Pemilu, Saatnya Menakar Kedewasaan Politik Kita

Sejak mendeklarasikan diri sebagai Negara berdaulat 1945 silam, bangsa ini entah sudah berapa kali dibuat karut marut oleh perebutan kekuasaan. Politik! Kita bahkan sampai lupa membangun Negara saking sibuknya bergulat saling berebut kekuasaan, berebut pengaruh.

Mengenai hal ini, sebenarnya saya cukup maklum. Indonesia tidak menempuh jalan yang mulus untuk mencapai kemerdekaan. Bahkan setelah menyatakan diri sebagai negara merdeka, kita tetap tidak bisa lepas dari pertarungan kekuatan-kekuatan asing yang ingin mengambil untung dari kekayaan Indonesia. Ya kekayaan alamnya, yang sumber daya manusianya. Semuanya.

Mungkin itu pula sebabnya, mengapa pergantian tampuk pemimpin di negara ini nyaris tidak pernah berjalan mulus. Selalu penuh kerikil tajam yang sudah barang tentu pula memakan korban. Tujuannya apa? Tentu saja demi kekuasaan.

Saya mulai tertarik mengamati politik sejak tahun 1997. Waktu itu, digelar Pemilu terakhir di era Orde Baru dan saya baru masuk SMA. Kasak kusuk tentang kemunculan nama calon presiden alternatif mengemuka saat itu.Tema itu jadi perbincangan di kalangan orang-orang dewasa. Santer sekali. Mereka bilang, Pak Harto sudah terlalu tua untuk menjadi presiden, harus ada tokoh lain yang maju. Sementara yang lain mengatakan, Pak Harto dan kroninya terlalu serakah. Pemerintahannya terlalu bobrok sehingga Indonesia remuk redam oleh krisis moneter. Saya cuma bisa menyimak. 

Kerusuhan berdarah di berbagai daerah dan demo besar-besaran oleh mahasiswa, memaksa pengunduran diri Soeharto. Kisahnya epic sekali. Saya ingat, saya menyaksikan detik-detik pidato pengunduran diri itu melalui televisi. Sendirian, di ruang keluarga. Ibu saya meski di rumah, mengaku tidak tertarik dengan urusan politik seperti itu.

Saya ingat, hari-hari penuh drama berikutnya, saat pemilihan umum dilakukan lagi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati jadi pemenang. Tapi Mega, tidak jadi presiden. Legislatif memilih Gus Dur untuk memimpin. Saya dengar, alasan tidak terpilihnya Mega saat itu, karena hal sepele. Karena dia, perempuan!

Sejak saat itu, saya makin concern mengenai politik. Buat saya politik itu seni yang indah. Ini bukan semata tentang memperoleh kekuasaan. Bagian paling menarik dari politik, justru terletak pada cara yang dipilih untuk mendapatkan kekuasaan itu. Ini seni.

Apa dikira proses terpenting dari sebuah pemilihan umum terletak pada proses perhitungan suara dan coblosan saja? Rasanya nggak. Proses terpenting dan tergenting dari pemilihan umum terletak perang siasat dan inteljen yang terjadi beberapa tahun sebelum hari pemungutan suara. Inilah masa krusial bagi kekuatan-kekuatan politik itu untuk adu strategi dalam mencari pengaruh sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Apa yang bakal terjadi di hari penghitungan suara, ditentukan dari adu propaganda yang ditebarkan dua atau tiga tahun sebelum pemilihan umum itu digelar.

Masalah adu strategi, sebenarnya adalah masalah yang lumrah dalam perebutan kekuasaan. Si A ingin menampilkan citra yang baik agar banyak orang yang memilih dia sebagai pemimpin. Sementara si B juga meluncurkan ide-ide yang inovatif untuk pembangunan. Kira-kira begitu gambaran idealnya.

Tapi belakangan, adu siasat ini malah jadi memuakkan karena pihak-pihak yang berebut kekuasaan memilih cara dan isu yang tidak etis dalam usahanya meraih kekuasaan. Isu agama, suku, dan ras dijadikan komoditi politik. Mereka memilih polarisasi identitas untuk mendapatkan pengaruh. Identitas berdasar agama, suku dan ras diperalat untuk mengumpulkan massa yang fanatik. Yang sewaktu-waktu bisa “dipakai” untuk bertempur satu sama lain.

Makanya, jangan heran lah kalau berteman di medsos kini tidak nyaman lagi. Jangan heranlah kalau tetangga atau kerabat kita tiba-tiba jadi judes hanya karena tahu kita memiliki pilihan politik yang berbeda. Kebencian mereka, dan mungkin kita juga, adalah hasil “rekayasa” dari para elit yang sedang berebut kekuasaan.

Bodoh?

Iya! Kita bodoh kalau mau saja mengikuti permainan mereka. Bodoh kalau kita membenci saudara kita setanah air hanya karena dia berbeda pandangan politik. Bodoh, kalau kita mengucilkan teman karena dia jadi tim sukses calon walikota yang tidak kita dukung.

