Menyapih dengan cinta. Saya pernah dengar itu sebelumnya, tapi belum paham benar apa maksudnya. Sampai hari ini, eh nggak hari ini bener sih. Mungkin lebih tepatnya beberapa waktu belakangan. Ya, karena memang baru belakangan ini saya giat mengulik informasi tentang menyapih.
Narend sudah hampir 21 bulan, menurut saran buanyaaaak orang, sudah waktunya disapih. Biar mandiri, begitu katanya. Cara yang ditawarkan juga banyak ragamnya. Ada yang bilang harus dibawa ke "orang pinter", nanti dikasih air putih yang sudah didoain. Ada yang bilang, supaya nenen-nya dikasi obat merah aja, biar anaknya emoh nenen. Ada lagi yang nyaranin supaya nenen-nya dikasi ramuan pahit. Wuaaah saya sampai lupa saran apalagi yang nyampe ke telinga ini, saking banyaknya. Dan kebanyakan, menurut saya, kurang manusiawi. Duuh maaf ya kalau ada yang tersinggung.
Gini lho, menurut saya, menyapih itu adalah satu fase penting yang memang harus dilalui setiap anak. Semacam fase transisi yang menandai bertambahnya kedewasaan seseorang. Dengan kata lain ya bertambah mandiri. Tapi, rasanya kurang pas juga bila seorang anak anak "dipaksa" untuk segera melampaui fase itu. Ya sama seperti belajar berjalan, mulai sekolah, atau menikah. Tidak baik kalau itu dipaksakan. Ada jejak-jejak "luka" psikis bila fase itu dilalui dengan keadaan terpaksa atau dipaksakan oleh orang lain.
Menyapih, seperti pula menikah (lagi-lagi menurut opini pribadi saya) bukankah akan lebih baik bila dilalui oleh yang bersangkutan dengan penuh kesadaran. Supaya dia tidak menyesal nantinya, supaya tidak ada "luka" di hatinya.
Maka saya memilih menyapih dengan cinta saja. Tidak perlulah saya datang ke "orang pintar" untuk minta mantra ampuh anti nenen. Atau harus mengoles macam-macam ramuan aneh supaya Narend ogah nenen. Apalagi sampai menakut-nakuti. Saya belajar dan bersabar saja memberi pengertian ke bocah yang belum genap dua tahun itu, bahwa dia sekarang sudah mulai besar, sudah tidak perlu nenen ibu lagi.
Sulit sih, karena Narend sudah punya jadwal khusus buat nenen. Tapi saya coba aja. pelan-pelan jadwal nenen-nya saya ganti dengan jadwal minum susu UHT, atau nyamil sayuran rebus kesukaan dia. Di waktu lain, saya coba alihkan lagi perhatiannya dengan mengajak main, jalan-jalan di kebun dan kolam ikan di sebelah rumah.
Saya tahu menyapih Narend akan butuh waktu lebih lama. Karena, sampai sekarang pun saya sering tidak tega kalau dia merengek minta nenen. Dan saya rasa, saya juga harus siap dengan kritikan orang tua soal Narend yang lambat disapih. Tapi biarlah, saya toh punya cara dan keyakinan sendiri dalam mendidik anak saya. Biarlah ini juga jadi cara saya untuk belajar melepas sedikit kemelekatan yang teramat sangat terhadap Narend.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar