Semangat Egaliter dalam Secangkir Kopi

Meski minum kopi hampir setiap hari, menurut teman-teman, saya bukanlah penikmat kopi sejati. Kenapa? Karena kopi yang biasa saya minum adalah kopi sachet-an. Itupun masih selalu diberi tambahan gula, susu atau krimmer yang banyak. Pun begitu kalau minum kopi tubruk tradisional, selalu ditambah dengan susu atau krimmer yang banyak.

“Kalau mau ngerasain rasa kopi yang sebenarnya, minum kopi yang plain,” saran teman saya, seorang penikmat kopi.

“Hiiii nggak mau ah. Pahit!” 

“Nggak juga lho. Rasa kopi itu beda-beda, tergantung jenis dan prosesnya.” 

“Ah, paling tetap aja pahit!” Saya bersikukuh.

“Belum coba kok sudah berani nge-judge,” jawab teman saya lagi.

Dan pembicaraan kami tentang kopi pun berhenti sampai disitu. Sampai suatu ketika saya datang ke Lapangan Parkir Pusat Rehabilitasi Yakkum, Yogyakarta, Minggu (29/7/2018) lalu. Saya dan sejumlah teman blogger Jogja dan Solo diundang untuk event Barista Inklusif disana.

Barista Inklusif adalah sebuah program pelatihan barista untuk para difabel yang digagas oleh Program Peduli, bekerjasama dengan Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Cupable Coffee. Selama sebulan, delapan rekan difabel dilatih mengenai seluk beluk kopi. Mereka diberi segala pengetahuan dan keterampilan tentang kopi, mulai dari penanaman bibit, proses panen, pengolahan hingga penyajian kopi.
Namanya juga program Barista Inklusif, tentu kami yang hadir pun mendapat sajian kopi disana. Bukan kopi sachet ya, tapi kopi yang diseduh sendiri oleh para peserta program Barista Inklusif ini. Semua kopi tersaji plain, tidak tersedia gula atau krimmer di sana.

Duuh, saya sempat ragu juga meminumnya, takut kalau pahit. Tapi toh saya coba minum juga.

 Dan setelah satu sesapan. “Lho??!”

Saya tertegun, agak terkejut merasakan rasa kopi yang sebenarnya. Saya coba lagi menegaknya. “Ah, ternyata tidak pahit!”

Agak sulit sih menggambarkan rasanya, tapi alih-alih pahit, kopi racikan teman-teman peserta Barista Inklusif ini berasa sedikit asam, pahit, sepat, dan ada sedikit rasa manis. Unik, tapi enak. Tanpa ragu, saya pun meminta tambahan kopi setelah gelas pertama habis.

“Kopi asli ternyata enak ya.”

Sungguh tidak habis pikir. Jadi atas alasan apa selama ini saya men-judge bahwa rasa kopi pahit? Prasangka? Asumsi?

Duh, nggak adil banget rasanya. Saya bahkan belum pernah mencoba kopi, tapi sudah berani mengklaim semua kopi rasanya pahit.

Hidup Tanpa Prasangka 

Kalau dipikir-pikir lagi, bukan hanya dengan kopi saya bersikap tidak adil. Dalam banyak aspek di kehidupan, saya juga kerap melakukan sesuatu, atau memutuskan sesuatu atas dasar prasangka. Alangkah dangkalnya saya.

Seperti ketika bertemu dengan Mas Eko Sugeng, salah satu peserta Program Barista Inklusif. Pria ramah ini kehilangan kedua tangannya sebatas lengan karena kecelakaan. Terbersit keraguan dikepala saya, bagaimana cara dia meracik kopi? Bagaimana dia menuang air? Bisakah dia melakukan semuanya tanpa bantuan jari yang lengkap?
Keraguan tak beralasan itu seketika buyar, saat saya melihat Mas Eko mempraktikan hasil pelatihannya meracik kopi selama mengikuti Program Barista Inklusif. Dengan kedua lengannya, dia nampak terampil meracik, menuang air, mengukur suhu hingga menyajikan kopi. Ah, saya jadi malu karena sempat meragukannya.

Hidup dengan prasangka? Saya dan sebagian besar penduduk negeri ini rasanya telah terlalu lama hidup dalam sangkar prasangka ini. Kita menilai orang atas dasar prasangka, tanpa usaha dan niat untuk mengenalnya lebih jauh. Itu sebabnya, banyak kelompok-kelompok yang menjadi korban prasangka ini lantas merasakan ketidakadilan, terpinggirkan dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai seorang manusia merdeka. Itulah yang sedang diperjuangkan oleh Program Peduli.

Sebagaimana dikutip melalui situs resminya, Program Peduli adalah sebuah prakarsa Pemerintah Indonesia yang dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan program perlindungan sosial.
Enam kelompok sasaran tersebut adalah

  1. Anak dan remaja rentan, 
  2. Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam, 
  3. Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama,
  4. Orang dengan disabilitas,
  5. Hak asasi manusia dan restorasi sosial, 
  6. Waria. 

(sumber: programpeduli.org)

Rani Ayu Hapsari, Project Manager Program Peduli Pilar Disabilitas, menyebutkan kegiatan yang digagas Program Peduli ini merupakan satu upaya untuk memberi ruang kepada kelompok-kelompok termarjinalkan agar mereka bisa mengakses layanan dasar dan hasil-hasil pembangunan.

