Setelah Gus Dur Tak ada, Beruntunglah Kita Masih Punya Jokowi


Mustahil rasanya membicarakan pluralisme tanpa menyinggung peran besar Gus Dur. Tokoh yang satu ini, dengan segala keterbatasannya, dan dengan caranya yang kadang nyeleneh serta seringkali sulit dipahami, telah memperjuangkan hak-hak masyarakat terpinggirkan dengan kebijakannya. Ia memperjuangkan pluralisme melalui tulisan, sikap, dan perbuatannya. Sungguh, kita beruntung pernah memiliki Gus Dur. (Baca : Andai Gus Dur Punya Twitter)

Kepiawaiannya bergaul mesra dengan segala golongan, dari segala agama, lintas suku dan ras telah membuat nama Gus Dur terpatri sebagai Bapak Pluralisme, meski hal itu belum secara resmi diakui. Maka, saat beliau berpulang, tidak hanya golongan santri dan muslim saja yang kehilangan. Mereka yang Khatolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan mungkin juga para penghayat kepercayaan juga ikut merasa kehilangan. Bukan hanya Jawa, orang Bugis, Sunda dan suku-suku lain pun tidak luput dari kesedihan. Indonesia merasa kehilangan.

Ada kekhawatiran, kita mungkin tidak akan seberuntung itu lagi memiliki tokoh yang gigih memperjuangkan kesetaraan diantara warga Indonesia yang beragam ini. Betul saja, belakangan isu-isu perpecahan, konflik politik berkedok nama agama makin mengemuka. Kian parah, karena kebebasan menyebarkan informasi melalui media massa dan media sosial sama sekali tidak terkendali dan tidak bertanggung jawab. (Baca : Independen.id : Menolak Intoleransi, Merawat Indonesia, Tantangan bagi Media )

Kabar bohong, dan informasi palsu merajalela di media sosial. Sama sekali tak terbendung. Dalam keadaan begitu, ditambah ketidakdewasaan para pengguna media sosial, kabar bohong pun menjadi “benar”. Tidak sedikit konflik terbuka bahkan kericuhan yang terpancing karena kabar bohong (HOAX) ini.

Dan saat saya merasa nilai-nilai luhur kebhinekaan bangsa ini telah runtuh, muncullah sosok Jokowi. Mantan Walikota Solo ini, dengan gayanya yang ndeso tampil dengan sangat membumi. Ia tokoh yang membawa kesantunan Jawa dan diplomasi lemah lembut ala Indonesia. Tidak ada gaya bicara yang meletup-letup. Seperti kebanyakan orang Solo, bicaranya lemah lembut, gaya komunikasi high context dengan pilihan kata penuh simbol. Tapi kelihatannya ia sadar, sentuhan kecil dan sederhana bisa membawa perubahan yang berarti pada kehidupan berbangsa.

Jokowi Sebagai Presiden 

Salah satu kebijakan sederhana Jokowi, bisa kita lihat saat upacara perayaan HUT RI Ke 72 di istana, Agustus 2017 silam. Seluruh tamu undangan yang hadir, diwajibkan memakai pakaian khas daerah. Langkah yang sederhana bukan?

Entah kenapa kebijakan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya. Ah, mungkin waktu itu konteks dan masalah yang dihadapi berbeda, mungkin juga menumbuhkan rasa percaya diri terhadap eksistensi kebhinekaan belum jadi prioritas pada masa pemerintahan presiden-presiden sebelumnya. Bisa jadi.

Umumnya, kita hanya menyaksikan parade pakaian adat hanya ketika festival, karnaval Hari Kartini dan sebagainya. Sungguh bukan hal yang wajar memakai pakaian adat saat upacara kenegaraan. Tapi Jokowi ternyata sangat inovatif, ia berani mengambil kebijakan yang “nyeleneh” begitu. Ia mengingatkan saya kepada Gus Dur.

Dan hasilnya, lihatlah bagaimana meriah perayaan HUT RI Ke 72 itu, Jokowi sendiri berpakaian adat Kalimantan Selatan. Sementara The First Lady, Iriana Jokowi kelihatan cantik dalam balutan adat Minangkabau, begitupun dengan tamu undangan yang lain. Pakaian yang mereka kenakan tidak melulu hanya dari daerah asal. Seperti Kapolri Tito Karnavian dan istri, yang justru kelihatan percaya diri dengan pakaian adat Papua. Ada keberagaman disana, namun mereka bersatu disana merayakan detik-detik peringatan kemerdekaan Indonesia.

Saya sendiri, hanya menyaksikan momentum itu melalui layar televisi. Tumben amat, biasanya sih saya paling malas menyaksikan orang upacara. Sudah puluhan tahun menjadi orang Indonesia, sudah pahamlah apa saja urutan upacara bendera. Tapi saat itu berbeda. Seketika, ada kebanggaan tersendiri menjadi bangsa Indonesia.

