foto : gambarjadul.blogspot.com

Alih-alih mendapat perlindungan, bangunan rumah sakit yang berdiri di tanah seluas 2,5 hektare tersebut malah terkesan kumuh. Bagian depannya, digunakan pedagang kaki lima untuk menjajakan barang dagangan.

Sepuluh tahun lalu, saya sempat masuk ke bagian dalam bangunan yang konon angker ini. Menurut berita yang tersebar, dari dalam bangunan eks RS Kadipolo ini sering terdengar suara sinden yang melantunkan tembang Jawa. Kadang juga terdengar suara gamelan. Ah, untungnya saya tidak terlalu peduli dengan cerita-cerita horor bin mistik semacam itu.

Saat itu, tidak sulit menelisik bagian dalam bekas bangunan rumah sakit yang didirikan pada masa kekuasaan Paku Buwono X itu. Pasalnya, meski pintu utama gedung itu terkunci rapat, pintu samping terbuka lebar dan bebas dilalui. “Gedung ini sudah kosong sejak sekitar 25 tahun lalu. Dulu saya sering mangkal di sekitar sini. Tapi sejak gedung ini kosong, saya tinggal di gedung ini,” ujar Karno, seorang penjahit keliling yang mangkal di depan gedung eks RS Kadipolo.

Konon, gedung yang sempat dijadikan markas klub bola Arseto Solo ini sempat dimiliki Sigit, putra kedua mantan Presiden Soeharto. Meski bangunan tua, konstruksi gedung eks RS Kadipolo masih sangat kokoh. Sejumlah bangsal dan ruangan masih tampak utuh meski terlihat kumuh. Tak heran banyak pendatang yang waktu itu memanfaatkan gedung tua itu sebagai tempat tinggal.

Sebagai bangunan tak bertuan, gedung eks RS Kadipolo tak luput dari aksi pencurian. Menurut Karno, gedung itu dulunya dihiasi jendela-jendela besar dengan rangka kayu jati, namun rangka jendela itu hilang.

Setidaknya nasib RS Kadipolo masih lebih baik dibandingkan RS Mangkubumen yang kini sudah rata dengan tanah. Berganti dengan bangunan apartemen Solo Paragon. Mendiang sejarahwan terkenal Solo, Sudarmono SU sempat menuangkan uneg-unegnya kepada saya. “Setelah ada kebijakan memindahkan RS daerah ke Jebres, RS Mangkubumen kosong, tak terawat. Sekarang, sudah terlambat untuk melihatnya karena gedungnya sudah rata dengan tanah. Dan berganti jadi apartemen dan mall,” kata Sudarmono yang rumahnya berada persis di depan eks RS Mangkubumen itu.

Bangunan bersejarah lain yang masih terabaikan adalah monumen perjuangan di Jalan Bayangkara, Panularan. Monumen yang dibangun untuk memperingati perundingan case fire antara Indonesia yang diwakili Letkol Slamet Riyadi dengan Belanda itu, tak terurus. Berdiri di halaman rumah tua tak terawat, monumen ini luput dari perhatian.
cagar budaya solo
sumberfoto: situsbudaya.id

Saat itu saya sempat mengonfirmasi keberadaan monumen ini pada pihak kelurahan setempat. Tapi mereka bahkan mengaku belum mengetahui keberadaan monumen. “Masyarakat sekitar tidak pernah menyinggung keberadaan monument itu. Beberapa sesepuh kampung dan LPMK juga tidak tahu soal monumen itu,” ujar Tri Broto W yang saat itu menjabat sebagai Lurah Panularan.

