Kisah Tentang Pencatat Sejarah

Kisah Tentang Pencatat Sejarah
“Cara terbaik menghancurkan suatu bangsa adalah menjauhkan mereka dari akar sejarahnya.”
 
Saya lupa darimana kutipan ini saya dapat. Bisa jadi dari novel-novel berlatar belakang sejarah yang saya baca, atau mungkin dari tokoh-tokoh sejarah yang pernah saya wawancarai. Entahlah. 

Satu hal yang pasti, kutipan itu sangat membekas dalam ingatan saya. Saya mengamininya. Kehancuran massif suatu bangsa akan terjadi bila mereka melupakan asal usulnya. Persis seperti yang sedang kita alami sekarang. 

Ayo jujur pada nurani masing-masing, bukankah kita sudah begitu jauh dari jati diri kita? 

Siapa nenek moyang kita? Pelaut? 

Peradaban seperti apa yang dibangun oleh leluhur kita? 

Bahkan teman-teman seangkatan saya yang masuk generasi Y tidak banyak yang paham dan bisa bercerita tentang sejarah peradaban bangsa ini. Umumnya, mereka hanya tahu bahwa ada dua kerajaan besar di Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit. Sudah itu saja! 

Jadi jangan tanyakan lebih lanjut siapa itu Airlangga. Atau mengapa Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua. Lalu bagaimana dengan Ken Arok? Kebanyakan teman yang saya ajak ngobrol, menganggap Ken Arok sebagai tokoh dongeng.  

Ah, saya langsung tepok jidat! Gondok rasanya. 

Bagaimana mungkin mereka bisa lebih fasih menghapalkan raja-raja dari negeri antah berantah ketimbang raja dari negerinya sendiri? Sungguh saya nggak habis pikir! 

Kisah Tentang Pencatat Sejarah

Saya menyukai sejarah, khususnya sejarah Kerajaan Nusantara. Saat kecil, Bapak selalu mengajak saya berwisata ke Candi, Kraton dan beberapa situs bersejarah. Di kampung saya, di Magetan, ada banyak reruntuhan candi. Sebagian masih cukup terawat, walau hanya berupa tumpukan batu. Tapi lebih banyak lagi yang terabaikan. 

Peninggalan-peninggalan itu cukup membuat saya yakin, bahwa nenek moyang kita adalah manusia berperadaban tinggi. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa punya citarasa seni tinggi untuk membuat bangunan yang artistik, yang sisa-sisa kemegahannya bahkan masih bisa kita lihat berabad-abad kemudian? 

Saat mengikuti perbincangan sejarah antara Ani Berta, Founder Indonesian Social Blogpreneur (ISB) dengan Sejarahwan, Asep Kambali di IG Live, 28 Agustus 2020 lalu, saya mengutarakan keprihatinan ini kepada Kang Asep. “Kenapa sih sejarah Kerajaan Nusantara jarang sekali dibahas? Sampai-sampai sedikit sekali orang yang tahu tentang sejarah kerajaan. Miris.” 

Lalu begini jawaban Kang Asep, “Sejarah Indonesia yang saat ini bisa dipelajari, kebanyakan memang hanya mengungkap peradaban atau kerajaan dari abad V. Hingga terkesan bahwa kita ini bangsa dengan peradaban muda. Saya percaya hal ini terjadi karena masih banyak bukti sejarah dan tinggalan-tinggalan yang terpendam, tenggelam dan belum terungkap. Umumnya kisah Kerajaan Nusantara hanya bisa kita ketahui dari buku-buku sejarah yang mengacu pada cerita babad. Yah itu juga bisa jadi sumber sejarah sih, tapi cerita babad kan kebanyakan ditulis oleh sastrawan kraton sehingga informasinya kurang komprehensif. Itu sebabnya kisah sejarah kerajaan ini jadi terkesan seperti dongeng.” 

Belajar dari hal itu, lanjut Kang Asep, penting sekali buat kita semua melakukan pengarsipan. Karena kejadian hari ini adalah sejarah bagi masa depan. 

Kisah para pencatat sejarah 

Terlepas dari keengganan kita untuk menggali sejarah peradaban di masa Kerajaan-kerajaan Nusantara, saya percaya leluhur kita sesungguhnya memiliki tingkat literasi tinggi dengan pengarsipan yang baik. Kalau tidak, apakah mungkin ada mahakarya seperti Negarakertagama atau Sutasoma? 

Beruntunglah kita masih berkesempatan mempelajari lontar-lontar tersebut. Bersyukurlah masih ada tinggalan dari para pencatat sejarah di masa itu, sehingga kita kini masih punya sedikit “petunjuk” tentang jati diri orang Indonesia seutuhnya. 

Tahukah kalian, kenapa dalam bahasa inggris, sejarah disebut history? 

Menurut Kang Asep, kata itu diambil dari istilah his story yang berarti cerita dia. Maksudnya, lanjut pendiri Komunitas Historia Indonesia ini, sejarah dituliskan oleh para penguasa masa lalu melalui para juru tulis mereka. 

“Jadi penguasa-penguasa ini memiliki juru tulis yang mencatat kisah-kisah itu berdasar versi mereka. Itulah kenapa jadi sebut history.” 

Kisah Tentang Pencatat Sejarah

Sejarah bangsa kita juga tak lepas peranan para pencatat sejarah seperti ini. Sejak periode Kerajaan Nusantara, kita mengenal ada banyak sastrawan dan juru tulis raja yang karyanya akhirnya dijadikan acuan untuk mempelajari sejarah. 

Sebut saja Mpu Kanwa di masa Kerajaan Medhang, lalu ada Mpu Sedah dan Mpu Panuluh di masa Kerajaan Kadiri. Di masa Majapahit ada dua pencatat sejarah yang karyanya jadi rujukan sejarah masa kini, yaitu Mpu Tantular dan Mpu Prapanca

Di masa revolusi peran pencatat sejarah ini diambil alih oleh para wartawan dan sastrawan. Kalau wartawan mencatat sejarah berdasarkan peristiwa nyata lapangan dengan objektif, sastrawan mengambil peran dengan menambahkan konteks sosial yang tak bisa dituliskan di berita. 

Di periode tahun 1820-an, koran-koran swasta mulai muncul di Hindia Belanda. Saat itu jumlah wartawan Belanda masih cukup mendominasi. Hingga pada perkembangannya di tahun 1880-an, wartawan pribumi dan keturunan Tionghoa mulai ikut ambil peran. 

Tulisan-tulisan para wartawan ini mengkritisi pemerintah Hindia Belanda saat itu dan jadi penyemangat para pejuang dan tokoh intelektual untuk melakukan perlawanan. 

Di masa itu kita mengenal Tirto Adhi Soerjo, yang menerbitkan harian Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908)

Bapak Pers Nasional ini meninggal di usia muda, yaitu 38 tahun. Keberaniannya menggunakan surat kabar sebagai alat kritik pemerintah, membuat ia ditangkap dan diasingkan. Kisah perjalanan hidup Tirto direkonstruksi dengan apik oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer melalui Tetralogi Pulau Buru

Selain itu adapula Ruhana Kudus(1884-1972), wartawan perempuan Indoensia pertama yang baru-baru ini dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Ruhana Kudus adalah salah satu tokoh penggerak emansipasi perempuan. Ia mendirikan surat kabar perempuan pertama di Indonesia, Sunting Melayu

Kisah Tentang Pencatat Sejarah

Dari kalangan sastrawan, kita juga mengenal Yosodipuro dan Ronggowarsito. Keduanya merupakan pujangga di masa Kraton Kasunanan Surakarta. 

