Serunya Hidup di Era Digital : Seperti Hidup di Dunia Doraemon

Sekitar 30 tahun lalu, saat pertama kali menyaksikan kartun Doraemon di televisi, saya seketika terpukau. Kagum dengan kecanggihan alat-alat yang keluar dari kantong si kucing biru itu. “Wuih , apa rasanya ya kalau saya juga tinggal di dunia Doraemon?” begitu pikir saya.

Pasti asyik! Mau makan tinggal pencet tombol lalu ada yang mengantar. Mau nonton bioskop atau mengetahui info terbaru, tidak usah menunggu siaran televisi atau membaca koran pagi. Cukup dengan komputer, semua informasi dan data yang kita butuhkan langsung tersedia. Bahkan komputernya bisa mencari data tanpa kita harus repot mengetik perintah. Cukup bicara saja, “Film terbaru!” begitu misalnya. Maka komputer secara otomatis langsung menampilkan data-data film terbaru, lengkap dengan ringkasan ceritanya. Lampu kamar juga bisa dihidupkan dengan sekali tepukan tangan. Menakjubkan sekaligus sangat tidak mungkin terwujud di dunia nyata.

Sungguh, sama sekali tidak terbayangkan bahwa sekarang saya akhirnya hidup di Dunia Doraemon. Atau setidaknya begitulah saya menyebut kehidupan di era digital ini, Dunia Doraemon!

Era Digital ini, nyaris serupa dengan gambaran kehidupan yang digambarkan dalam komik dan kartun Doraemon. Yah, mungkin tidak sama persis. Setidaknya sampai sekarang belum pernah saya dengar ada penemuan pintu kemana saja dan mesin waktu. Tapi beberapa tahun lagi, siapa tahu ya?

Perkenalan Pertama

Saya ingat sekitar tahun 1999, kali pertama saya mencoba menggunakan internet. Waktu itu saya baru duduk di bangku SMA dan seperti remaja lainnya, saya penasaran saat beberapa teman sekolah membicarakan mengenai internet.

“Kita bisa ngobrol dengan orang dari luar negeri lho, tapi nggak pakai telepon.” Begitu cerita teman-teman yang mencoba.

Maka, bersama tiga teman lain, saya pun bertandang ke warung internet (Warnet) di kota sebelah. Jaraknya satu jam perjalanan menggunakan bus. Dan itu adalah satu-satunya Warnet terdekat. Saya ingat betul, tarif Warnet itu Rp 10.000 per jam, kami berempat patungan membayar. Dengan dibantu operator Warnet yang bertugas saat itu, kami menelusuri internet sambil duduk berimpitan di bilik warnet yang sempit. Apa yang kami dapat? Tidak ada selain kebingungan. Hahahaha, maklumlah kali pertama.

Setelah mulai kuliah di Yogyakarta, barulah saya kian akrab dengan internet. Beberapa tugas kuliah memaksa saya untuk berselancar di jaringan internet, mencari informasi. Beberapa dosen pun kerap kali meminta kami untuk mengirimkan tugas melalui email. Internet mulai menjadi bagian dari hidup saya.

Toh begitu, di awal-awal tahun 2000-an itu, belum banyak aktifitas yang mengandalkan kemajuan digital. Menabung masih harus datang kantor bank dan mengantre lama, kalau mau baca komik juga harus beli atau menyewa dulu. Tidak banyak yang berubah sampai saya bekerja di sebuah media lokal di Solo sebagai jurnalis.

Tapi kerja sebagai jurnalis, apalagi yang bertugas di daerah terpencil seperti saya, teknologi digital amat sangat berperan penting. Belum ada aplikasi Whatsapp kala itu, tapi setiap siang saya bisa memberi laporan berita yang akan ditulis melalui pesan singkat (SMS). Berita yang saya tulis juga dikirim melalui email. Tidak perlu harus repot-repot datang ke kantor dulu. Meski sebenarnya membutuhkan waktu sangat lama hanya untuk mengirimkan beberapa file tulisan. Belum lagi kalau harus mengirim foto. Wah, bisa berjam-jam waktu yang saya habiskan di depan komputer. Walau demikian, waktu itu saya pikir pekerjaan ini sudah sangat dimudahkan oleh kemajuan digital.

Wartawan di era sebelum saya, mungkin wartawan tahun 1990-an, boleh jadi dituntut setiap hari datang ke kantor. Tak peduli meski jarak daerah peliputannya memakan waktu perjalanan berjam-jam dari kantor.

Serunya Hidup di Era Digital

Satu hal yang tidak pernah saya sangka adalah, kemajuan teknologi digital yang makin lama makin cepat dan tak terbendung. Setelah menjadi ibu rumah tangga dan undur diri dari pekerjaan sebagai jurnalis, saya pikir tidak banyak kegiatan yang bisa saya lakukan di rumah. Orang tua saya, bahkan sempat menyayangkan keputusan saya untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. "Sudah sekolah sampai sarjana, pekerjaan jadi wartawan juga sudah bagus. Apa nggak sayang ilmunya terbuang sia-sia?” begitu keluh mereka saat itu.

Apa iya ilmu dan pengalaman kerja saya jadi sia-sia? Ternyata tidak. Di tahun yang sama saat saya resmi menjadi ibu dari anak laki-laki bernama Narendra, saya juga melahirkan bayi lainnya. Ya bayi itu adalah blog ini!

Berawal dari kebutuhan mencari informasi tentang parenting dan kesehatan anak, saya mulai rajin googling informasi setiap malam. Saat itu, beberapa kali saya membaca tulisan dan kutipan tulisan yang terasa sangat familiar. Ya, itu adalah tulisan saya sendiri saat membuat liputan kesehatan dan lifestyle. Beberapa artikel yang mengutip tulisan saya itu memberi kredit bahwa itu tulisan saya, namun beberapa lagi tidak.

