Hutanku Berhentilah Membara

kebakaran hutan dan perubahan iklim

“Ibu, jerebu itu apa?” 
 
Saya tercenung. Agak bingung menanggapi pertanyaan anak saya yang waktu itu masih berusia 5,5 tahun. 

“Jerebu itu kabut asap. Abang tahu jerebu darimana?” saya balik tanya. 

“Dari Upin Ipin. Di kampungnya ada jerebu, jadi nggak boleh keluar rumah, nggak boleh main di luar ama Atok.” 

Tak lama, bocah ini bertanya lagi. “Kabut asap itu apa?” 

Saya mulai garuk kepala. Agak susah rasanya menemukan kata-kata sederhana untuk menjelaskan hal ini. 

“Kabut asap itu asap yang banyaaak sekali. Saking banyaknya asap, orang-orang jadi susah bernapas. Mau lihat jauh juga susah karena ada asap.” 

Seusai penjelasan itu, kami berdua terdiam sejenak. Anak saya kelihatannya berusaha mencerna penjelasan saya. Sementara saya, menunggu responnya. 

Nah, betul kan. Penjelasan saya ternyata belum cukup memuaskannya. Dia mulai bertanya lagi. 

“Kok bisa asapnya banyak? nanti asapnya bisa hilang nggak?” 

“Bisa hilang kalau ada hujan. Kalau nggak hujan ya lama hilangnya.Abang pernah lihat kan ada yang bakar sampah dipinggir jalan? Itu ada asapnya kan?” 

Dia mengangguk. 

“Nah, jerebu mirip seperti asap itu, tapi banyak. Kok bisa banyak? Karena yang terbakar juga banyak dan luas. Biasanya jerebu itu muncul karena ada hutan yang terbakar.Hutan itu luas kan? Makanya kalau terbakar, asapnya juga jadi banyaaak sekali sampai bikin orang-orang yang tinggal di dekat hutan jadi sesak napas karena asapnya. Eh, yang tinggal jauh dari hutan juga bisa ding kena asapnya. Karena asap kan bisa jalan kemana-mana,” jelas saya. 

Kebakaran hutan mengancam masa depan anak-anak kita 

kebakaran hutan dan perubahan iklim
Perbincangan kami tentang kabut asap kala itu masih berlanjut lama. Anak saya kelihatannya agak kesulitan membayangkan keadaan kabut asap karena wilayah tinggal kami memang terhitung aman dari serbuan bencana kabut asap yang datang berulang tiap tahun. 

Ya, kami memang cukup beruntung. 

Tapi saya tahu pasti, di wilayah-wilayah lain ada ribuan anak seusia anak saya yang terdampak langsung dengan kehadiran kabut asap. Anak-anak yang tiap tahun harus bergelut dengan kabut asap itu, mungkin saja tidak bisa nyaman belajar. Mereka pasti sakit dan tersiksa karena tiap hari terpaksa mengirup ribuan partikel gas beracun. 

Malah, menurut UNICEF, ada 10 juta anak Indonesia yang terdampak langsung akibat kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera, 2019 silam. Sekitar 2,4 juta diantaranya adalah anak balita. 

Bayangkan 10 juta anak lho! Ini nggak main-main. 

Seperti dikutip dalam laman mereka, UNICEF menyebut anak-anak umumnya lebih rentan terdampak polusi udara akibat kabut asap karena mereka bernapas lebih cepat. Hal ini meningkatkan resiko jumlah partikel gas beracun yang terhirup saluran pernapasan anak. 

Tahu nggak sih? 

Menurut Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo dalam perbincangan di kbr.id bertajuk Kemarau dan Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi, asap akibat kebakaran hutan mengandung lebih dari 90 jenis gas. Tercatat 50 jenis diantaranya merupakan gas beracun seperti Furan (C₄H₄O), Hidrogen Sianida (HCN), dan sejenisnya. 

kebakaran hutan dan perubahan iklim

Paparan gas beracun ini sangat berbahaya bagi orang dewasa. Dampaknya bisa jadi lebih parah pada anak karena kekuatan fisik dan daya tahan tubuh anak-anak kebanyakan belum sempurna. 

Saya makin shock, karena sejumlah penelitian lanjutan menyebut dampak kebakaran hutan ini nggak cuma berimbas pada anak-anak. Bayi yang masih dalam kandungan pun juga mendapat imbas negatif. 

Kok bisa gitu? 

Masih dari pernyataan yang dirilis UNICEF, bayi yang lahir dari ibu dengan paparan polusi tinggi seperti kabut asap, memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan janin. Akibatnya berat badan bayi lahir rendah, lahir prematur dan dalam jangka panjang juga bisa meningkatkan resiko stunting pada anak. 