Bangga rasanya melihat miniatur Indonesia yang ditampilkan dalam upacara itu. Tiba-tiba rasa nasionalisme saya meluap. Terharu melihat betapa kayanya bangsa ini, betapa luar biasa para leluhur dan pendiri bangsa ini hingga bisa membuat ratusan perbedaan ini menjadi sebuah kesatuan, Republik Indonesia.

Melalui kebijakannya yang sederhana, Jokowi seolah mendeklarasikan pada seluruh rakyat Indonesia bahwa kebhinekaan, kemajemukan adalah keniscayaan didalam Indonesia. Karena kita berbeda, maka kita disebut Indonesia. Karena kita beragam maka kita disebut Indonesia. Perbedaan, seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling menyakiti. Sebaliknya, dengan menundukkan ego, menghormati orang lain, kita justru akan mendapat berkah besar dari keberagaman ini.

Beruntunglah kita karena masih ada Jokowi.....

Citranya sebagai Wong Solo yang lemah lembut, tidak berarti Jokowi tidak bisa bertindak tegas. Salah satu kebijakannya, yang sangat saya apresiasi adalah keberaniannya untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas.

Melalui Perppu yang penuh kontroversi ini, Jokowi menegaskan segala organisasi yang bertentangan dengan Pancasila, yang berarti juga menentang kebhinekaan harus dibubarkan. Beberapa pihak menentang Perppu ini karena dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi dan mencederai semangat reformasi.

Tapi coba kita pikir lagi, apalah artinya demokrasi kalau Pancasila sebagai Dasar Negara dan alasan untuk kita bersatu tidak lagi dihormati? Demokrasi macam apa yang membiarkan satu golongan mendiskreditkan golongan lain. Demokrasi pun perlu batasan, perlu acuan dan aturan agar tidak ada lagi pihak yang menunggangi demokrasi dan mengatasnamakan hak berbicara sebagai cara untuk menindas golongan lain yang berbeda dengan dirinya. Kita Indonesia, kita tidak bisa mengkhianati jati diri kita sebagai bangsa yang terbangun dari keberagaman.

Seperti yang disebutkan Menteri Agama dalam orasi budayanya yang termuat di Independen.id.

"Keberagamaan adalah jatidiri bangsa Indonesia yang pertama. Jatidiri kedua adalah komitmen akan nilai-nilai kemanusiaan. Karakter bangsa ini adalah menjadi bagian dari kemanusiaan universal, yang menghormati hak-hak kemanusiaan secara adil dan beradab dalam upaya memanusiakan manusia. Jatidiri ketiga adalah bahwa meskipun beragam dalam banyak hal, bangsa Indonesia punya ikatan dan jalinan yang saling mempertemukan satu sama lain membentuk persatuan. Kemajemukan etnis, ras, suku, budaya, bahasa, dan agama yang dipeluk anak bangsa dijaga dan ditata dengan landasan filosofis dan kultural Bhinneka Tunggal Ika. Jatidiri yang keempat, Indonesia memiliki tradisi musyawarah penuh hikmah kebijaksanaan sebagai wujud demokrasi yang alami dan membumi. Musyawarah yang dipandu dengan kearifan adalah ajaran yang menjadi warisan leluhur dalam merawat realitas keindonesiaan kita yang begitu majemuk penuh keragaman. Keempat jatidiri inilah yang oleh para pendiri bangsa dijadikan dasar pijak untuk mencapai jatidiri kelima, yaitu tekad mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi kita semua." 

Karena itu, untuk keberaniannya ini, saya angat topi untuk Jokowi…..

Jokowi Sebagai Pribadi 

Jokowi sangat piawai menyosialisasikan nilai-nilai kebhinekaan melalui cara-cara yang sederhana. Lihatlah gaya berpakaiannya setiap kali mengunjungi daerah-daerah. Selalu ada atribut daerah setempat yang ia gunakan. Walau kadang tidak terlalu pantas untuk  ia kenakan, tapi Jokowi nampaknya nyaman-nyaman saja. Malah ia kelihatan percaya diri.

Ah, pandangan saya ini mungkin sangat subyektif. Tapi menurut hemat saya, seorang komunikator yang baik adalah orang yang tahu bagaimana menempatkan diri diantara komunikannya. Jadi, sebutlah Jokowi sedang berkunjung ke pesantren. Alih-alih memakai jas klimis perlente, ia malah memakai kemeja putih sederhana, peci dan sarung. Dandanan khas gaya santri. Saya yakin, Jokowi sadar bahwa melalui atributnya ini ia bisa menyampaikan pesan. Pesan tersirat bahwa ia adalah bagian dari para santri.