Ironis, pasalnya monumen yang juga tercatat dalam SK Walikota No 646/116/1/1997 itu didirikan untuk memperingati perjanjian gencatan senjata dan pengembalian Kota Solo ke tangan RI pasca agresi militer Belanda II, setelah melalui empat hari pertempuran besar yang dikenal sebagai serangan umum Kota Solo. “Perjanjian case fire itu dilakukan di Gedung Pertani di Jalan Radjiman, tapi saya tidak tahu ada monumen peringatan case fire di sekitar lokasi itu,” kata Sudarmono saat saya mengonfirmasi keberadaan monumen tersebut.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa gedung tempat penandatangangan perjanjian gencatan senjata itu sendiri, kini tak lagi bebas dikunjungi lantaran status kepemilikannya sudah beralih ke swasta.

Bila monumen perjuangan Panularan terabaikan, nasib tugu Cembengan di Jebres, tak jauh dari lokasi Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), jauh lebih mengenaskan. Tak sekadar terlupakan, tugu Cembengan yang konon dibangun pada masa PB X, kini tinggal kenangan, tergusur karena kepentingan pelebaran jalan. Beberapa momumen dan tugu lain yang tercantum dalam SK Walikota seperti monumen Sondakan dan pejuang Tentara Pelajar (TP), juga tak mudah dilacak keberadaannya, sebagian karena telah hilang, sebagian lagi barangkali masih ada namun sulit ditemukan karena nyaris tak ada informasi mengenai keberadaannya.

Praktik jual beli cagar budaya di masa lalu 

Jual beli aset bersejarah, bukan barang baru di Solo. Praktik tak bertanggung jawab inilah yang belakangan menjadi akar permasalahan terkendalanya perlindungan bangunan kuno bersejarah dan cagar budaya di Solo.

Merunut asal usulnya, semula ada dua status kepemilikan bangunan cagar budaya di Solo. Pertama adalah bangunan-bangunan kuno milik pemerintah kolonial yang diambil alih oleh Negara pada masa kemerdekaan atau bangunan fasilitas publik, misalnya saja Benteng Vastenburg, Loji Gandrung, Museum Radya Pustaka, Kantor Pertani, Gedung Bank Indonesia, dan sejumlah stasiun.

Sementara yang kedua adalah bangunan milik keluarga kraton baik Mangkunegaran, Kasunanan dan beberapa bangunan pribadi seperti bangunan di Kampung Baluwarti, Kampung Laweyan dan bangunan kraton.

Praktik jual beli aset sejarah ini, konon marak terjadi di era pemerintahan mantan presiden Soeharto. Pada periode itulah sejumlah pengusaha nasional kelas kakap yang notabene memiliki kedekatan dengan penguasa, diketahui membeli aset bersejarah Solo. “Jual beli itu sebagian besar terjadi pada masa Orba, tepatnya dekade 1980-an dan 1990-an. Yah, pada waktu kekuasaan Orba sedemikian besar, asal ada uang dan punya kedekatan dengan khusus dengan pemerintah, tentu tak sulit membeli bangunan bersejarah,” ujar Ir Kusumastuti dari arsitek sekaligus pencinta Cagar Budaya Solo yang sempat berbincang dengan saya saat itu.

Keterlibatan para petinggi militer, ditengara mempermulus hasrat sejumlah pengusaha memiliki bangunan bersejarah Solo sebut saja Benteng Vastenburg, RS Mangkubumen, dan beberapa bangunan bersejarah lainnya. Informasi sejumlah saksi mata menuturkan, pasca pemerintahan Walikota Oetomo Ramelan, yang notabene tokoh PKI, Solo berturut-turut dipimpin oleh walikota dari garis militer. Selama periode inilah, kekuasaan ABRI di Solo, saat itu merajalela.

Kekuasaan militer waktu itu tak hanya terbatas pada pertahanan keamanan, tetapi juga hingga lini penguasaan aset Negara. Tak heran, dengan kompromi-kompromi bisnis, beberapa aset bersejarah pun beralih tangan ke tangan swasta. Tentu saja dengan sedikit bentuk pemaksaan atas nama kekuasaan. “Penjualan Benteng Vastenberg, saat itu tidak melalui persetujuan DPRD Solo, tetapi langsung ke pemerintah pusat melalui Hankam,” ujar Maryanto, mantan Ketua Fraksi Karya Pembangunan DPRD Solo masa Orba.

