Dana Desa Demi Pembangunan yang Berkesinambungan

Sumber foto : www.mongabay.co.id

Sudah lebih dari 70 tahun Indonesia mengklaim diri sebagai bangsa merdeka. Dan selama itu pula muncul pertanyaan besar ditiap generasi yang merayakan Hari Kemerdekaan, apakah kita benar-benar sudah merdeka?

Nyatanya 70 tahun belum cukup membuat bangsa ini berdikari. Selama puluhan tahun, pembangunan memang digenjot gila-gilaan. Gedung tinggi dibangun, pusat perbelanjaan modern didirikan, tapi itu hanya terjadi di Ibukota Negara, Ibukota Provinsi dan beberapa kota saja. Coba sesekali lihat ke desa-desa di Indonesia. Jangankan gedung bertingkat, jalan desa saja masih banyak yang setapak.

Saya ingat, salah satu joke yang pernah dilontarkan komika Arie Keriting yang beken itu. Dia bercerita satu saat ketika pulang kampung, kawan kecilnya mengajak untuk berwisata melihat “jalan baru”. Dalam pikiran Ari, “jalan baru” yang dimaksud mungkin adalah lokasi wisata yang diberi nama jalan baru. Maka pergilah dia mengikuti ajakan temannya itu. Tak dinyana, ternyata “jalan baru” yang dimaksud ternyata sungguh-sungguh sebuah jalan besar yang baru dibangun. Dan hebatnya, banyak penduduk lokal yang datang kesana sekadar buat melihat jalan yang betul-betul baru dibangun.

Oke, itu mungkin hanya joke, tapi saya melihat itu sebagai kritik keras tentang timpangnya pembangunan di Indonesia. Sebenarnya apa yang terjadi di Ibukota sana? Kemana larinya APBN senilai triliunan rupiah yang disusun setiap tahun? Dipakai buat apa? Kenapa kami-kami yang ada di desa ini tidak bisa merasakan keadilan pembangunan dan fasilitas seperti yang didapat saudara-saudara di kota?

Tahukah Anda? Selama puluhan tahun, desa-desa hanya bisa berpuas diri dengan dana alokasi desa yang digelontorkan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten. Jumlahnya tidak seberapa, mungkin hanya cukup untuk menjalankan administrasi desa. Ya buat urusan bikin surat ini itu dan pengurusan kependudukanlah.

Buat kesejahteraan perangkat, disediakan tanah bengkok. Berupa areal persawahan atau kebun yang dikelola oleh perangkat desa. Hasil panennya dipakai untuk menggaji perangkat. Bisa bayangkan pengabdian perangkat desa kan? Ouu, sebenarnya ada kebijakan pemberian gaji untuk perangkat desa yang disahkan oleh pemerintahan SBY. Perangkat menerima gaji bulanan dengan konsekuensi mengembalikan tanah bengkok sebagai asset desa. Kelihatan cukup adil ya? Satu masalah terselesaikan!

Nyatanya, itu tidak cukup jadi solusi mandeg-nya pembangunan desa. Kesejahteraan perangkat memang ada perbaikan, tapi kondisi desa masih gitu-gitu aja.

Bicara soal pembangunan desa, sebenarnya kita sudah punya sistem yang bagus. Setiap tahun, dilakukan musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). Dalam forum itu, setiap warga atau perwakilannya dapat mengajukan usulan pembangunan yang dibutuhkan warga. Misalnya untuk pembangunan jembatan, perbaikan jalan atau pemberdayaan perempuan.

Hasil dari Musrenbangdes kemudian diajukan lagi ke kecamatan melalui Musrenbangcam. Forum ini lantas mendiskusikan dan akhirnya menyepakati program pembangunan mana yang perlu jadi prioritas mana yang tidak. Hasilnya diajukan lagi di tingkat Kabupaten/Kota sebagai dasar untuk penyusunan pengajuan anggaran ke DPRD. Kelihatan ideal?

Kenyataannya, rancangan pembangunan ini tidak selalu disetujui dan lolos dalam rapat anggaran. Kalah oleh usulan pembangunan titipan oknum legislator. Sudah jadi rahasia umum ya, soal njelimet-nya kehidupan berpolitik di Indonesia. Para legislator terpilih merasa butuh menggolkan usulan program pembangunan demi merawat konstituennya di desa. Plus, mereka bisa mendapat “sedikit” keuntungan dari tiap program yang diloloskannya. Praktik yang jamak terjadi di daerah.

Maka jangan heran kalau pembangunan desa seringkali tidak berkesinambungan dan seolah tanpa perencanaan. Beberapa pembangunan malah terkesan dipaksakan karena prosesnya yang transaksional itu. Jangan heran pula, kalau rakyat pun tidak diizinkan terlibat, supaya oknum-oknum bebas mengeruk untung.

Makanya, saat kebijakan pengalokasian Dana Desa melalui APBN akhirnya berhasil digedok, seperti ada angin segar buat pembangunan desa. Tidak hanya bisa digunakan untuk kebutuhan administrasi pelayanan publik serta kesejahteraan perangkat. Dana Desa dari APBN juga lebih dari cukup untuk meningkatkan level desa menjadi Desa Mandiri.
Sumber : www.kemenkeu.go.id

Bagaimanapun, saya yakin pelaksanaan di lapangan tidak akan semudah itu. Pemerintah Pusat, bersama dengan Pemerintah Daerah perlu melengkapi beberapa prasyarat, mengondisikan desa agar program ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Apa saja itu?

