Menjaga Tradisi Ditengah Modernisasi: Belajar Wayang yang Asyik di Era Kekinian

Entah sejak kapan dan bagaimana asal muasalnya, hingga sebagian besar masyarakat kita saat ini memiliki pemahaman pendidikan yang dangkal.

Saya bilang dangkal, karena setiap kali membicarakan pendidikan, kita selalu berkutat seputar institusi sekolah saja. Berkutat urusan sekolah favorit dan tidak favorit, nilai-nilai ujian, sekolah, tunjangan guru, kualitas pendidik, kualitas bangunan sekolah. Padahal, pendidikan tidak semata urusan sekolah saja.

Urusan pendidikan adalah urusan semua orang. Setiap insan yang bercita-cita melihat generasi muda Indonesia yang berkarakter, berpendidikan dan inovatif harusnya sadar bahwa pendidikan melibatkan banyak institusi, bukan hanya sekolah. Ada keluarga, ada masyarakat, bahkan juga media massa dan media sosial.

Sungguh tidak bijak rasanya, bila urusan pendidikan hanya dilimpahkan kepada sekolah saja. Memangnya berapa lama sih anak berada di sekolah? Berapa banyak sih yang bisa dia pelajari disana? Kita bayangkan sajalah, dalam satu kelas ada 20 sampai 30 siswa. Masing-masing dari mereka memiliki minat, bakat dan cara belajar yang berbeda pula. Seorang guru, sehebat apapun dia, tentu akan kesulitan mengenal semua murid mereka secara mendalam. Karena keterbatasannya sebagai manusia, sulit pula membayangkan seorang guru harus memantau perkembangan tiap siswa satu persatu secara detail. Tapi masalahnya, karena pemahaman pendidikan yang dangkal itu, sebagian orang tua seperti tidak mau tahu. Semua urusan pendidikan dilimpahkan ke sekolah. Anak merokok, salah sekolah. Anak tawuran, salah sekolah. Semua salah sekolah!

Dan karena pemahaman tentang pendidikan yang sangat sempit itulah, sebagian orang tua saat ini justru abai dengan pendidikan yang seharusnya ia lakukan di rumah, didalam lingkungan keluarganya sendiri. Keluarga tidak lagi dianggap sebagai sebuah institusi pendidikan dimana anak-anak belajar untuk pertama kalinya tentang nilai-nilai moral, etika, dan tata krama.

Seperti yang dikatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, sebagaimana dikutip dari laman sahabat keluarga. Keluarga merupakan awal mula pembentukan kematangan individu dan struktur kepribadian anak. “Keluarga mempunyai peran untuk melindungi anak dengan memberikan pola asuh yang sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam pembangunan Anak Indonesia yang mengacu pada KHA (Konvensi Hak Anak) yaitu Non Diskriminasi; Kepentingan Terbaik bagi Anak; Hak Hidup, Kelangsungan Hidup dan Perkembangan, dan Menghargai Pandangan Anak,” kata dia.

Saya sendiri beranggapan pendidikan adalah kebutuhan dan hak dasar manusia. Manusia akan bertumbuh bila ia terdidik. Pendidikan menentukan cara berpikir seseorang, yang selanjutnya juga akan mempengaruhi bagaimana cara ia bertindak, bersikap dan memecahkan persoalan. Mereka yang terdidik cenderung mampu mengendalikan diri. Akal sehatnya sejalan dengan hati nurani. Singkat kata, pendidikan adalah penentu apakah seorang manusia layak disebut manusia atau tidak.

Itu sebabnya Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara menyebut pendidikan sebagai pembudayaan buah budi manusia yang beradab. Pendidikan harus menggiring manusia menjadi mahkluk yang memiliki budhi pekerti. Dan hal ini tentu juga menjadi tanggung jawab keluarga sebagai institusi pendidikan anak yang paling awal.

Menumbuhkan Cinta Belajar 

Saya memang bukan ahli pendidikan. Saya tidak punya gelar pendidikan resmi. Saya ini hanya ibu beranak satu yang sedang menjalankan dharma. Dharma saya sebagai seorang ibu adalah mengantarkan anak saya menjadi manusia sejati. Manusia yang mengenal jati dirinya dan bisa memanusiakan manusia.