Tak seperti wartawan, pujangga seperti Yosodipuro mencatat sejarah dalam bentuk karya sastra. Selain menggubah dan menyadur beberapa sastra kuno seperti kakawin Ramayana dan Mahabharata, Yosodipuro juga menuliskan Babad Giyanti yang menceritakan tentang pemisahan wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogya. 

Sepeninggal Yosodipuro, peran pujangga kraton ini diwariskan kepada cicitnya Ronggowarsito (1802-1873). Ronggowarsito, banyak menuliskan kisah babad yang penuh bahasa simbolik. Sebagai pujangga kraton, konon ia tak leluasa menuliskan kritik dalam bahasa yang lugas. Itu sebabnya karyanya yang berisi kisah rakyat jelata banyak dituliskan menggunakan berbagai simbol. 

Pasca revolusi, terhitung sejak kemerdekaan Indonesia hingga masa orde baru, peran pencatat sejarah masih dipegang oleh wartawan dan sastrawan. Di masa ini kita mengenal sejumlah tokoh wartawan seperti Rosihan Anwar, Arif Budiman (Soe Hok Djin), Goenawan Mohamad, dan masih banyak lagi. 

Lalu dari kalangan sastrawan kita nggak bisa melupakan “catatan sejarah” yang ditinggalkan oleh HB Jasin, kritikus sastra termasyhur dan Pramoedya Ananta Toer. Sebenarnya masih banyak lagi tokoh lainnya, yang tak mungkin bisa saya tuliskan satu persatu. 

Namun ada satu benang merah yang bisa kita ambil dari kiprah para pencatat sejarah ini, yaitu konsistensi dan kegigihan mereka mencatat sejarah. Bentuk catatannya beragam, ada artikel surat kabar, ada karya sastra, prosa, puisi, dan masih banyak lagi. 

Catatan-catatan ini harus mulai kita arsipkan dengan rapi, dipelajari dengan serius agar kita bisa mendapat gambaran jelas tentang lika-liku perjalanan bangsa ini. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan dengan mengabaikan catatan sejarah. 

Tentang pencatat sejarah masa kini 

Di blog ini, saya pernah menuliskan alasan saya memilih jadi blogger. Tak lain karena untuk memenuhi dharma (tugas) sebagai seorang pencatat sejarah. 

Kisah Tentang Pencatat Sejarah

Setelah melalui hampir 40 tahun perjalanan hidup, saya akhirnya menyadari bahwa tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan dengan sepenuh hati selain menulis. Dulu, hasrat ini saya tuangkan melalui pekerjaan sebagai jurnalis. Kini setelah digitalisasi berjalan begitu massif dan cepat, saya memilih blog sebagai wadah mencatat sejarah. 

Sejarah tentang diri saya sendiri, sejarah tentang peristiwa dan isu disekeliling saya, dan sesekali saya tuliskan pula catatan peristiwa di masa kini. Catatan sejarah yang saya susun dalam blog ini mungkin nggak akan seapik karya pencatat sejarah hebat yang namanya saya sebutkan di atas tadi. Namun, setidaknya saya harap catatan sejarah yang saya buat bisa menjadi rujukan bagi anak-anak masa depan. 

Persis seperti yang sering disampaikan oleh mentor saya di ISB Course, Ani Berta. “Buatlah tulisan yang lengkap, yang bermanfaat dan bisa dijadikan referensi oleh orang lain.”

Yup, untuk mendapat validasi sebagai catatan sejarah, kita tidak bisa hanya sekadar menulis. Perlu ada informasi yang komprehensif dan didukung oleh argumen yang kuat pula. Tujuannya jelas, agar anak cucu yang mungkin membaca catatan sejarah kita nanti bisa dapat informasi yang utuh tentang sejarah.

Jadi buat para pembaca tulisan ini, buatlah sejarah. Biar nanti saya yang mencatatnya. 

Semoga jadi tambah tahu ya.

Tidak ada komentar