Begitupun saat ia, berkunjung ke Dana Toba di Sumatera Utara, atribut kedaerahan khas Batak pula yang ia gunakan. Beberapa orang yang nyinyir boleh jadi menganggap Jokowi cari muka. Namun perlu dipahami pula, prasyarat untuk menjalin hubungan baik dengan seseorang adalah membuat dengan menampilkan diri sebagai pihak yang mengerti, memahami dan menghormati mereka.

Coba bayangkanlah, kita sebagai orang tua. Cara terbaik untuk bisa berkomunikasi baik dengan anak adalah dengan menyelami pola pikir mereka. Menempatkan diri kita sejajar dengan anak. Menghapuskan batasan sungkan dan hirarki antara orang tua dan anak. Dengan begitu, anak akan lebih terbuka, lebih leluasa mengeluarkan uneg-uneg, tak lagi sungkan berkeluh kesah dan jujur dengan perasaannya. Bukankah itu membuat hubungan jadi lebih baik. Prinsip yang sama dijalankan oleh Jokowi dalam berkomunikasi dengan rakyat Indonesia.
sumber : twitter@jokowi

Pun, dengan cara itu pula, ia menunjukkan pennghormatannya terhadap berbagai elemen bangsa yang beragam ini.

Kepribadian Jokowi yang sangat pro kebhinekaan juga terlihat saat ia menyelenggarakan hajatan pernikahan putrinya, 8 November 2017. Terlepas dari banyaknya jumlah tamu yang datang. Rangkaian pernikahan yang dilakukan terhitung cukup sederhana. Kental dengan nuansa budaya Jawa. Dan sebenarnya terhitung lumrah untuk ukuran pernikahan adat Jawa Solo yang memang memiliki tata cara yang panjang. Tapi bukan itu yang menjadi sorotan saya. Lihatlah dari beragamnya tamu yang diundang ke hajatan itu. Mulai dari pejabat, pemuka agama, perwakilan negara sahabat, artis, hingga rakyat kebanyakan tumpah ruah disana.
sumber : tempo.co

Satu hal lagi yang juga menarik perhatian saya adalah pilihan baju yang dikenakan oleh para tamu. Tidak sedikit dari mereka yang datang dengan mengenakan pakaian atau atribut khas daerah asalnya. Menandakan mereka nyaman dan bangga untuk menunjukan identitas kedaerahannya di hadapan Jokowi. Hal yang mustahil terjadi kalau mereka tidak mengenal Jokowi sebagai sosok yang sangat menghargai perbedaan dan menghormati identitas kedaerahan.

Beruntunglah karena masih ada Jokowi.

3 komentar

  1. Saya masih tahap bertanya-tanya, benarkah kebhinekaan kita telah runtuh? Alasannya dibanyak tempat kami yg berbeda suku, agama dan ras masih hidup damai berdampingan. Coba tengok di kampung-kampung, masih seperti dulu.
    Trus soal Perpu Ormas, secara substansi isinya justru berbahaya jika jatuh ke tangan penguasa yg antidemokrasi. Bahkan menurut Prof. Refli Harun, pakar hukum tata negara, perpu tsb spt uu subversif di era orde baru.yg satu ini panjang bahasannya.
    Saya pikir, keberagaman itu wujudnya harus menghormati perbedaan satu sama lain tanpa memaksakan keyakinan atau prinsip masing-masing.
    Menghormati keberagaman seharusnya lebih dari soal seremonial.

    BalasHapus
  2. Proses penyeragaman yg mengancam kebhinekaan itu harus diakui terjadi secara massif dan sistematis mak. Di desa mungkin belum terlalu terasa, karena yg disasar lebih banyak pada golongan menengah perkotaan yg jumlahnya besar. Sasarannya bukan hanya orang2 jaman sekarang, tp jg anak2 kita. Kalau dibiarkan percayalah dalam 10tahun mendatang kebhinekaan di desa pun akan runtuh jg. Mengenai perppu ormas, bagi saya itu adalah bentuk pencegahan yg memang perlu dilakukan pemerintah. Pasca reformasi, kita terlalu kebablasan menganggungkan demokrasi. Pun demokrasi ala reformasi itu terbukti tidak menjadikan indonesia jadi lebih baik bukan? Jokowi berkomunikasi dalam bentuk simbol. Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, ia memang harus menampilkan itu dalam sebuah seremoni kenegaraan sebagai "sentilan" kepada siapapun yg anti kebhinekaan bahwa Indonesia berisi orang2, suku2, dan agama yg berbeda. Sekali lagi, ia berbicara dalam bahasa simbolik jadi tdk bisa hanya dipahami scr literally saja. 😊😊

    BalasHapus