Sungguh, saya tidak bermimpi anak saya nanti akan menjadi orang terkaya di dunia, menjadi orang paling berkuasa di dunia. Tidak sama sekali. Saya hanya berharap, ia bisa menjalani hidup dengan bahagia, menjalankan dharmanya dengan baik. Dan untuk itu, saya juga harus belajar untuk mengubah cara pandang saya mengenai pendidikan. Saya belajar bahwa pendidikan harus saya mulai di lingkungan keluarga sendiri, dan harus dimulai sejak usia dini.

Nilai rapor yang tinggi bukan lagi tujuan utama saya. Pengalaman membuktikan punya nilai tinggi tidak menjamin kesuksesan, kebahagiaan seseorang. Tidak pula jadi jaminan seseorang menjadi akan menjadi manusia yang lebih baik. Makanya dalam mendidik anak semata wayang saya, Narendra, saat ini saya lebih fokus untuk menumbuhkan minat dan kesenangan belajarnya dulu.

Kenapa?

Ya, karena kesenangan untuk terus belajar inilah yang akan membuatnya terus bertumbuh. Kecintaan pada ilmu ini yang akan membuatnya terus mencari tahu, menambah ilmu hingga ke penjuru dunia. 

Lalu bagaimana? 

Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa belajar adalah kebutuhan manusia. Sadar atau tidak, seorang manusia tentu terlahir dengan rasa ingin tahu. Dari rasa ingin tahu, ia lantas tergerak bertanya, bereksperimen dan membaca. Sifat dasar inilah yang coba saya manfaatkan dari Narend.

Meski di rumah kami punya peraturan yang cukup ketat mengenai cara makan, jam istirahat, waktu menonton televisi dan bermain gawai, kami berusaha tetap membebaskan Narend untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Ia, dibebaskan untuk ikut terlibat dengan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang tua dan saudara-saudara lain.

Misalnya nih, saat saya mencuci pakaian. Rasa penasaran Narend akan menggiringnya mendekati saya dan bertanya.

“Lagi ngapain, Bu?” 
“Kenapa airnya berbusa?” 
“Kenapa kalau dicuci, bajunya jadi bersih?” 

Dan segudang pertanyaan lainnnya. Biasanya setelah itu dilanjutkan dengan ikut mencuci bersama. Jujur saja, tingkahnya ini kadang sedikit mengganggu. Pekerjaan mencuci yang biasanya selesai dalam waktu setengah jam, kini baru bisa selesai dalam waktu dua jam, karena intervensi-nya itu. Tapi, saya tidak mau melarang. Menurut saya ini lebih baik ketimbang dia melulu berkutat dengan gawai di kamar sendirian.

Pun, saya cukup sadar bila saya tidak meladeni pertanyaannya atau malah melarang dia untuk bertanya atau ikut mencuci saya malah akan mematikan keinginannya untuk belajar. Ah, saya tidak mau begitu!

Menemukan Cara Belajar yang Menyenangkan 

Sejak usia 2 tahun, Narend tertarik dengan wayang. Ia sangat antusias dengan semua hal yang berkaitan dengan wayang, khususnya wayang kulit. Mulai dari tokoh-tokoh pewayangan, kisah pewayangan hingga cara membuat wayang.

Dan tidak seperti teman-teman sepantarannya, yang mungkin lebih suka bermain mobil-mobilan, mainan kesayangan Narend adalah wayang kulit yang kami beli di Candi Prambanan seharga Rp 25 ribuan per buah. Mobil-mobilan dan mainan lain malah teronggok berdebu di kotak. Mungkin sebentar lagi bakal kami hibahkan ke orang lain.

Sebagai orang tua, kecintaan Narend kepada seni warisan leluhur ini tentu sangat kami apresiasi. Pun, kami melihat kecintaan Narend terhadap wayang ini bisa jadi “pintu masuk” untuk pengajaran materi-materi lainnya.

Misalnya belajar mengenal huruf dan angka. Suatu hari, kami menemukan buku Kitab Lengkap Tokoh-tokoh Wayang & Silsilahnya di toko buku. Dan karena ada gambar Semar dan Pandawa di bagian sampulnya, Narend pun meminta saya untuk membeli.
Saat itu dia memang belum belajar mengenal huruf. Kalaupun tahu, paling hanya huruf-huruf tertentu. Nah, setelah memiliki buku itu, rupanya Narend tergerak untuk mengetahui nama-nama tokoh wayang yang tertulis disana. Sekalian saja kan saya ajak dia untuk mengenal huruf disana. Misalnya B-I-M-A atau B-A-Y-U.