Contoh sederhana saja, dari sekian ribu perusahaan di Indonesia, berapa banyak sih perusahaan yang mau merekrut para difabel sebagai karyawan? Berapa banyak sih perusahaan dan tempat public seperti pusat perbelanjaan yang ramah difabel? Entah disadari atau tidak, dalam proses pembangunan, para pemegang kebijakan pun kadang abai dengan keperluan dan hak-hak para difabel untuk mengakses fasilitas umum.

Dikatakan Rani, kesadaran untuk melibatkan kaum-kaum termarjinalkan dalam pembangunan dan bermasyarakat inilah yang coba disampaikan Program Peduli melalui kegiatan-kegiatannya.

Ada Apa Dengan Kopi? 

Dalam banyak aspek, kopi mewakili kesetaraan. Sejak beratus tahun lalu, masyarakat kita mulai meminum kopi sebagai teman santai. Kopi kerap diminum sambil berkumpul, ngobrol ngalor ngidul tentang berbagai topik. Topik-topik sensitif pun kadang bisa dibicarakan dalam suasana yang sangat cair bila dilakukan sambil ngopi. Kadang, sambil minum kopi kita mendapat inspirasi dan ide cemerlang atau solusi maslaah. Itu makanya, sejak lama istilah “obrolan warung kopi” makin dikenal untuk menyebut diskusi yang serius tapi santai.
Dalam obrolan santai sambil ngopi di event Kopi Brewbagi Barista Inklusif saat itu, Bernard Batubara, penulis yang juga menyebut dirinya sebagai penyeduh kopi rumahan , mengatakan bahwa kopi tidak mengenal diskriminasi. “Kopi itu inklusif. Setiap orang bisa menikmatinya, meski dengan cara penyajian yang berbeda.”

Masih di kesempatan yang sama, Rani Ayu Hapsari menerangkan bahwa kopi adalah media yang tepat untuk kampanye kesetaraan. Kopi, kata dia, telah menjadi gaya hidup masayarakat kita sejak lama. Tahun 2017 saja, di Jogja tercatat ada 1700-an coffee shop. “Tapi dari sekian banyak coffee shop itu, berapa sih yang menyediakan akses ramah difabel? Ada yang undakan di pintu masuknnya tinggi, menyulitkan rekan difabel dengan kursi roda untuk masuk,” kata dia.

Itulah sebabnya, Program Barista Inklusif ini digagas. Bukan semata memberi keterampilan meracik kopi kepada teman-teman difabel. “Program ini tidak berhenti di keterampilan meracik kopi saja, tetapi juga pada rencana bisnisnya. Bagaimana cara promosi, bagaimana memilih supplier yang tepat, termasuk penghitungan untung rugi. Harapan kami, rekan-rekan difabel ini nanti bisa lebih berdaya dan tentu saja menginspirasi teman difabel lainnya sekaligus mengikis stigma masyarakat yang masih sering menganggap orang difabel tidak produktif,” imbuh Rani.

Senada dengan Bernard dan Rani, Ni Made Frischa Aswarini, penulis ide cerita film Filosofi Kopi 2 mengatakan ada semangat egaliter yang terepresentasi dalam kopi. “Kopi mempertemukan banyak orang dari berbagai latar belakang. Kopi ini bisa jadi pintu masuk bagi suara-suara minor yang selama ini tak terakomodir dalam pembicaraan resmi.”

Ditambakan Frischa, karena sifatnya yang egaltier itu, kopi juga media yang tepat untuk menyebarkan virus kesetaraan. Setidaknya, melalui kedelapan peserta program Barista Inklusif ini ada banyak orang yang merasa terwakili. Jadi inspirasi sekaligus penyampai pesan yang tepat bahwa difabel bukan aib. Difabel bukan berarti tidak berdaya, Difabel bukan berarti ketidak mampuan. Difabel hanya berbeda kemampuan.
Dalam satu titik, setelah mendengarkan obrolan kopi bersama Rani, Bernard, Frischa dan teman-teman difabel peserta Barista Inklusif, saya merasa bahwa kita semua beda namun juga tidak berbeda. Ya, kita hidup dan terlahir dengan banyak perbedaan yang melekat. Beda suku, beda keyakinan, beda pekerjaan, beda pilihan hidup dan segudang perbedaan lainnya. Namun pada hakikatnya sebagai manusia, kita tidak benar-benar berbeda.

Sebagai manusia kita sama-sama layak untuk diperlakukan selayaknya manusia. Dihargai hak-hak hidupnya, diberi kesempatan hidup yang sama dan tentu saja punya hak untuk tidak dinilai atau diperlakukan berdasar prasangka.

Yuk, kita mulai belajar untuk duduk bersama, berbincang santai, saling kenal satu sama lain. Dan tentu saja sambil minum kopi.

Semoga jadi tambah tahu ya.

2 komentar

  1. Saya juga bukan penikmat kopi beneran. Kadang suka nyicip kopi sasetan ��
    Program barista inklusif bagus banget. moga ke depan makin banyak program pemberdayaan seperti ini.

    BalasHapus
  2. Moga acara kaya gini makin banyak. Seneng deh kalau blogger dilibatkan dalam agenda sosial. Jadi kita turut berkontribusi dalam misi membangun bangsa. Bukan hanya melalui tulisan, tapi juga berinteraksi langsung dengan berbagai masyarakat

    BalasHapus