Kampung Kemuning : Merajut Asa Berseri Bersama Astra

Akhir pekan pertama di bulan November. Tidak seperti biasanya, hari ini saya sudah mulai bangun dan beraktifitas sejak pukul 03.00 dini hari. Ah, kalau menurut ukuran kebiasaan saya sehari-hari, ini memang masih terlalu pagi.

Tapi tidak apa. Karena hari ini special. Hari ini, saya akan berkunjung ke Pedukuhan Kemuning di Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta, bersama dengan rombongan Blogger Yogya dan Astra. Kami dijadwalkan bertemu di meeting point sekira pukul 07.00. Itu sebabnya saya bangun lebih awal, pasalnya perjalanan Solo-Yogya dengan kendaraan pribadi memakan waktu lebih kurang 2 jam. Dan saya tidak ingin terlambat.

…………

“Mau ke Kemuning? Kebun teh itu ya? Kenapa harus berangkat dari Yogya? Kan lebih jauh. Kemuning lebih dekat dengan Solo.” Demikian berondongan pertanyaan dari suami, saat saya mengutarakan akan berkunjung ke Kemuning, sepekan sebelumnya.

“Ini bukan Kebun Teh Kemuning. Kita mau ke Kampung Kemuning yang di Yogya kok,” balas saya dengan kalimat yang agak menggantung. Ragu.

“Memangnya ada ya Kemuning yang di Yogya? Sepertinya kurang terkenal ya,” kata suami lagi.

“Makanya kita mau kesana, supaya lebih kenal. Aku juga baru tahu sih ada Kampung Kemuning di Yogya. Jadi penasaran pengin kesana. Katanya ada telaga angker lho,” jawab saya, menyuplik informasi yang didapat dari hasil googling.

“Wah seru juga tuh. Tapi hati-hati. Jangan lupa kulanuwun kaliyan ingkang bahurekso ya,” saran suami.

…………….

Menurut google maps, jarak dari rumah saya ke Telaga Kemuning sekitar 58 kilometer. Tapi berhubung saya harus mampir dulu ke Hotel Satoria Yogya, lokasi meeting poin rombongan, maka jarak tempuh yang harus saya lalui jadi jauh lebih panjang. “Dari sini ke lokasi mungkin sekitar 30-an kilometer. Lumayan lah,” kata rekan blogger Yogya.

Meski akhir pekan, lalu lintas ke Kemuning tidak terlalu padat hari itu. Mungkin karena kami berangkat pagi-pagi. Meski sempat tinggal selama 4 tahun di Yogya, jarang sekali saya punya kesempatan untuk berkunjung ke kawasan Yogya sebelah tenggara. Ketimbang Yogya sebelah barat, kawasan Gunungkidul ini rasanya sedikit lebih lengang. Masih banyak pohon-pohon rimbun yang tumbuh di sepanjang jalan. Kontur wilayahnya juga berbeda, penuh dengan jalan berkelok dan tanjakan naik turun. Dalam keadaan normal, saya mungkin sudah mabuk perjalanan. Tapi hari itu saya begitu bersemangat, supir yang mengantar kami juga cergas mengemudi. Jadi perjalanan menjadi sangat nyaman.

Setelah menempuh kurang dari 2 jam perjalanan, rombongan kami pun tiba di lokasi. Sempat salah jalan juga ternyata. Maklum, jalan masuk menuju Kampung Kemuning itu ternyata hanya berupa jalan desa sempit dengan lebar sekitar 3 meter. Tidak ada ruang untuk mobil berpapasan. Jalan masuk itu, hanya ditandai sebuah papan nama kecil bertulis “Kemuning”. Kalau tidak jeli, susah rasanya mengenali papan nama itu. Sesaat setelah memasuki jalan desa, saya pikir, kami akan segera tiba di lokasi. Tapi ternyata saya salah!

Dari sana, kami masih harus menempuh sekitar 2 kilometer perjalanan lagi. Luar biasa! Kampung Kemuning ini ternyata memang berada di tengah hutan. Ah, saya harusnya sudah bisa memperkirakan hal itu saat google maps menyebut bahwa Telaga Kemuning berada di Area Hutan, Desa Bunder, Patuk. Sungguh, saya tidak mengira bahwa kampung ini benar-benar ada di tengah hutan. Ya Tuhan, kenapa pula ada desa di tengah hutan begini? Siapa yang mau tinggal?