Maryanto mengenang, penjualan Benteng Vastenberg terjadi pada masa pemerintahan walikota HR Hartomo. Tanpa melalui konsultasi dengan DPRD setempat, benteng peninggalan pemerintah kolonial itu dipindah tangankan ke pengusaha swasta. “Saya yakin, saat Benteng Vastenburg dan RS Mangkubumen dijual tidak ada surat izin dari DPR RI, yang seharusnya jadi syarat untuk pejualan aset Negara. Dengan kata lain, jual beli Benteng dan RS Mangkubumen saat itu tidak sah,” tegas Maryanto.

DPRD Solo sendiri, saat penjualan terjadi, tak mampu berbuat banyak. Pasalnya, model pemerintahan Orba tersentralisasi, sehingga legislatif daerah tak punya kewenangan untuk mempertanyakan apalagi melarang penjualan itu. “Penjualannya saja melibatkan petinggi militer saat itu, siapa yang berani membantah?” kata dia.

Dukungan dan back up dari kalangan militer membuat para pengusaha kakap makin mudah mencaplok aset bersejarah milik rakyat ini. Untuk mensiasati gejolak penolakan sekaligus melegalkan penjualan yang illegal itu, pemerintah daerah setempat kala itu, segera menerbitkan sertifikat tanah, IMB hingga izin masyarakat (HO) atas lahan bangunan bersejarah itu. 

Minimnya pengawasan terhadap bangunan dan lahan bersejarah di masa lalu, menjadi faktor pendukung semrawutnya kawasan-kawasan bersejarah di masa kini. Tuntutan ekonomi yang dikombinasikan dengan rendahnya pengawasan dari pemerintah menjadi perpaduan tepat tersingkirnya bangunan kuno bersejarah di Solo.

Karena tuntutan ekonomi, warga membangun rumah di lahan-lahan kosong di sekitar bangunan bersejarah, makin lama jumlah mereka makin banyak. Dan pemerintah sebelumnya luput memperhatikan masalah ini. Alih-alih merelokasi mereka, pemerintah justru memfasilitasi dengan jaringan listrik dan air, serta data kependudukan. 

Tidak hanya menimpa bangunan cagar budaya, praktik jual beli benda cagar budaya seperti arca, keris, wayang hingga gamelan juga ditengara marak terjadi. 

Sebagai warga Solo, sulit rasanya melupakan kegemparan kasus pencurian arca di Museum Radya Pustaka beberapa tahun silam. Kasus ini sempat menyedot perhatian warga Solo sejak mencuat tahun 2006/2007 silam. 

Kala itu sejumlah arca dan koleksi lampu gantung, piring porselen dan tempat buah kristal pemberian Napoleon Bonaparte kepada PB VI milik Museum Radya Pustaka, salah satu museum tertua di Indonesia yang sudah berdiri 129 tahun lalu, dinyatakan hilang. 

Arca tersebut meliputi arca Nandisa Wahanamurti, Agastya, Durga Mahisa Asuramardini bertangan dua, Durga Mahisa Asuramardini bertangan delapan, dan Syiwa. Para pencuri tidak hanya sekadar mengambil dan membawa kabur arca tersebut, tetapi juga menggantinya dengan arca palsu. Sangat kentara bahwa pencurian ini dilakukan oleh komplotan yang melibatkan “orang dalam”. 


cagar budaya solo
sumber foto : antara foto

Kepala Museum Radya Pustaka saat itu, KRH Darmodipuro (Mbah Hadi) bersama dengan dua karyawan museum dinyatakan bersalah dan dihukum 18 bulan dan 15 bulan penjara.

