Mungkin kita memang harus mundur 30 tahun ke belakang untuk memulai kisah ini. Saya lahir 34 tahun lalu, di kota kecil di Bontang, Kalimantan Timur. Bapak saya, bekerja di perusahaan gas alam di sana. Tiga dekade yang lalu, di kota terpencil itu, jangan berani membayangkan jalan yang mulus rata. Bahkan sebagian jalan di kompleks perumahan tempat saya tinggal baru dilakukan pengaspalan saat saya masuk sekolah dasar.
Bayangkanlah, jarak yang jauh antara rumah, pasar, sekolah dan tempat kerja Bapak, dengan jalan ala kadarnya yang berbatu, yang kadang becek dan berlumpur saat musim hujan. Ah, saya nggak yakin anak-anak generasi zaman now bisa membayangkan kondisi itu. Satu-satunya alat transportasi kami sekeluarga adalah motor Honda Astrea berwarna merah. Dibeli tahun 1985. Kata Bapak, harganya waktu itu Rp 800.000.
Umur saya mungkin baru dua atau tiga tahun saat itu. Tapi saya sudah bisa mengingat masa-masa indah yang saya lewati bersama keluarga karena motor Honda merah itu. Seperti misalnya, saat Bapak mencuci dan membersihkan motor itu setiap sore sepulang kerja. Maklum, jalan di tempat tinggal kami belum beraspal, jadi motor itu pasti kotor. “Harus rajin dirawat supaya awet,” kata Bapak saya waktu itu.
Foto jadul :Saya dan motor Honda merah punya Bapak |
Tapi, setelah itu saya dimandikan dan kami sekeluarga biasanya duduk santai di teras menyantap camilan seperti pisang goreng atau jagung rebus, ditemani si Honda Merah yang sudah bersih dan terparkir di halaman. Masa kecil yang indah. Mungkin sejak saat itu, saya sudah menganggap Si Honda Merah ini menjadi bagian dari keluarga kecil kami.
Di lain waktu, saat Bapak sedang sibuk merawat Si Honda Merah, entah itu mengganti aki atau utak atik mesin motor. Saya sering memainkan bagian bawah jok motor. Tahu kan? Kalau jok motor dibuka, dibagian bawahnya ada semacam tonjolan-tonjolan jok gitu. Bagian itu sering saya pakai untuk bermain peran,seolah-olah saya adalah seorang pilot pesawat masa depan yang sedang sibuk menekan tombol kokpit untuk menerbangkan pesawat. Ya Si Honda Merah bukan hanya sekedar motor. Dia juga teman bermain saya.
Saya suka naik di atas motor berpura-pura mengendarainya. Dan coba lihat itu penampilan habis mandi. khas anak-anak tahun 80-an, sisir belah pinggir dan bedak cemang cemong. Hahahaha |
Cukup lama kami sekeluarga menghabiskan waktu bersama si Honda Merah, sampai akhirnya Bapak memutuskan untuk membeli motor baru yang tentu saja kondisinya lebih baik. Si Honda Merah dijual Ibu ke tukang tempe keliling seharga Rp 800.000. Perhatikan nggak? Harga purna jualnya ternyata tidak jatuh. Entah karena memang kondisi Si Honda Merah yang terawat baik, atau mungkin ibu saya yang pintar negosiasi? Entahlah.
Jujur, sebenarnya saya tidak rela kalau Si Honda Merah dijual, dia sudah jadi bagian hidup saya sejak kecil. Saya memandikannya, bermain dengan dia. Tapi apalah daya anak berusia 9 tahun saat itu. Tapi, tidak apa, toh Si Honda Merah tidak dibeli oleh orang jauh. Jadi bisa dibilang saya tidak pernah benar-benar berpisah dengan Si Honda Merah, karena hampir tiap hari dia mampir ke rumah mengantarkan tempe.
Bapak lalu membeli motor baru, Honda Grand Astrea berwarna hitam. Peran Si Honda Merah kini tergantikan dengan Honda generasi berikutnya dan jalan di kompleks kami sudah beraspal saat itu. Saya ingat, Bapak mulai mewajibkan saya memakai helm setiap kali digonceng naik motor ketika itu. “Pakai helm! Supaya kalau jatuh, kepalanya nggak pecah,” begitu kata Bapak. Kalimat yang sama yang selalu saya sampaikan kepada anak saya sekarang setiap kali ia digonceng naik motor.
Selanjutnya mulai saat itu, Bapak sudah 4 kali berganti motor. Tapi yang dia beli selalu Honda. Kata Bapak, Honda itu handal, irit, dan harga purna jualnya tidak pernah terlalu jatuh. Bahkan, saat saya mulai mempertimbangkan untuk membeli kendaraan pribadi sendiri, saran Bapak tetap sama, beli Honda!