Pohon jati dan pohon kayu putih berselingan menemani perjalanan kami menuju Kampung Kemuning. Tak lama, rombongan pun tiba. Terlihat sejumlah warga memakai pakaian tradisional menyambut kami. Laki-laki setengah baya yang memimpin mereka memberi ucapan penyambutan, dan mempersilahkan kami masuk ke area telaga secara bergiliran, Beliau adalah Suhardi, Kepala Dukuh Kemuning.

Cara penyambutan yang menarik. Setelah memberi salam, warga melilitkan kain jarik di pinggang para tamu. Disematkan pula dlingo bengle pada pakaian kami. “Ini namanya dligo bengle. Orang Jawa mempercayai kalau dlingo bengle bisa untuk tolak bala,” jelas salah satu warga.



Betul juga. Saya teringat saat hamil hingga melahirkan dulu, ibu kerap menyematkan dlingo bengle di pakaian saya. Katanya supaya terhindar dari makhluk halus yang ingin mengganggu. Saat itu, pikiran saya langsung tertuju pada mitos Telaga Kemuning yang konon angker. Aduhhh, jadi merinding.

Selepas itu, kami juga diperciki semacam air bertuah yang ditempatkan dalam kendi. “Kayu untuk memerciki air ini adalah batang pohon Kemuning,” jelas warga.

'
sumber foto : instagram @kba_kemuning

Penyambutan dilanjutkan di pendopo yang berada di tepi telaga. Udara area telaga yang sepoi-sepoi membuat pikiran jadi lebih rileks. Lumayanlah untuk melepas kepenatan setelah menempuh perjalanan jauh dari Solo sejak dini hari tadi. Tak berapa lama, seorang pemuda menyodorkan camilan khas kepada saya. “Silahkan dicoba, ini Gaplek Geprek.” 


Kudapan yang disebut Gaplek Geprek itu berupa olahan singkong yang disirami oleh gula jawa cair dan ditempatkan di wadah bambu. Kudapan ndeso yang bikin air liur terbit. Menyusul kemudian suguhan kacang, ubi rebus dan teh hangat. Waaaah, berasa seperti tamu istimewa nih. Warga Kemuning memang piawai menyambut tamu.

Pak Suhardi, Kepala Dukuh Kemuning kembali menyapa kami. “Selamat datang. Maaf bila jamuan kami ala kadarnya. Ini camilan khas Kemuning. Untuk nanti siang, kami juga sudah menyiapkan ayam ingkung dan tiwul. Semoga berkenan.”

Sekitar setengah jam, kami melepas penat karena perjalanan di Pendopo itu. Sembari menyeruput teh hangat dan menikmati suasana Telaga Kemuning.

Kawasan Gunungkidul ini, sebenarnya terkenal sebagai kawasan yang gersang. Seperti layaknya kawasan jalur pegunungan seribu, seperti Pacitan dan Wonogiri Selatan, dataran berkontur dan tanah kapur mendominasi wilayah ini. Itu sebabnya tanaman singkong banyak tumbuh dan dibudidayakan di sana, karena memang singkonglah, tanaman yang bisa tumbuh subur di tanah jenis ini.

Minimnya tanaman yang dibudidayakan di jalur pegunugan seribu, membuat kawasan ini dianggap sebagai daerah yang miskin. Tidak banyak hasil pertanian yang bisa dijual atau dimakan. Makanya jangan heran kalau mereka juga sering dikenal sebagai daerah tertinggal. Tak terkecuali dengan Kampung Kemuning ini. Boleh jadi, itu pula alasannya mengapa banyak pemuda dari kawasan di sepanjang jalur pegunungan seribu ini banyak yang merantau ke kota mencari peruntungan.

Lagipula kenapa pula bisa ada perkampungan di tengah hutan dan area yang relatif tandus begini. Sungguh saya tidak habis pikir. Apa jangan-jangan kampung ini dulu merupakan tempat persembunyian ?

“Betul! Yang babat alas dan mendirikan Kampung Kemuning ini dulu seorang abdi dalem kraton yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda,” terang Mbah Seman, salah satu sesepuh kampung.
Mbah Seman

Usia Mbah Seman, 67 tahun. Saat kami berkunjung ke rumahnya yang bergaya limasan itu, beliau sedang duduk bersantai. Mbah Seman adalah generasi kelima dari Mbah Sarijan, atau yang juga dikenal sebagai Mbah Reso Wijoyo, pendiri Kampung Kemuning. Asal usul Kampung Kemuning ini, diturunkan dari generasi ke generasi. “Saya mendapat cerita dari Simbah dan Bapak. Mereka juga diceritakan hal yang sama oleh Mbah Buyut dan Mbah Canggah.”