Pertama, peningkatan kualitas SDM di desa melalui sosialisasi, pelatihan, pendampingan dan pengawasan yang berkesinambungan. Suka tak suka harus dimaklumi, perangkat desa tidak terbiasa mengelola uang dalam jumlah besar. Kalau ini tidak diberi arahan yang benar, bisa-bisa malah jadi ruang baru untuk korupsi.

Kedua, peningkatan partisipasi masyarakat. Sudah waktunya, rakyat terlibat langsung dalam pembangunan daerahnya sendiri. Cara sederhana bisa dilakukan, misal dengan menampilkan secara terbuka program pembangunan desa di ruang publik. Dari sana, masyarakat setidaknya bisa tahu dan syukur-syukur bisa peduli serta mau mengkritisi rencana pembangunan di daerahnya. Secara tidak langsung inilah bentuk pengawasan oleh masyarakat.
Sumber : satgas.kemendesa.go.id

Ketiga, pendampingan dari pemerintah daerah dan aparatur penegak hukum. Sebagai bagian dari NKRI, pembangunan di desa tentu tidak boleh melenceng dari alur kebijakan diatasnya. Tidak bisa mentang-mentang mengelola anggaran sendiri lantas boleh seenaknya. Untuk itu perlu pendampingan dari pemerintah daerah agar pembangunan berjalan seirama dengan cita-cita dan alur pembangunan nasional.

Soal pendampingan aparatur penegak hukum, ini terkait dengan prosedur pelaksanaan dan pelaporan pembangunan yang njlimet bukan main. Yah setidaknya buat ukuran aparat desa ya. Ini penting, karena besarnya dana yang harus dikelola membuat desa jadi sasaran empuk oknum tertentu. Modusnya bisa jadi dengan menakut-nakuti bahwa pengelolaan Dana Desa yang dilakukan salah dan pemerintah desa bisa dituduh korupsi. Kalau mau aman, harus memberi uang tutup mulut kepada si oknum. Bisa saja kan?
Sumber: kominfo.go.id

Akhir kata, pada perkembangannya nanti Dana Desa ini seharusnya tidak berkutat pada pembangunan infrastruktur pedesaan saja. Nanti, setelah jalan-jalan desa dibenahi, jembatan dibangun, akses komunikasi lancar, gedung pertemuan dan pusat kegiatan budaya serta ruang publik lain berdiri tegak, Dana Desa juga harus dialokasikan untuk pemberdayaan potensi desa. Seperti pelatihan ketrampilan dan pemasaran produk asli desa, kegiatan kesenian dan olahraga untuk anak dan sebagainya. Kelak tidak ada lagi arus urbanisasi yang deras, karena orang –orang merasa sudah cukup nyaman dan sejahtera tinggal di desa.
Sumber : web.kominfo.go.id

Semoga!

11 komentar

  1. Mbak wied keren tulisannya..
    Yang dibutuhkan adalah pemimpin desa yg kreatif, proaktif dan punya niat untuk memajukan desa. Sedih aku kalau aparat desa cuma mengerjakan yg rutin rutin saja, misal pembuatan KTP…

    BalasHapus
    Balasan
    1. Idem mak..pemimpin memang harusnya kreatif n bisa bikin masyarakatnya jd aktif. Kalo malas2an dilengserin aja mbak..

      Hapus
    2. Terima Kasih Mba , atas info nya mudah-mudahan saya bisa mendobrak sistem birokrasi yang sangat memprihatinkan di desa saya daerah bogor. Padahal kan desa kami hanya berjarak tempuh 1 s/d 2 jam saja. Tapi dati awal kemerdekaan sampai sekarang belum ada perubahan Infrastruktur jalan . Namun di tempat saya banyak sekali ancaman mba jika ada yang berani melaporkan karena masih sistem nepotisme dan akan menghalangi upaya ini. Saya butuh dukungan atau badan hukum jika ini masih terjadi.

      Hapus
  2. Di kampung halamanku, perangkat desa seperti sekdes dan kaur sebagian dipegang S1. Semoga ini bisa meningkatkan kinerja Kepala Desa dan membuat kemajuan yang signifikan buat masyarakat. Tentu masyarakatnya juga harus peduli sih. Kalau apatis yo bakal susah lagi. Proaktif dalam mengusulkan maupun mengawasi pembangunan desa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seharusnya sih gitu mbak..malu dong punya gelar sarjana tapi ga bisa berinovasi membuat kebijakan utk memajukan desa.

      Hapus
  3. Nah di desa tempat saya tinggal itu relatif tertinggal dari desa lain di sekitarnya, baik dari sisi infrastruktur, kesejahteraan masyarakatnya, dan juga SDM nya. Terakhir bangun jalan yang udah rusak aja harus muter sana-sini, lobi orang dari partai anu supaya gol dsb :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya mas...kasus kayak gini banyak bgt dimana2..mau benerin jalan kampung j harus lobi kesana kemari. Udah mengajukan usulan ke kecamatan ditolak lagi... Kudu nunggu bertahun2, atau nunggu diliput media dl..

      Hapus
  4. Penjelasannya benar-benar mantap, bagus banget jdi paham dg permasalahan dana desa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi mas😊..semoga infonya bermanfaat.

      Hapus
  5. Dana desa ini jika diolah dengan baik bisa mengembangkan desa itu sendiri dan juga masyarakatnya.
    Infrastruktur bisa diperbaiki, adanya perbaikan di bidang kesehatan dan pendidikan. Nah terlebih bisa memberdayakan potensi masyarakat, misalnya potensi seni ya mak, bisa tuh diadakan sanggar tari terus lakukan performance..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tujuan dana desa sebenarnya memang itu mak...yg bahaya kalo disalahgunakan terutama utk kepentingan politis gt kan.. makanya perlu partipasi aktif dr warga jg..

      Hapus