Dari buku itu juga dia mulai memperhatikan angka dan bertanya pada saya.
“Ini apa?” kata dia.
“Itu angka, angka 1. Yang ini angka 2,” begitu saya menjelaskan.

Yah, saya tidak tahu apakah ini metode belajar membaca yang baik atau tidak. Tapi saya cukup yakin bahwa ini adalah cara belajar yang menyenangkan untuk Narend. Itu sebabnya saya selalu katakan pada dia; “Kalau mau tahu siapa saja tokoh-tokoh wayang, Narend harus belajar membaca supaya bisa membaca sendiri.”

(Baca juga : Wayang Dan Narend)

Melalui wayang juga Narend belajar menceritakan kembali dan melatih imajinasi. Biasanya setelah meyaksikan wayang di televisi, Narend akan mulai meniru dan saya ajak untuk menceritakan kembali cerita wayang yang disaksikannya. Memang belum sempurna sih, tapi makin hari ia makin lancar bercerita, lengkap dengan dialognya.

Wayang, sepertinya juga memberi peluang untuk mengembangkan imajinasi, karena belakangan, Narend malah lebih suka membuat lakon sendiri. Tokoh-tokohnya, tentu saja orang-orang disekitarnya seperti ibu, bapak, oma, sepupu dan teman-temannya.

Sekali waktu, kami juga mengajak dia berkunjung ke kampung wayang di Wonogiri, untuk melihat dari dekat proses pembuatan wayang. Dari penjelasan para pengrajin wayang disana, Narend jadi tahu apa bahan pembuatan wayang. Bagaimana mengolahnya sampai menjadi wayang. Dan dia juga bisa mendengar cerita-cerita wayang disana.
(Baca juga : Pengalaman Seru di Kampung Wayang)

Belajar dari beberapa rekan yang sudah lebih berpengalaman mendidik anak, kami juga coba melibatkan Narend melakukan beberapa project keterampilan. Menurut mereka mengerjakan proyek keterampilan bersama-sama baik untuk meningkatkan bonding dengan anak. Melalui proyek bersama ini, kita juga bisa belajar bekerja sama, belajar bernegosiasi dan kompromi. Ah, saya pikir ini sejalan lah dengan metode attachment parenting yang sempat saya baca artikelnya di sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id.

Nah, berhubung Narend tergila-gila dengan wayang, kami pun mengikuti beberapa workshop yang berhubungan dengan wayang. Seperti belajar membuat wayang suket (wayang rumput) dan wayang sampah. Semua tahapan pembuatan wayang itu, kami jalani bersama. Mulai dari mengumpulkan bahan pembuatnya, sampai membuat wayangnya. Narend ikut terlibat memilih plastik mana yang dipakai. Ikut menempel plastik, hingga akhirnya wayang sampah itu jadi. Saya ikut senang melihat Narend memainkan wayang sampah itu.
Belajar membuat wayang suket. Yang satu karya Ibu, yang satu lagi karya Narend, dibantu Ibu. Hehehe
Dari proyek ini pula, saya jadi punya “celah” memberi pengajaran baru buat Narend. Sebut saja saat membuat wayang sampah. Ketika mengumpulkan sampah-sampah plastik, saya mencoba memberi pemahaman kepada dia tentang bagaimana kita perlu bijak menggunakan plastik.

“Plastik ini susah hancur. Kalau buang plastik sembarangan, terus plastiknya sampai ke laut nanti banyak ikan yang mati. Binatang laut yang lain juga mati. Kita nggak bisa lagi makan ikan. Kalaupun ada, ikannya sudah beracun karena makan plastik, kita bisa sakit.” Kurang lebih begitu kata-kata saya, berusaha memberi penjelasan sesederhana mungkin kepada Narend.


“Makanya, kantong plastik lebih baik dibuat barang lain yang lebih bermanfaat. Seperti wayang sampah ini.” Begitu saya berusaha menjelaskan tentang betapa pentingnya mengolah sampah plastik.