Asal Usul Kemuning

Alkisah, setelah perjanjian Giyanti yang menyepakati pemisahan antara Yogyakarta dan Surakarta, situasi menjadi makin genting. Pengaruh Pemerintahan Kolonial Belanda juga makin kuat dan makin merongrong warga pribumi. Seorang abdi dalem yang bernama Sarijan menjadi salah satu orang kraton yang diincar nyawanya oleh pasukan Belanda. Ia dianggap memprovokasi warga di tempat tinggalnya di kawasan Boko untuk menentang Kolonial.

Lantaran merasa keselamatannya terancam, Sarijan pun melarikan diri dengan mengendarai kuda kesayangannya. Kawasan hutan di tenggara Yogya adalah tujuannya. Daerah itu ia anggap lokasi yang tepat untuk menyembunyikan diri karena nyaris tak terjamah manusia.

Tak dinyana, pelarian Sarijan ini terendus oleh tentara Belanda. Ia dikejar hingga ke dalam hutan dan terpaksa baku hantam dengan mereka. Sayang, karena kalah jumlah, Sarijan pun terdesak. Kuda kesayangannya mati di daerah yang kini dikenal sebagai daerah tepak jaran. Sarijan sendiri melarikan diri masuk ke area hutan yang lebih dalam. Ia sembunyi di gua yang akhirnya diberi nama Song Asmara.

Setelah beberapa saat dan situasi dirasa aman, Sarijan mulai menelusuri area di sekitar tempat persembunyiannya itu. Ada dua petilasan kuno yang ia temukan disana. Seperti halnya orang-orang pintar zaman dulu, penemuan dua petilasan kuno itu dianggap Sarijan sebagai petunjuk bahwa ia harus memulai kehidupan baru di daerah itu. Maka mulailah ia memasang patok dan mengelola kawasan itu. Seluruh keluarganya diboyong ke area itu.

Proses boyongan itu tidak berlangsung mulus. Rencana Sarijan lagi-lagi terendus tentara Belanda. Mereka mengejar rombongan Sarijan. Sekali lagi Sarijan terdesak. Tak ingin menyerah begitu saja, Sarijan pun bersamadi di area yang disebut Song Putri. Ia meminta keselamatan dari Yang Maha Kuasa.

Singkat cerita, permohonan tulus Sarijan pun didengar Yang Maha Kuasa. Tentara Belanda yang mengejar rombongan kehilangan jejak. Rombongan Sarijan akhirnya selamat. Tak jauh dari tempat samadi itu, Sarijan melihat Pohon Kemuning yang tak tampak sebelumnya. Konon, memang tidak semua orang bisa melihat pohon Kemuning itu. Maka kampung itupun diberi nama Kemuning, yang juga mengandung arti kejernihan dalam berpikir. Mungkin itu jadi simbol untuk mengingatkan keturunannya bahwa pikiran yang jernih adalah cara yang tepat untuk lepas dari pemasalahan.

“Kisah ini dulu sering dimainkan sebagai lakon Ketoprak Jawa. Setiap Rabu Kliwon, dulu digelar pertunjukan Ketoprak Jawa,” terang Seman. Para sesepuh di Kampung Kemuning meyakini Rabu Kliwon adalah waktu yang baik untuk membaca doa, mengucap syukur dan membuat permohonan. Setidaknya itulah yang diajarkan oleh para leluhur mereka.

Merajut Asa

Tinggal di tengah hutan bukan perkara mudah. Meski sebenarnya Kampung ini masih berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang notabene sudah sangat maju dan modern, namun masuk ke Kampung Kemuning rasanya seperti masuk ke dunia antah berantah yang jauh berbeda dengan suasana kota Yogya.

Lokasinya yang terpencil membuat Kemuning kerap luput dari perhatian. Tidak heran bila Kampung Kemuning sulit berkembang. Tapi itu cerita masa lalu. Sentuhan dari Astra mengubah banyak hal di kampung yang berlokasi di tengah hutan itu.

Sekitar 3 tahun lalu, Astra bersama dengan UGM melakukan program penghijauan di kawasan Wanagama, yang ada di selatan Kampung Kemuning. Warga Kemuning yang membutuhkan perbaikan pendopo desa mendapat saran dari UGM untuk mengajukan proposal bantuan kepada Astra. Seperti perjodohan yang telah ditentukan langit, pengajuan warga Kemuning ini ternyata disambut baik oleh Astra.