Oh iya, pada perbincangan dengan anak saya tentang jerebu, saya sempat menyebut bahwa yang terdampak kabut asap bukan hanya orang-orang yang tingga di wilayah dekat area kebakaran saja. Tetapi juga merugikan anak-anak lain yang tinggal jauh dari wilayah kebakaran. 

Itu juga bukan tanpa alasan lho... 

Kita semua harus memahami bahwa segala sesuatu di alam ini saling berkaitan dan terhubung satu sama lain. Ada efek domino yang berlaku di alam ini. 

Dan kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kabut asap! Lebih jauh, kebakaran hutan, yang konon 95% terjadi akibat faktor kesengajaan itu, sebenarnya juga mengakibatkan peningkatan emisi gas karbon di dunia. 

Begini penjelasan sederhananya. 

Seperti yang kita ketahui dan dulu sering diajarkan di sekolah, pepohonan di hutan menjaga keseimbangan alam dengan cara menyerap karbon yang lepas di udara, menyimpannya dalam batang dan sebagai gantinya melepaskan oksigen yang kita butuhkan untuk bernapas. Saat pohon mati atau terbakar, karbon yang ada dibagian tubuh mereka terlepas ke udara. Sebagian diserap lagi oleh pepohonan yang lebih muda, dan sebagian lainnya tersimpan di dalam tanah setelah melalui proses pembusukan dan pengendapan. 

Boleh dibilang, hutan adalah penyaring udara dunia. Kita mendapatkan udara yang segar dan sehat untuk bernapas karena proses kerja alami pepohonan di hutan. 

Kebakaran hutan yang luas, mengakibatkan terlepasnya gas karbon dalam jumlah besar dan serempak ke atmosfer. Hal ini jelas berdampak buruk bagi lingkungan secara umum. 

Peningkatan emisi gas karbon di udara berakibat terjadinya efek rumah kaca dan pemanasan global. Yang pada gilirannya tentu saja berakibat pada perubahan iklim, penurunan kualitas hidup manusia dan bisa jadi inilah awal dari kemusnahan peradaban. 

Saya malah curiga, kemunculan berbagai virus dan penyakit baru belakangan ini boleh jadi juga karena ketidak seimbangan alam yang diakibatkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim. Bisa jadi kan?
 
kebakaran hutan dan perubahan iklim
sumber infografis : indonesiabaik.id

Dosa kita pada hutan 

Dalam dua dekade terakhir, deforestasi berlangsung gila-gilan. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga diseluruh dunia. Sebenarnya sejak 4 dekade lalu, para ahli sudah mulai risau dengan isu deforestasi ini. 

Trend deforestasi alias penghilangan hutan memang sudah terjadi sejak 40 tahun silam, dan dalam 20 tahun terakhir angkanya melonjak signifikan. Pada masa itu, sejumlah pengamat dan aktivis lingkungan sudah menyuarakan dampak yang bakal terjadi akibat penggundulan hutan. Diantaranya adalah perubahan iklim, dan peningkatan suhu bumi. 

Sayangnya kegelisahan ini tak jua menyurutkan ketamakan penghuni bumi lainnya. Atas nama pertumbuhan penduduk, kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan industri, hutan-hutan jadi sah buat dibabat. 
kebakaran hutan dan perubahan iklim

Di Indonesia, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan dan permukiman sudah terjadi selama beberapa dekade. Sudah bukan rahasia lagi, izin pengelolaan hutan semacam ini jadi bagian dari kongkalikong antara oknum penguasa dan pengusaha. 

Selain itu, saya juga harus bilang bahwa Program Transmigrasi yang gencar dilakukan pada tahun 1980-1990an adalah salah satu penyebab kian lajunya deforestasi hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Transmigrasi mendorong pembukaan hutan sebagai permukiman dan lahan perkebunan. 

Belakangan luas hutan yang dijarah malah makin luas dengan alasan izin pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. Dan seperti dikutip melalui wri-indonesia.org, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia diklaim berpotensi menghasilkan emisi gas lebih banyak dibanding emisi perekonomian Amerika Serikat secara keseluruhan. 

Kebakaran hutan di Indonesia juga disebut melepaskan emisi dua kali lipat lebih tinggi dari kebakaran Hutan Amazon, di Brazil. Menurut temuan peneliti Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), program riset yang berada di bawah naungan Uni Eropa, kebakaran hutan Indoensia 2019 lalu melepas sekitar 708 juta emisi, sementara emisi kebakaran Amazon mencapai 366 juta. 

