Cita-cita Jadi Detektif dan Noraknya Saya

Saya punya satu rahasia kecil dari masa lalu yang tidak pernah saya ungkapkan. Mungkin hanya sedikit teman kecil saya yang ingat soal hal itu, dan pasti, mereka juga tidak menganggap itu hal yang serius. Makanya sampai sekarang tidak ada orang yang mengungkap “rahasia kecil” saya itu. Apa itu? 

Saya adalah seorang detektif! Hahahahahaha. 

Serius. Ini serius lho. Saya adalah detektif partikelir alias detektif swasta yang tidak pernah punya klien tapi punya segudang kasus. 

Semuanya bermula saat saya masih kecil sekali, baru duduk di tahun ketiga Sekolah Dasar. Itu sih nggak kecil-kecil banget ya? Lah, pokoknya saya sudah lancar membaca lah dan mendapat “warisan” buku-buku Lima Sekawan dan Trio Detektif dari sepupu tertua saya. Waktu itu dia sudah remaja, dan koleksi bukunya menggunung, berhubung adik-adiknya tidak terlalu gila baca seperti saya. Maka warisan buku-buku keren itupun jatuh ke tangan saya. Syukurlah. 

Sejak itu, tiap hari saya tenggelam dalam cerita misteri penculikan, pencurian dan petualangan lain oleh Lima Sekawan dan Trio Detektif itu. Ceritanya begitu menginspirasi saya sampai-sampai terbawa mimpi. Saya membayangkan jadi detektif dan menghadapi kasus-kasus pelik. Yang seru dari buku-buku karya Enid Blyton ini adalah cara penyelesaian kasusnya yang sangat mengandalkan kecerdikan anak-anak detektif itu. Kasus rumit bisa dipecahkan hanya dengan logika sederhana anak-anak. Saya, yang masih polos waktu itu, jadi yakin banget kalau saya pasti bisa memiliki kemampuan seperti itu juga. 

Kadang, sekali dua kali saya curi dengar pembicaraan orang-orang dewasa di sekitar saya. Berusaha menganalisa pembicaraan mereka, memecahkan misteri-misteri dalam cerita mereka. Mereka kan sering nggak peduli dengan kehadiran kita. Kadang suka curhat-curhatan di depan kita. Mungkin dianggap anak kecil nggak bakal paham urusan orang dewasa. Padahal kita dengar lho, walau mungkin nggak terlalu ngerti tapi beberapa informasi kadang masih tersimpan dalam waktu yang lama. Jadi saya masih suka ingat tuh, tante yang ini dulu pernah mengalami A dan curhat ke Mama. Kalau tante yang itu, suaminya begini begitu, dan sebagainya. 

Waktu kelas enam SD, saya dan teman-teman se-genk. Iyah, kami dulu pernah punya genk. Keren banget kan. Tapi kita nggak suka bully, kita cuma suka ngumpul buat jajan bareng, ngerumpi bareng, ngerjain Pe-eR bareng, ngecengin cowok bareng. 

Iya iya kita emang genk genit-genit. Kelas enam SD dah ngecengin cowok aja. Tapi gitu aja kok, terus kadang saling curhat sedih karena cowok yang lagi ditaksir malah ngasi kue, eh perhatian ke anak cewek yang lain. Duuuh ke-alay-an masa lalu. Terus kadang kita juga bikin kesepakatan-kesepakatan aneh gitu. Misalnya kalau aku pake sepatu DocMart Hari Senin, kamu baru boleh pake sepatu DocMart kamu Hari Selasa gitu. Iihhhhh nggak penting banget kan? 

Nah, suatu saat, Genk saya ini punya ide nggak penting juga. Yaitu bikin kelompok detektif cilik. Inspirasinya darimana? Ya jelas dari saya dong. Kan saya dah lama terobsesi banget pengen jadi detektif. Ya Tuhan alangkah noraknya saya. Tapi saya nggak ngajak mereka buat bikin grup detektif kok. Cuma memberi inspirasi aja, mempersuasi gitu lho. Alangkah kece nya genk kita ini kalau jadi detektif. Lalu, kami pun resmi menjadi grup detektif sekolah. Kita siapin notebook yang buat pembukuan akutansi gitu, sebagai buku arsip kasus-kasus kita. Ihhh apa sih ?! 

Tapi cari kasus ternyata nggak segampang itu sih. Ga kayak di buku-buku Enid Blyton, yang kasus kayaknya datang sendiri gitu. Ternyata nggak bisa gitu. Bahkan untuk kasus kehilangan uang jajan aja bisa terselesaikan dengan mudah. Rupanya si korban salah hitung dan uangnya udah terpakai. Jadi nggak hilang. 

Sampai suatu saat, saya menemukan surat terror di laci meja sekolah. Tidak ada nama pengirimnya, jelas ini surat kaleng. Inti suratnya mengancam gitu, bilang kalau dia tahu soal kelompok detektif kami. Terus dikatain kita norak dan kalau emang pinter coba cari tahu siapa yang nulis ini surat. Wah, nantang nih! 

Abis dapet surat kaleng itu, saya langsung ngadu dong ke teman-teman yang lain. Wah langsung panas tuh mereka. Itu surat berpindah-pindah tangan, pada berebutan mau baca. Emosi mereka gara-gara ditantangin. Tapi saya kalem aja, bukan karena tahu siapa pelakunya, tapi karena bingung. Nggak nyangka aja bisa ada kasus begini . Hahahaha.. 

