Kata pertama...

Tujuh bulan lalu, saya membayangkan kira-kira kapan Narend mulai belajar ngomong. Apa kata pertamanya. Atau apa gumaman pertamanya. Tujuh bulan lalu, saya hanya bergulat dengan khayalan-khayalan nggak jelas soal seberapa cerewet Narend nantinya. Bakal seperti saya kah? Atau seperti Romonya?

Tujuh bulan terlewat dan sekarang saya nggak perlu menerka-nerka lagi. Bayi saya yang montok dan berkepala botak itu, dari hari ke hari kian banyak gumamannya. Memang tidak langsung sepintar bayi-bayi yang bisa langsung mengucap satu kata. Narend paling-paling hanya menggumam, "ma..ma..ma" atau "mbuu", "nti..". Kadang juga " ja..ja..ja" Ya pokoknya suka-suka dia lah. Sebenarnya bukan sesuatu yang aneh kan. Bagi saya, yang lebih menarik adalah karena dia, si Narend yang montok ini, mulai bisa diajak berinteraksi, bisa merespon dengan baik gerak-gerik atau ucapan qta. Menyenangkan sekali.

Dan semua orang pasti maklum, Narend masih bayi, respon dan kata yang diucapkan Narend jelas masih sangat terbatas. Tapi hebatnya satu kata yang dicapkan Narend bisa diartikan banyak hal oleh kami semua, ya saya, ya orang serumah. Misalnya nih ya, Narend menoleh ke saya lalu mengucap uh. Itu saja bisa punya arti banyak banget. Oma bisa mengartikan kalau Narend lagi memanggil ibunya minta nenen, kalau saya bisa saja mengartikan Narend sedang bertanya "Ibu mau kemana?". Hahahaha meski dia tidak betul-betul bertanya begitu tetap saja saya jawab, "Mau nyiapin makan Narend." Nah lho...

Ini membuat saya teringat betapa hal yang sama juga sering terjadi di setiap kesempatan. Bukan cuma waktu mengartikan omongan anak bayi yang baru bisa berucap satu dua kata. Tetapi juga saat kita mendengar pembicaraan orang dewasa, yang notabene, sudah fasih bersilat lidah. 

Coba deh kita ingat-ingat lagi, bagaimana ucapan kita kadang disalah artikan oleh orang-orang disekeliling kita. Atau bagaimana kita menyalah artikan kalimat atau pembicaraan yang kita dengar, baik langsung maupun tidak langsung. Kadang jadi keki sendiri kan kalau omongan kita disalah artikan begitu. Kadang kita, orang dewasa, seringkali tidak sadar bahwa kata-kata hanya sekedar kata. Yang membuat kata jadi berarti adalah persepsi yang ada di otak kita saat menangkap makna dibalik kata-kata. Tidak ada yang salah dengan kata, permasalahannya persepsi kita terhadap kata dan intonasi seringkali berbeda. Jadi wajarlah kalau satu kata bisa dimaknai 1000 arti oleh 1000 orang yang berbeda.

Persis sama kan, saat saya memberi makna pada bahasa bayi Narend? Meski mungkin Narend tidak pernah ada maksud untuk bertanya kemana saya, tapi dia toh juga tidak perduli dengan respon saya yang menjawab sahutannya berdasarkan persepsi saya sendiri.

Tidak ada komentar