Insting ibu

Dalam hitungan hari, usia Narend genap delapan bulan. Sungguh waktu yang singkat. Beda banget rasanya dibanding dengan 8 bulan awal jadi pegawai. Rasanya luamaaaa sekali. Waktu memang relatif ya. Kita memang tidak bisa objektif bila mengukur waktu hanya dengan standar baku pengukuran lama, atau sebentar. Karena, ya itu tadi, waktu itu relatif.

Jelang delapan bulan umurnya, si Narend makin lasak aja. Udah deh, kita yang nungguin dah nggak bisa lagi tuh santai-santai seperti jaman dia masih bayi banget dulu. Baru ditaruh sebentar ja, dia udah merayap keman-mana. Pengen turun merayap di lantai, pengen ngambil makanan apa aja yang ada di deket dia. Dan semua barang yang deket ama dia kayak dianggep makanan deh. Abis dimasukkin mulut semua sih. Mengkhawatirkan? ya iyalah.

Bagaimanapun sebagai seorang ibu, saya juga punya insting yang sama seperti kebanyakan makhluk hidup beranak yang lainnya di muka bumi ini. Insting melindungi anak dari segala macam gangguan, sakit, dan sebagainya. Secara naluri, hal seperti itu memang nggak bisa ditolak sih. Ya soalnya muncul dengan sendirinya. Tapi hidup berasa jadi kurang tenang kalau begini. Narend main agak terlalu jauh ke pinggir tempat tidur, saya deg-degan. Narend masukkin mainan ke mulutnya, saya deg-degan. Takut kalau ada kuman jahat yang ikut masuk juga, terus Narend jadi sakit. Khawatir kalau dia jatuh dari tempat tidur. Bahkan yang terbaru nih, kalau dia makan atau minum saya juga agak deg-degan. Takut keselek, kan bahaya tuh. Kadang saya merasa kekhawatiran ini terlalu berlebihan dan mulai bikin pikiran nggak tenang. Padahal salah saya sendiri kan? Kenapa juga mikir yang aneh-aneh. Mana kekhawatirannya belum pasti kejadian lagi.

Yang lebih parah lagi, ketakutan ini nggak saya telan sendirian. Tapi saya bagi-bagi juga ke orang-orang sekeliling saya yang juga berinteraksi dengan Narend. 

"Ah, hati-hati nanti Narend jatuh."

"Awas, jangan terlalu tinggi dong ngangkatnya."

Dan, masih banyak awas awas yang lain. Saya paranoid. Itu membuat saya risih sendiri. Harusnya sih saya tidak sendiri, saya yakin banyak ibu-ibu diluar sana yang paham perasaan saya. Mengerti kekhawatiran saya. Tapi, yang patut jadi renungkan, bagaimana dengan anak kita? Selama ini semua kekhawatiran, perasaan waswas dan pejagaan luar biasa ketat itu sebenarnya hanya punya satu tujuan. Memberi kenyamanan pada anak kita. Agar dia bisa bertumbuh kembang dengan baik dan menjadi anak yang luar biasa. Begitu bukan?

Tapi kalau dia tidak nyaman dengan sikap kita itu bagaimana? Saya tahu untuk melatih Narend supaya memiliki karakter yang tangguh tidak bisa dilakukan dengan terlalu melindunginya. Meskipun saya anggap itu sebagai tindakan melindungi. Seperti bayi-bayi hewan liar yang berburu dan bertahan hidup sejak kecil, saya pun harus membiasakan Narend untuk belajar melihat dunia ini apa adanya.

Kehidupan diluar sana tidak pernah berjalan sesuai keinginan kita. Dunia itu berjalan di jalurnya sendiri, tergantung kita mau menyesuaikan diri dengan jalur itu atau tidak? Mereka-mereka yang banyak kecewa dengan hidupnya sebenarnya cuma kurang fleksibel saja mengikuti gerak dunia. Ya contohnya saya ini. Saya terbiasa membuat target hidup yang dirancang dalam kepala. Semua targetnya detail, cara mencapainya juga terperinci. Salahnya, saya tidak menyediakan ruang di pikiran dan batin saya untuk menerima kejutan-kejutan lain. Hasilnya, entah berapa juta kali saya dikecewakan oleh dunia. Akhirnya, marah, frustasi. Padahal itu salah siapa? Salah saya sendiri.

Saya tidak mau Narend celaka, tapi saya lebih tidak mau bila dia menjalani hidup dengan tidak bahagia. Kerap frustasi dengan berbagai hal remeh keduniawian yang seharusnya tidak perlu dirisaukan. Karena toh, dunia sudah berjalan pada alurnya. Yang tidak selalu sejalan dengan isi kepala kita. Juga tidak selalu memuaskan ego kita.  

Tidak ada komentar