 Astra bahkan menyertakan Kampung Kemuning sebagai salah satu daerah binaannya di Program Kampung Berseri Astra (KBA). Dan di tahun itu pula terbentuklah KBA Kemuning.

Bersinergi Bersama Astra

Program Kampung Berseri Astra adalah program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra. Melalui program ini, Astra memberi dukungan dan stimulus kepada masyarakat kampung di seluruh Indonesia melalui program 4 pilar yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan dan Kewirausahaan. Tentu saja, dengan tetap mempertahankan dan menjaga identitas dan karakter masing-masing wilayah. Ada kampung yang memiliki potensi wisata yang baik seperti Kemuning, maka akan diarahkan untuk berkembang menjadi desa wisata. Seluruh programnya diarahkan untuk ikut mendukung dan memperkuat identitas asli kampung tersebut. Hingga tahun ini, tercatat ada 77 KBA di seluruh pelosok negeri. Dan pasti jumlahnya akan bertambah lagi di tahun-tahun mendatang. 

Melalui Program KBA, Astra berkolaborasi dengan masyarakat untuk mewujudkan kampung yang bersih, sehat, cerdas dan produktif dan pada gilirannya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat KBA. Kelihatannya memang sederhana. Namun dampaknya sungguh luar biasa. Peningkatan kualitas hidup masyarakat secara tidak langsung akan menyelesaikan banyak sekali permasalahan sosial yang selama ini merundung negeri ini.

Tidak percaya? Lihatlah senyum yang menghiasi wajah warga Kemuning sekarang. Seluruh program KBA yang berjalan selama 3 tahun terakhir ini diakui membuat banyak perubahan dalam kehidupan mereka.

Pendidikan 

Lokasi Kemuning yang cukup terpencil menyulitkan anak-anak Kampung Kemuning untuk menempuh pendidikan. Kebanyakan dari mereka harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk bersekolah. Itu sebabnya, dengan dukungan Astra, didirikanlah Taman Bermain Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sana.

Bangunan PAUD Kemuning tidak terlalu besar. Sekilas, bila tidak memedulikan papan nama yang terpajang di halaman, bangunan itu hanya tampak seperti rumah warga biasa. Bagian luarnya dicat kuning terang, sehingga kelihatan cukup menyolok. Saat kami datang, dari luar terdengar sepintas lalu riuh rendah suara anak-anak. Ada yang bernyanyi, dan tertawa-tawa. Tidak terlalu banyak jumlahnya, namun anak-anak itu terbagi-bagi dalam beberapa kelompok. Tiap kelompok bermain didampingi oleh seorang guru.


Satu hal yang cukup mengejutkan, permainan edukasi yang dimiliki PAUD Kemuning ini ternyata cukup lengkap untuk ukuran taman bermain sekecil itu. “Oh, permainan edukasi ini bantuan dari Astra,” kata salah seorang guru di sana.

Selain makin mudah mendapatkan akses pendidikan, anak-anak Kampung Kemuning juga memiliki banyak kegiatan kesenian. Pada hari-hari tertentu, mereka berkumpul untuk berlatih menari. Menurut sesepuh Kampung Kemuning, Mbah Seman, warga Kampung Kemuning memang sudah sangat akrab dengan kegiatan berkesenian seperti karawitan, menari, wayang dan ketoprak. Namun aktifitas itusempat surut kehilangan peminat. “Baru beberapa tahun ini, anak-anak kembali giat berlatih. Saya ikut senang ada yang melestarikan kesenian warisan leluhur,” kata dia.


Kewirausahaan 

Tidak jauh dari PAUD Kemuning, di pekarangan salah satu rumah, kami melihat hamparan lempeng setengah jadi yang tengah dijemur. Di dalam rumah itu, terlihat Ibu Siti Romlah sedang menata dan mengemasi beberapa produk camilan.


Saya mengenali Ibu Siti Romlah, karena ia salah satu warga yang menyambut kami di Telaga Kemuning sebelumnya. Ternyata, beliau juga merupakan koordinator UMKM Kemuning ini. “Silahkan dicicipi camilan khas Kemuning. Ini buatan ibu-ibu Kemuning,” terangnya.

Ada Jenang Pisang Uter, Banana Roll, Lempeng Singkong mentah dan Lempeng Singkong siap makan, dan tentu saja tidak ketinggalan Gaplek Geprek. Menurut Ibu Siti Romlah, keahlian membuat berbagai panganan ini mereka pelajari dari hasil pelatihan dan kunjungan ke sejumlah wilayah lain yang difasilitasi oleh Astra.

Oia, proses pembuatan seluruh camilan khas ini dilakukan secara bergotong royong di dapur salah satu warga. Di dapur yang tak seberapa besar itu, ibu-ibu Kemuning duduk berkelompok. Mereka membagi tugas, ada yang bertugas membuat lempeng singkong sementara yang lain lagi sibuk mengaduk adonan jenang pisang uter. Suasanannya guyub sekali. “Mengaduk adonan jenang ini memakan waktu lama, hingga 8 jam. Makanya kami lakukan bergantian dan diselingi bercanda, supaya nggak gampang capek.”


Produk-produk camilan ini, selain ditawarkan pada pengunjung yang bertandang ke Kemuning juga dipasarkan melalui media sosial. Tidak jarang, mereka juga mengenalkan produk-produk ini melalui pameran produk lokal yang digelar di berbagai wilayah.


Lingkungan 

Konon, kebersihan lingkungan adalah prasyarat terpenting dalam membangun hidup yang berkualitas. Di Kemuning, hal ini tidak hanya sebatas slogan. Secara rutin, 2 minggu sekali, mereka mengumpulkan dan memilah sampah plastik, kertas dan besi untuk di daur ulang. Sampah yang sudah dipilah lantas diambil oleh pihak Bank Sampah Ngoro-oro yang berlokasi tidak jauh dari Kemuning. Sementara untuk sampah organik mereka kumpulkan untuk dijadikan pupuk. Hasil yang didapat dari sampah ini, sekitar Rp 150.000 per bulan dimasukkan ke kas Posyandu Balita-Lansia dan Dana Sehat.


Selain pengelolaan sampah, warga Kemuning juga melakukan upaya penghijauan. Tidak jauh dari area Bank Sampah, terlihat deretan poly bag berisi beraneka tanaman yang tumbuh subur. Beberapa tanaman hidroponik juga terlihat terawat. Tampak sederhana dengan dengan memanfaatkan botol-botol bekas. Namun tetap saja terlihat asri.
Pelatihan mengolah limbah rumah tangga menjadi pakan ikan. sumber foto : @kba_kemuning

sumber foto: @kba_kemuning


Kesehatan 

Kegiatan Posyandu di Kemuning juga cukup aktif. Sebulan sekali, Balita dan Lansia berkumpul di balai warga untuk pemeriksaan kesehatan. Selain itu, kesempatan itu juga kerap dimanfaatkan untuk penyuluhan mengenai kesehatan. Biasanya ada tenaga ahli dari dinas kesehatan setempat atau universitas yang datang berkunjung ke sana.

sumber foto :@kba_kemuning

sumber foto :@kba_kemuning

Bukan cuma manusia yang dapat perawatan kesehatan di Kemuning. Ternak-ternak warga pun secara rutin di periksa di Posyandu Hewan.

sumber foto :@kba_kemuning
..............

Kunjungan saya, hari itu ditutup dengan hidangan super istimewa yang disajikan warga. Ayam Ingkung dengan nasi tumpeng, tiwul lengkap dengan gudangan dan sambal bawang. Dan untuk minumannya ada wedang secang.



Minuman secang ini, jadi salah satu produk lokal Kemuning yang memiliki banyak peminat lho. Bahannya mereka ambil langsung dari hutan sekitar Kemuning. Seru sekali menyantap makanan lezat ini beramai-ramai. Dan berdasar penilaian saya pribadi, jamuan ini memang lezat sekali. Citarasanya sedikit berbeda dari kebanyakan hidangan asal Yogya yang manis. Sajian ini lebih gurih dan kaya bumbu. Ah rasanya tidak sabar ingin mencicipi lagi. Hidangan ayam ingkung lengkap khas Kemuning ini juga bisa dipesan kalau kalian ingin berkunjung ke Kemuning kok.



Nah, hidup di daerah terpencil bukan berarti jadi tertinggal bukan? Dengan semangat meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik, warga Kemuning kini mulai merajut asa berseri bersama Astra. 

Semoga jadi tambah tahu ya.

1 komentar

  1. Perjalanan yang menyenangkan, ini tulisan yg dapat apresiasi Astra kemarin ya?

    Selamat 😍

    BalasHapus