Pendidikan di Era Kekinian 

Menjadi orang tua kekinian memang sangat menantang. Ada banyak isu yang perlu kita sampaikan kepada anak-anak kita supaya dia siap menerima warisan dunia yang sudah kadung kacau balau begini. Salah satu isu yang menjadi perhatian banyak orang tua masa kini, adalah penggunaan gawai yang tidak bijak. Ada banyak cerita yang beredar tentang bagaimana anak terpapar pornografi melalui gawai. Anak terlibat dalam gerakan radikalisme juga karena gawai. Lalu bagaimana kita perlu bersikap?

Tentu, sebagai generasi kekinian, sulit rasanya menjauhkan pengaruh gawai dari anak-anak kita. Saya sendiri, dengan kesibukan sebagai blogger, tentu saja tidak mungkin jauh-jauh dari gawai. Lalu mengingat banyaknya kisah anak-anak zaman now yang terkena dampak negatif penggunaan gawai, apa saya lantas perlu melarang Narend memakai gawai?

Ya nggak juga. Baik buruknya gawai sebenarnya tergantung pada siapa dan bagaimana penggunaanya. Jadi bukan salah gawainya. Justru anaklah yang harus kita didik untuk memanfaatkan gawai sebaik dan sebijak mungkin. Zaman sekarang, Narend bisa menonton pertunjukan wayang melalui Youtube. Ya kalau nunggu siaran wayang di televisi kan susah banget ketemunya. Kalaupun ada pasti waktu tayangnya malam sekali. Mana mungkin ditonton anak-anak.

Ada banyak video yang bisa ia saksikan melalui Youtube. Saya biasanya mendowload beberapa video wayang supaya bisa dia saksikan. Untuk menghindari dia mengakses content lain yang mungkin tidak sesuai dengan umurnya, fitur mobile data saya matikan. Jadi, hanya video yang sudah diunduh sajalah yang bisa ia tonton.

Mumpung anak saya masih kecil, saya berupaya untuk tidak membiarkan dia tergantung pada gawai. Gawai, apapun bentuknya, hanya alat yang perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Gawai adalah media untuk belajar. Karena ia menyukai wayang, maka ia bisa menyaksikan wayang disana. Kalau ia ingin belajar memasak atau membuat prakarya lain, ia juga bisa belajar melalui gawai. Tapi tidak perlu juga jadi merasa tidak bisa hidup tanpa gawai.

Era kekinian memang memaksa kita juga terus belajar. Tantangan pendidikan makin beragam dan sebagai orang tua, kita tidak bisa melimpahkan semua tanggung jawab itu hanya kepada sekolah. Kita pun perlu lebih terlibat dalam pendidikan anak. Pun, sesuai dengan tuntutan zaman, rasanya akan lebih baik juga kalau kita mulai menempatkan anak sebagai subjek. Sudah nggak zaman lagi, memaksa anak belajar sambil duduk manis di meja belajar. Tidak semua anak cocok dengan metode itu. Mari kita memilih metode belajar yang paling sesuai dan paling menyenangkan untuk anak-anak kita. Biarkan mereka bertumbuh, bereksperimen dan bereksplorasi.

Semoga jadi tambah tahu! Selamat belajar bersama!
#sahabatkeluarga

4 komentar

  1. Aku setuju Mak Wied, gawai itu hanya alat. Baik buruknya tergantung pada pemakainya.

    Narend, semoga kelak kamu jadi anak yang nguri-uri budaya kita lewat wayang yaa.. 😊😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hooh.. Kalau anak dibiasakan utk memanfaatkan gawai dg bijak sebenarnya banyak bgt keuntungannya. Cm emang butuh keterlibatan kita sebagai orang tua y.makasi udah mampir mak.. 😘😘

      Hapus
  2. Salut buat narend mba wied. Eh salut juga buat emaknya. Suatu hari, bisa nih kucontoh untuk mendidik anakku
    #lalu tengok-tengok nyari bapaknya, eh iya, bapaknya kan belum ada. haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahhaha... Nanti calon bapaknya dateng sendiri kok. Santai aja. Yg penting cari calon bapak yg visioner dalam mendidik anak. Biar kita, emaknya ga klimpungan sendiri. Mendidik anak ternyata ga gampang.makasi y udah mampir.

      Hapus