Ah, mau bagaimana lagi. Bapak memang sudah kadung cinta dengan Honda. Ia tipe laki-laki yang setia bahkan kepada merek motor sekalipun. “Sejak Bapak pertama kali punya motor, Honda tidak pernah mengecewakan,” katanya.
Bapak, dan mungkin juga saya melihat Honda bukan hanya sekedar sebagai alat transportasi. Ada nilai nostalgia juga yang hadir. Apalagi bila tanpa sengaja kami berpapasan dengan motor keluaran lawas. “Itu seperti motor Bapak dulu,” kenang Bapak. Lalu di mulailah cerita-cerita kenangan seperti saat cerita motor Honda punya Bapak yang dipinjam Om untuk ngapel ke tempat pacar. Dan kenangan-kenangan masa lalu yang kerap datang dan selalu indah untuk dikenang. Saat kenangan-kenangan itu muncul, saya tersadar bahwa ada Astra yang mewarnai perjalanan hidup keluarga kami.
Dengan motor Honda Bapak itu pulalah, saya dulu pertama kali belajar motor. Saya belajar di lapangan terbuka nun jauh di desa nenek saya. Sengaja Bapak membawa saya ke sana untuk belajar motor, karena lapangan itu memang cukup luas dan jauh dari jalan besar. Namanya juga desa, kawasan itu cukup sepi, paling-paling hanya satu dua motor yang melintas di jalan dekat sana. Selebihnya hanya ternak dan penggembalanya yang hilir mudik. Ya, saya belajar motor di lapangan terbuka ditonton oleh sapi dan bebek yang mencari makan tak jauh dari situ.
Setelah diberi tahu teori mengendarai motor, Bapak mulai mendampingi saya mengendarai motor. Setelah dirasa cukup lancar, ia menyuruh saya untuk mulai berkendara sendiri mengelilingi lapangan. Gugup? Jelas. Saat itu saya bahkan sempat terjungkal dari motor. Untung saja kami belajar di lapangan rumput yang sepi, jadi saya dan motor selamat. Memang sih, Honda Bapak lecet sedikit. Waktu itu, Bapak bilang nggak apa-apa. Tapi sesampai di rumah saya pergoki beliau duduk sambil mengelus-elus bagian motor yang lecet. Ah saya jadi merasa bersalah.
Begitulah arti Honda dan Astra bagi kami, bukan hanya sekedar nilai fisik dan fungsinya yang memudahkan hidup, tapi juga nilai-nilai nostalgia, pengalaman, dan kedekatan yang terjadi diantara anggota keluarga kami karena Honda. Itu yang membuat motor Honda jadi punya nilai lebih dalam perjalanan hidup saya.
Jujur saja, sangat sulit bagi saya untuk membayangkan pertumbuhan Indonesia bisa sampai di titik ini bila tanpa kehadiran Astra Indonesia. Saya, yang pernah merasakan hidup di daerah terpencil di Kalimantan sana, tahu persis bagaimana kehidupan kami sangat bergantung pada alat transportasi dari Astra. Bayangkanlah, kalau tidak ada moda transportasi yang bisa membawa bahan makanan, sembako, dan sandang ke kota kami. Apa yang akan terjadi? Hidup kami tentu tidak akan senyaman itu.
Bayangkan betapa lambannya pertumbuhan pembangunan kita bisa tanpa kontribusi Astra. Kok bisa begitu? Oh, apa dikira kontribusi Astra di Indonesia hanya sebatas distributor dan agen tunggal pemegang merek otomotif seperti Honda, Toyota, Daihatsu, Isuzu, Peugeot dan BMW? Cakupan bisnis dan kiprah Astra lebih dari itu.
Perusahaan yang memulai kiprahnya sejak tahun 1957 ini memiliki lini bisnis yang cukup banyak. Bisnis PT Astra International TBK meliputi otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan, infrastruktur dan logistik, teknologi informasi hingga properti. Tidak hanya itu sebagai perusahaan yang memegang teguh etika, Astra juga banyak mengabdikan diri dalam berbagai bentuk kontribusi sosial dan lingkungan.
Dan setelah 60 tahun perjalanannya, setelah enam dekade memberi warna dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dengan pertumbuhan perusahaan yang sangat membanggakan, tugas dan tanggung jawab Astra tentu semakin berat. Ada berbagai masalah baru yang muncul dan sedikit banyak tentu menuntut tanggung jawab sosial dari Astra, seperti misalnya perilaku berkendara yang ugal-ugalan.
Namun, apapun tantangan di depan nanti, saya yakin Astra akan mampu mengatasinya. Terima kasih Astra untuk kontribusinya kepada Indonesia. Dan terima kasih untuk semua pengalaman menyenangkan sepanjang hidup saya.
keren, punya momen indah bersama orang tua
BalasHapusBersama orang tua dan honda hehehe
Hapus