Makin lama, makin banyak saya temukan artikel-artikel di blog lain yang memakai artikel dan berita yang saya tulis sebagai referensi. Nah lho, kalau begini kenapa tidak sekalian saja saya buat blog sendiri? Maka jadilah saya mulai mencari tahu bagaimana cara membuat website sendiri. Nggak susah kok, karena semua caranya bisa kita googling sendiri. Maklum era digital!

Akhirnya, dari hasil belajar melalui berbagai artikel, saya berhasil membuat blog sendiri. Templatenya juga saya utak atik hasil dari belajar melalui internet. Cukup masukkan password, klik, lantas ribuan artikel mengenai cara membuat blog, mempercantik blog dan sebagainya langsung muncul. Tinggal pilih, mau baca dan mencoba tips yang mana. Oh iya, sekadar rekomendasi, kalau pengin mulai bikin blog coba deh mampir ke situsnya Domainesia. Sebagai penyedia layanan web hosting dan registrasi domain, mereka juga memiliki banyak artikel dan informasi yang berguna seputar teknologi digital.

Lanjut ke cerita saya lagi ya. Kemajuan teknologi digital juga membawa saya pada keberuntungan lain. Jadi ceritanya begini, komunitas crafter yang saya ikuti di facebook grup sedang bersiap untuk membuat majalah komunitas. Sebuah media yang mmebahas tentang seluk beluk sewing craft (kerajinan menjahit), tips, profil crafter dan tentu saja tutorial menjahit. Rekruitmen tim redaksi dilakukan melalui facebook grup saat itu.

Karena merasa tertarik, saya pun ikut mengajukan diri. Dan selang sebulan kemudian, saya pun dikontak dan diajak bergabung sebagai redaktur di tim redaksi. Yang unik dari media komunitas kami adalah, semua proses mulai dari pra produksi, produksi hingga koordinasi distribusi dilakukan secara daring. Hebat kan?

Sebagai orang yang pernah punya pengalaman kerja di media, saya sempat merasakan tiap kali harus datang ke kantor dan ikut rapat redaksi untuk membahas tema yang akan diangkat, siapa narasumber yang harus diwawancara dan urusan tetek bengek lainnya. Sekarang dengan kemajuan digital, rapat redaksi cukup dilakukan via Whatsapp Grup (WAG).

Wawancara narasumber dan koordinasi liputan dengan kontributor juga saya kerap saya lakukan melalui Whatsapp, facebook messenger atau line. Tidak perlu harus repot-repot menelpon bikin temu janji. Semua jadi serba praktis. Selepas itu, artikel yang sudah layak tayang pun kami kirimkan ke tim desain dan penata letak melalui email. Nanti hasilnya bisa langsung dilihat melalui google drive yang bisa diakses oleh seluruh tim redaksi. Kalau ada yang kurang pas, lagi-lagi rapat redaksi dilakukan melalui WAG. Praktis bukan? Mengingat semua anggota tim redaksi tinggal di kota yang berbeda. Ada yang di Depok, Bekasi, Yogyakarta, Aceh, dan Solo. Sebagian besar dari kami adalah ibu rumah tangga dengan aktifitas segudang. Sebagian besar malah juga berprofesi sebagai full time crafter. 

Kini, media komunitas kami sudah berjalan 3 tahun dan masih menggunakan pola kerja yang sama. Sungguh hidup di era digital membuat banyak hal yang tak terbayangkan menjadi mungkin. Siapa bilang, ibu-ibu yang tiap hari berkutat di rumah tidak bisa produktif dan berpenghasilan?


Ngomong-ngomong soal penghasilan, perkembangan teknologi digital di dunia keuangan atau yang kerap disebut financial technologi (Fintech) juga luar biasa cepat lho. Sekarang, saya nyaris tidak pernah berkunjung ke kantor bank bila ingin bertransaksi atau komplain. Teknologi digital memungkinkan saya melakukannnya dari rumah dengan berbekal smartphone saja.

Mau apalagi? Semua fee langsung ditransfer ke rekening, laporannya bisa saya dapatkan seketika melalui sms, atau email. Lantas kalau mau transfer juga bisa melalui aplikasi, begitu juga kalau kita ingin membuka deposito, membuka akun reksadana dan mengecek saldo rekening. Bahkan untuk belanja kebutuhan rumah pun juga kerap saya lakukan melalui aplikasi, pembayarannya bisa dengan transfer i-banking. Dan bebas ongkos kirim pula. Persis kan seperti dunia Doraemon?

(Baca juga :Kerja Online, Transaksi Keuangan Online)

Bahkan kalau sekarang saya sedang malas masak pun, saya cukup buka aplikasi, pilih menu yang saya inginkan dan tidak lama makanan pesanan pun datang. Bayarnya tidak perlu pakai uang cash, cukup dengan e-money. Saya sekarang jarang sekali sedia uang tunai di rumah. Sungguh, saya beruntung karena masih bisa merasakan hidup di era digital seperti saat ini. Rasanya benar-benar seperti hidup di masa Doraemon. Iya kan?

Kalau menurut kalian bagaimana? Apa hal yang paling seru yang dialami dengan hidup di era digital?

3 komentar

  1. Ternyata internet sudah ada sejak tahun 2000 an ya, saya malah belum tau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya sih akhir dekade 1990an jg udah ada. Tp masi mahal dan jangkauannya jg belum luas

      Hapus
  2. Kemajuan teknologi memang tidak bisa dipisahkan terlepas dari efek positif dan negatif yang ditimbulkannya. Kita dituntut untuk selalu beradaptasi mengikuti kemajuan zaman. Terima kasih artikelnya ya kak.

    BalasHapus