Lalu, kami pun pakai cara-cara aneh untuk mengetahui pelakunya. Pertama, suratnya kita taruh diatas lilin, berharap si pelaku meninggalkan petunjuk lain, yaah semacam kode gitu. Dan kodenya bisa kelihatan kalau kena panas. Tahu kan? Percobaan ala tahun 90-an gitu? Yang nulis pakai air jeruk nipis di atas kertas terus tulisannya muncul kalau kena panas? Nah itu kita coba. 

Terus, kita coba juga dengan mencari kode dari tulisan di dalam surat. Nihil juga. Hampir sebulan, dan saya sudah mulai bosan. Paling orang iseng, tapi beberapa teman lain masih keukeuh penasaran banget dengan si pengirim surat kaleng. 

Tapi, misteri akhirnya terpecahkan setelah dua teman se-genk saya mengaku kalau mereka yang membuat surat itu. Niatnya? Iseng aja, biar ada kasus yang ditulis di buku detektif kita itu. Lalu, kelompok detektif kami pun resmi bubar saat itu. Kita sepakat kalau urusan detektif-detektif gitu nggak cocok di Indonesia. Halah! 

Sayangnya jiwa detektif sudah terlanjur merasuk ke dalam pikiran saya. Kekepoan saya meningkat terus. Makin besar, saya makin sadar bahwa ternyata ada banyak kasus bertebaran di sekitar kita. Maksudnya ada banyak masalah tak terselesaikan, ada banyak misteri yang menanti untuk dipecahkan. Dan saat saya besar semua itu jadi jelas terpampang nyata di hadapan saya. Ohh bahasaku. 

Jadi ternyata nih ya, yang namanya kasus itu setiap hari ada dan datang ke kita. Nggak harus berupa kasus penculikan, pencurian, pembunuhan atau kasus berat lainnya. Kalau itu mah urusan polisi sih ya. Dan kalau boleh sekarang saya berharap bisa dijauhkan sejauh-jauhnya dari masalah-masalah begitu. 

Naluri detektif saya sedikit terpuaskan saat saya mulai bekerja sebagai jurnalis di sebuah media lokal di Solo. Nah lho, nggak nyangka ya jelek-jelek gini saya pernah juga jadi wartawan. Sungguh saya beruntung bisa merasakan dunia itu. Pekerjaaan sebagai jurnalis adalah pekerjaan yang memberi kita kewenangan untuk bertanya apa saja, kepada siapa saja tanpa harus dicurigai. Bahkan dalam kegiatan itu, jurnalis juga dilindungi oleh undang-undang. Kita bisa bebas memuaskan rasa ingin tahu kita tentang banyak hal, mulai dari urusan kriminal, politik, sosial, sampai sekedar cara membuat tahu misalnya. 

Jadi wartawan itu cara kerjanya sama seperti detektif, kita mengumpulkan data, mengumpulkan informasi dari mana saja. Tapi tidak semua informasi bisa kita gunakan, adakalanya kita bertemu dengan narasumber yang menyesatkan. Menjauhkan kita dari kenyataan sebenarnya. Makanya, sama seperti detektif, jurnalis juga harus pandai menyaring informasi yang dia terima. Sama seperti detektif, jurnalis juga kadang menemukan informasi alias petunjuk-petunjuk yang saling bertentangan. Nggak nyambung. Seperti tidak ada kaitannya, tapi justru itu serunya. Menemukan missing link. Lebih seru lagi, karena jurnalis juga bisa berbagi catatan penyelidikannya kepada khalayak. 

Harus diakui, kadang, hmmm atau sering ya? Opini pribadi jurnalis juga masuk kedalam catatan-catatan itu. Jurnalis toh tidak bisa sepenuhnya objektif bukan? Jadi ingat-ingat untuk selalu hati-hati saat membaca atau menonton berita ya. Karena kebanyakan jurnalis selalu menyelipkan pendapat pribadinya ke dalam berita yang dia tulis. Seperti frame foto, jurnalis yang membingkai peristiwa di lapangan. Yang tidak kita tahu atau seringkali tidak kita sadari adalah bahwa opini dan persepsi kita kerap diarahkan menuju sudut pandang tertentu melalui pemilihan angle, diksi dan kutipan narasumber yang disajikan. 

Setelah tidak lagi aktif sebagai jurnalis dan beralih profesi menjadi istri dan ibu penuh waktu apakah naluri detektif saya tidak lagi bekerja? Ohh jangan salah, ada banyak hal dalam rumah tangga yang membutuhkan kemampuan detektif. Dan kelihatannya saya cukup ahli untuk itu. Romonya Narend sering bilang “Ibu memang kayak detektif.” Itu karena saya suka merangkai-rangkai peristiwa, perkataan dan informasi sehingga mendapat satu kesimpulan. Kadangkala meleset, tapi seringkali tepat. Ihhh sombong yee. 

Sebagai ibu dengan kemampuan detektif, saya juga paling jago menemukan barang hilang di rumah. Kemampuan macam begini tentu sangat berguna bila memiliki suami seperti Romo Narend yang sangat ahli menghilangkan barang. Kadang aneh juga, itu barang bukan saya yang pakai, bukan saya yang simpan, kadang malah saya tidak terlalu ingat dengan detail cirinya tapi kalau hilang, hampir selalu saya yang menemukan. 

Saya pikir, kebanyakan perempuan memang menyimpan potensi seperti ini dalam dirinya. Mungkin karena kita, perempuan sangat mengandalkan intuisi ya? Jadi kalau ada yang salah atau aneh dengan suami atau anak kita, tentu kita sebagai ibu dan istri jadi orang yang pertama tanggap tentang tanda-tanda itu. Mungkin itu juga karena kita, perempuan, sangat perhatian dengan hal-hal detail. Hal yang sering luput dari perhatian kebanyakan laki-laki. 

Jadi sudah percaya kan kalau saya ini detektif?

Tidak ada komentar