Lonjakan terjadi karena hampir seperempat dari total area kebakaran hutan di Indonesia terjadi di lahan gambut di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua. Padahal, gambut merupakan salah satu penyimpan karbon tertinggi di bumi. 

kebakaran hutan dan perubahan iklim

Selain melepaskan karbon, kebakaran hutan juga menghasilkan gas metana. Gas rumah kaca ini 21 kali lebih beracun daripada karbondioksida. Dan pada kebakaran lahan gambut, gas metana yang terlepas ke atmosfer bisa mencapai 10 kali lipat dibandingkan kebakaran dijenis lahan lain. Dari sini, kita bisa membuat hitungan kasar, bahwa dampak kebakaran lahan gambut pada pemanasan global 200 kali lebih besar dari kebakaran hutan lainnya. 

Ngeri kan? 

Sekitar 36 % lahan gambut dunia ada di Indonesia. Dulu, lahan ini nggak banyak dilirik untuk pertanian karena nggak seberapa subur. Tapi belakangan lahan gambut justru banyak dimanfaatkan untuk perkebunan sawit, karet dan akasia. 

Masalah terjadi karena untuk memanfaatkan lahan gambut, harus dikeringkan terlebih dulu. Cara yang paling umum tentu saja dengan membakarnya secara sengaja. 

Pemerintah pusat sebenarnya sudah berusaha mencari jalan keluar yang saling menguntungkan baik bagi korporasi, maupun kelangsungan lingkungan. Salah satunya adalah dengan mensyaratkan prosedur pengeringan lahan yang tepat sehingga bisa meminimalisir kebakaran hutan yang luas. 

Namun, menurut Guru Besar Perlindungan Hutan. Bambang Hero Saharjo, peraturan ini seringkali tak dipatuhi oleh korporasi. 

“Pada tahun 2014, tim kami melakukan audit pada 17 korporasi pemegang izin pengolahan lahan gambut. Saat itu kami temukan bahwa dari 17 korporasi, tak ada satupun yang patuh. Macam-macam saja alasannya.” 

Masalahnya, memadamkan api di lahan gambut sangat sulit. Titik api pada lahan gambut biasanya berada pada lapisan tanah bawah. Cara paling efektif buat memadamkan adalah dengan menunggu hujan turun. Makanya, rekayasa cuaca seringkali jadi pilihan buat memadamkan kebakaran lahan gambut. Namun itu membutuhkan biaya yang juga nggak sedikit. Repot kan? 

Kebakaran hutan dan pemanasan global, seperti lingkaran setan 

kebakaran hutan dan perubahan iklim

Sepertinya saya harus berani bicara jujur, bumi ini terlanjur bobrok. 

Kebakaran hutan yang digadang sebagai salah satu penyumbang emisi gas karbon yang mengakibatkan pemanasan global, pada akhirnya juga terjadi akibat pemanasan global itu sendiri. Upaya penanaman pohon kembali tak sebanding dengan laju deforestasi. Malah nggak jarang kita dapati pohon-pohon muda yang ditanam sebagai upaya menyeimbangkan penggundulan hutan, malah mati akibat kekeringan hutan. 

Yup, penggundulan hutan menyebabkan kemampuan tanah menyerap air juga menurun. Alhasil, kemampuannya menumbuhkan pohon baru juga tak lagi sehebat dulu. Saat kandungan air dalam tanah masih sangat baik. 

Pemanasan global membuat durasi musim kemarau jadi lebih lama. Kekeringan makin meluas dan tentu saja mengakibatkan banyak pohon mati dan memicu kebakaran hutan baru. 

Nggak cuma itu, suhu bumi yang terus meningkat juga mengakibatkan mikroba dalam tanah jadi lebih aktif dan menghasilkan lebih banyak karbon yang terlepas ke udara. Kendati jumlahnya belum terlalu signifikan, namun trend ini terus mengalami peningkatan sehingga berbahaya bagi lingkungan. 

Lantas bagaimana, haruskah kita menyerah dengan keadaan ini? 

Tentu saja tidak! 

Saya pribadi merasa berhutang pada anak cucu. Saya berhutang udara yang sehat, berhutang air bersih yang berlimpah dan berhutang alam yang asri pada mereka. 

Jadi menyerah, jelas bukan opsi. Sesulit apapun, kita harus berjuang bersama untuk memulihkan bumi. Nggak harus langsung melakukan langkah besar. Lakukan hal sederhana dari lingkungan kita, tapi tetap dengan visi dan misi yang besar. 

Karena itu, berhentilah membara hutanku. Izinkan anak cucu kami menikmati indahnya bumi ini. 

Semoga jadi tambah tahu ya.  

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini 

Tidak ada komentar