Kasus ini memang lantas dianggap selesai dengan divonisnya Mbah Hadi dan pengembalian sejumlah arca. Namun dalam hati banyak orang, kasus yang sempat menyeret pengusaha Hasyim Djojohadikusumo sebagai saksi ini, masih terasa mengganjal. Pasalnya, polisi bagai tak serius membekuk dan menelusuri dalang intelektual dibalik bisnis ilegal benda bersejarah ini. 


cagar budaya solo
sumber foto : detik.com

Enam arca yang hilang memang ditemukan ada di museum pribadi milik adik Prabowo Subianto itu. Tapi dalam kesaksiannya di persidangan, Hasyim mengaku ketika membeli arca-arca itu dari kolektor Hugo Kreijger, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa arca-arca tersebut merupakan arca hasil curian dari Museum Radya Pustaka Solo. 

Keenam arca milik Radya Pusataka itu diakuinya dibeli dari sebuah gerai benda antik di London. Dan lantaran sang kolektor menyertakan dokumen lengkap, Hasyim mengaku tak mengira bahwa arca tersebut ilegal. Menurut Hasyim, pembelian keenam arca tersebut ia lakukan untuk menyelamatkan benda cagar budaya. Bahkan dalam kesaksian yang sama, ia juga mengaku sempat ditawari seperangkat gamelan oleh seseorang bernama Heru. 

Keenam arca yang sempat jatuh kepemilikan Hasyim memang akhirnya dikembalikan ke Museum Radya Pustaka, namun koleksi lain yang hilang hingga kini masih tak jelas rimbanya.

Dalam perbincangan santai bersama beberapa wartawan, mendiang Mbah Hadi secara implisit sempat menyebut keterlibatan orang berpengaruh dalam praktik jual beli koleksi museum tersebut. Sampai akhir hidupnya, Mbah Hadi memang bersikukuh bahwa ia tidak mencuri dan menjual arca-arca tersebut. Meski begitu, ia juga tetap bungkam setiap kali ditanya siapa tokoh dan pelaku yang sebenarnya.

Hingga kini, penyelesaian kasus pencurian di Museum Radya Pustaka masih terasa janggal. Para pekerja museum saat ini pun masih trauma setiap kali disinggung kasus pencurian tersebut. Mereka mengaku hanya ingin fokus untuk menghidupkan kembali museum sebagai tempat diskusi dan kajian sejarah dan budaya.

Bangsa yang besar tak boleh melupakan sejarah. Itu sebabnya perlu ada kepedulian dari kita semua untuk merawat cagar budaya sebagai saksi perjalanan bangsa. Merawat dan melestarikan cagar budaya bukan sekadar cara untuk menghormati leluhur, tapi juga bagian dari usaha kita untuk menemukan kembali jati diri sebagai bagian dari Nusantara yang pernah menjadi bangsa digdaya di masa lalu. 

Semoga jadi tambah tahu ya. 




Disclaimer :
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia : Rawat atau Musnah. Yuk berpartisipasi!


Referensi: 
https://nasional.tempo.co/read/111550/pencurian-koleksi-museum-radya-pustaka-diketahui-sudah-lama https://sains.kompas.com/read/2008/06/30/16084159/curi.arca.2.karyawan.museum.radya.pustaka.dihukum.14.bulan.. https://nasional.kompas.com/read/2008/02/10/1428068/usut.tuntas.kematian.lambang.dan.kasus.radya.pustaka

31 komentar

  1. Duh, Omah Lowo dihuni Kelelawar. Untunglah sekarang sdh direvitalisasi ya mbak. Suka aku dengan bangunannya. Dlm sekali nih mbak Wiwied mengulik cagar budaya di Solo...Yang mencuri dan memalsukan arca itu kelewatan sekali, huhuh

    BalasHapus
  2. Millenials dan kita semua wajib banget concern akan cagar budaya.
    sama2 menjaga dan melestarikan.
    ini wujud kebanggaan kita semua sebagai warga yg baik, ya kan?
    Duh, pengin jalan2 ke SOlo lagi niiih

    BalasHapus
  3. Wah iya jaman dulu marak jual beli benda pusaka ya mbak, sedih rasanya, Indonesia banyak kehilangan aset sejarah yg penting.