Lalu bagaimana?

Bagaimana pun, lingkaran hidup kita tidak akan bisa terlepas dari politik. Seperti yang disebut Mak Umi dalam tulisannya Emak-emak Bicara Politik, hampir setiap lini kehidupan tidak bisa lepas dari pengaruh kebijakan politik. Sistem pendidikan adalah produk politik. Urusan harga daging, dan telur juga tidak bisa lepas dari aturan politik.

Jadi, apakah kita masih akan tetap apatis terhadap politik? Apakah kita masih bisa cuek dengan urusan politik? Bahkan urusan dapur pun tetap ada keterkaitannya dengan politik. Apa kita masih bisa acuh? Lalu harus bagaimana kita bisa berpartisipasi aktif sementara kita sama sekali tidak berada di lingkaran kekuasaan. Bukan kader partai, bukan komisioner KPU, bukan pejabat publik, lantas kita bisa apa? Sederhana saja, kita bisa mulai dengan membuat keputusan politik secara dewasa.

Pilih secara objektif
Tanggalkan atribut suku, agama dan ras. Belajarlah untuk memilih secara objektif. Pelajari track record calon pemimpin yang akan kita pilih. Apakah ia pernah tersangkut urusan hukum atau tidak, apakah namanya pernah terlibat masalah korupsi atau tidak. Bagaimana wawasan kebangsaannya. 

Hal terpenting dari calon pemimpin adalah apakah ia memiliki wawasan yang cukup mengenai problem Negara ini atau tidak. Kita bisa menilai hal ini saat calon pemimpin melakukan debat terbuka.

Pilih berdasarkan program yang ditawarkan
Kita melakukan pemilihan setiap lima tahun sekali dengan harapan, pemimpin yang kita pilih akan membawa kemajuan bagi Indonesia. Tentunya kita juga harus berani bertanya visi apa yang dia miliki untuk bangsa ini, bagaimana cara dia mencapainya? Apa program yang dia rancang untuk mencapai tujuan itu? Apakah program yang ia rancang realistis atau tidak?

Abaikan HOAX
Hoax adalah cara pengecut menebarkan bibit kebencian. Herannya, kita seringkali lebih mudah terprovokasi untuk menyebarkan berita buruk terlebih dahulu, sebelum mempelajari sumber beritanya.

Masalahnya di era ini, masa dimana semua orang bisa membuat “berita” tanpa perlu memahami etika jurnalistik, kabar bohong dan tidak bertanggung jawab justru lebih mudah tersebar. Makin parah, karena masih ada saja orang yang membuat keputusan politiknya berdasarkan kabar yang ia terima melalui WA Grup atau timeline medsos, tanpa mengecek kebenaran beritanya terlebih dahulu.

Lebih dari itu, momentum pemilihan legislative dan pemilihan presiden tahun ini sebenarnya juga kesempatan yang bagus untuk mulai memberi pendidikan politik yang benar kepada generasi milenial. Berdasarkan data BPS tahun 2017, sekitar 35 % dari total jumlah pemilih merupakan generasi milenial. Sungguh angka yang cukup besar dan potensial. Mereka pulalah yang akan menentukan masa depan Indonesia nanti. Itu sebabnya, perlu ada pemahaman dan pendidikan politik yang tepat dan benar agar karut marut politik saat ini tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Oke, generasi milenial boleh jadi adalah generasi yang tidak menjalani secara langsung masa reformasi seperti kita dulu. Mereka mungkin tidak tahu sejarah kelam dan trauma bangsa ini akibat kerusuhan 1998. Namun justru karena itulah mereka seharusnya bisa kita didik untuk mulai melakukan politik yang penuh kedamaian. Politik yang cantik dan beretika. Mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara yang etis dan intelek. Bukan dengan cara barbar yang memupuk dan memanfaatkan kebencian.

Karena itu, marilah kita mulai berpolitik secara dewasa. Memberi contoh pendidikan politik yang baik pada anak-anak kita. Selamat memilih pemimpin masa depan.

Semoga jadi tambah tahu ya.

2 komentar

  1. Mak Wiiiiidddd... Keren ih tulisannya... Aku dari kemarin pilih diem aja, soalnya aku nggak tau seluk-beluk politik seperti apa.

    Sudah punya pilihan, iya. Tapi aku nggak ingin juga jelek-jelekin kubu sebelah. Buat apa?

    Semua calon pemilih itu kan udah dewasa secara usia, mestinya juga lebih bijak dalam mengungkapkan isi hatinya. Kalau ada yang menjelek-jelekkan pilihan orang lain, duh, berarti kurang mature aja lah intinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mak arin pemilih yg dewasa deh. Iya kan, beda pilihan bukan berarti lantas kita harus saling menjelekkan. Ga elok lah menggadaikan persaudaraan dan persahabatan demi elit politik.

      Hapus