    Btw, penasaran sama omah lowo, mistis banget dan angker hiiiy serem 😁

    BalasHapus
  4. Duh semoga benda-benda yang merupakan cagar budaya ini tidak lagi menjadi benda yang diperebutkan oleh para pengutil ya Mbak. Mungkin kita perlu panggil Detektiv Conan untuk mengetahui siapakah dalang pencurian sebenarnya.

    BalasHapus
  5. waktu aku tinggal di solo dulu, aku suka lho lihat rumah2 tua peninggalan jaman baheula. sedih baca tentang penjualan dan pencurian benda2 bersejarah

    BalasHapus
  6. wah seram banget yaaa, dicuri dan dijudge sebagai bangunan milik yang tak kasat mata akhirnya jadi horor aja :(

    semoga pemerintah semakin rajin mengunggah dan mengangkat keberadaan situs situs bersejarah ini

    BalasHapus
  7. Kalau ditelusuri banyak juga ya cagar budaya di kota Solo. Yang paling tragis dan bikin miris sih museum radya pustaka yang koleksinya dicuri. Ngenes. Sayang banget. Padahal museum ini bisa jadi sumber ilmu yang penting.

    BalasHapus
    Balasan
    1. banyak banget, tapi banyak yang hilang juga. Aku masih suka nelangsa kalau liat museum radya pustaka itu mak.

      Hapus
  8. Wah...aku baru tahu kalau Kota Solo punya banyak Cagar Budaya yang punya sejarah masa lalu yang sangat kental, tapi memperihatikan ya mbak karena banyak yang tidak terawat padahal keberadaan cagar budaya menjadi penghubung antara dimensi yang berbeda dan menjadi sumber untuk belajar dari masa lalu.

    BalasHapus
  9. Semoga jadi tambah tahu ya..
    Saya enggak sekedar tambah tahu setelah baca ini, Mbak. Tapi jadi tahu banyak kwkw
    Makasih sudah menceritakan ya...Tentang beberapa bangunan yang terbengkalai , yang sudah direvitalisasi dan kisah pencurian di Radya Pustaka yang penuh misteri.
    Komplit. Beneran perlu kepedulian semua pihak untuk pelestarian cagar budaya ini

    BalasHapus
  10. Untung bukan hati yang tercecer ya mbak, heheheee... Kalau ngobrolin tentang sejarah Indonesia tuh menarik banget ya, apalagi yang aku biasanya hanya tau lewat cerita saja. Semoga cagar budaya tetap terus terjaga ya dan memberikan banyak kontribusi.

    BalasHapus
  11. Sepanjang baca artikel ini aku melongo dengan sukses. Sayang banget cagar budaya nggak dirawat dengan baik. Sampai ada monumen dan rumah sakit bersejarah dibongkar. Barang musium dicuri. Hiks. Semoga nggak ada lagi kejadian seperti ini.

    BalasHapus
  12. Hai Mbak Wied, aku pernah berkunjung ke Vastenburg lewat belakang. Eh malah diusir sama yang jaga kambing di dalam benteng. Alasannya ini punya pak Robby, loh padahal di bagian depan benteng ada tulisan cagar budaya. Tapi aku cukup senang sih liat Vastenburg sekarang. Btw kapan-kapan mau doang diajakin menjelalah Solo terutama ke bangunan2 kolonial yang sering dianggap serem.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang punya pak Robby Sumampauw, makanya untuk pengelolaannya juga tarik ulur. Pemkot tidak leluasa untuk menjaga dan memanfaatkan bangunannya karena dimiliki oleg swasta. runyam deh pokoknya.

      Hapus
  13. Jadi inget pelajaran sejarah dan IPS nih mbak hee
    Perintah Jas Merah bukan hanya melupakan sejarah, termasuk di dalamnya, pun untuk menjaga supaya sejarah tersebut tetap dikenal dan diketahui hingga generasi mendatang ya mbak
    Sedih tuh ada cahar budaya yg dipalsukan T_T

    BalasHapus
  14. Mba, tulisannya keren, ada datanya juga plus wawancara nara sumber tepercaya. Kusukaa.
    Semoga menang yaaa.

    BalasHapus
  15. Ak termasuk orang yang bisa dibilang jarang banget wisata ke cagar budaya.. Karena nggak semua daerah kayaknya punya cagar budaya yang harus dilestarikan gitu kan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah menurtku hampir semua daerah punya cagar budaya lho mbak. Cuma ya gitu banyak yang nggak tahu. Soalnya bangsa ini kan punya sejarah panjang sejak berabad2 lalu.

      Hapus
  16. Belum pernah ke Solo. Tapi memang setahu saya di sana banyak banget benda cagar budaya yang patut kita jaga dan lestarikan.

    BalasHapus
  17. kaget pas baca info terakhir kak. tentang pencurian arca. dulu kasus ini pernah saya ketahui dan bingung ngapain ada orang yg pengen koleksi di museumnya sendiri. aneh ya

    BalasHapus
  18. Benda cagar budaya yang dicuri dari museum Radya Pustaka itu pemberitaannya sempat aku ikuti. Trus terhenti entah napa, baca di sini baru tahu kelanjutannya seperti itu. Sayang banget kalo sampai orang dalam beneran ikut, tapi nggak masuk akal juga sih masa hilang sampai sebanyak itu ya

    BalasHapus
  19. Suka sedih kalau ada cagar budaya yang hidup segan, mati pun enggan. Seharusnya semua kalangan masyarakat ikut serta merawat dan melestarikan cagar budaya ya ...

    BalasHapus
  20. Kota lama Semarang sempat terbengkalai, Alhamdulillah direvitalisasi, jadi indah dan jadi tujuan wisata favorit di Semarang..potensi Solo bagus banger nih..

    BalasHapus
  21. Ya ampun bagus2 banget ya mbak bangunan yang ada di poto2nya. Ikut sedih kalau beberapa di antaranya mangkrak, pdhl aku membayangkan pada masanya dulu bangunan itu pasti megah dan kokoh sekali.
    Solo emang banyak bangunan cagar budayanya yaa.. Moga pemerintah plus masyarakatnya juga makin aware yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. pemerintah dan sebagian masyarakat sebenarnya juga mulai aware sih mbak, tapi susah mau dikelola karena banyak yang dimiliki swasta. Ya kayak Benteng Vastenberg itu.

      Hapus
  22. Ngenes juga ya dengan kenyataan bahwa justru para petinggi lah yang menjual aset-aset cagar bidaya di Solo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Zaman orde baru kan gitu mbak. Mau dilawan juga nggak ada yang berani. efeknya terasa sekarang

      Hapus
  23. kasus pencurian benda cagar budaya masih ada ya sampai skr... semoga oraang2 semakin sadar utk tidak memperjualbelikannya..

    BalasHapus
  24. Di Solo juga banyak candi kan mba? Cuma emang gak di pusat kota ya aeperti Candi Cetho.
    Jadi benarnya Solo Paragon Hotel itu bekas rumah sakit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di pusat kota sih nggak ada candi mbak. Ada kraton dan pura kuno aja. Tp di kabupaten sekitar solo ada banyak. Kayak candi sukuh dan cetho itu likasi tepatnya di karanganyar. Trus ada lagi reruntuhan kraton kartasura di sukoharjo.

      Hapus
  25. Berati di Solo banyak juga ya Mbak bangunan bersejarah.

    Tapi kok ada yang tega mencuri gitu. Bukannya dijaga, malah dicuri arcanya. Ckckckc miris.

    BalasHapus