Menggali Ilmu & Pengalaman Seru di Kampung Wayang Wonogiri

Apa rasanya saat seorang pecinta wayang, seperti Narend, berkunjung ke Kampung Wayang? 


Entahlah. Saya tidak segandrung itu dengan wayang. Tapi mungkin rasanya sama seperti kalau saya masuk ke toko kain. Ada euphoria, ada kekaguman yang tak putus-putus dan rasanya bakal sanggup menghabiskan waktu berhari-hari di sana. Mungkin itu yang dirasakan Narend. (baca juga tulisan saya, Cerita Tentang Wayang dan Narend)

Jadi ceritanya, sejak Narend menunjukkan minat yang semakin besar terhadap wayang, saya dan Romonya sepakat untuk mendukung kesukaannya itu. Dan hampir setiap bulan, kami sekeluarga pun mulai rajin berburu wayang untuk menambah mainan koleksi Narend.

Sungguh bukan hal mudah berburu wayang di jaman sekarang. Cari di toko mainan? Kalau yang jual robot atau action figure sih banyak, tapi yang jual wayang mana ada. Bahkan di pasar tradisional atau pasar rakyat yang digelar tahunan pun belum tentu ada yang jual wayang buat anak-anak.

Akhirnya, kami putuskan untuk berkunjung ke Kampung Wayang. Dengar-dengar sih ada desa sentra pembuatan wayang kulit di Wonogiri. Nggak nyangka Kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah ini ternyata ada sentra pembuatan wayang. Siapa tahu di sana bisa dapat harga lebih murah kan?

Menuju Kampung Wayang, Kepuhsari 

Perjalanan menuju Kampung Wayang, Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran, Wonogiri jelas bukan perjalanan yang singkat. Dari Solo ke Wonogiri Kota saja kami harus menempuh jarak kurang lebih 32 kilometer, belum lagi perjalanan ke Kecamatan Manyaran. Karena baru berangkat selepas jam makan siang, kami baru sampai disana sore hari, setelah lebih dari dua jam perjalanan.
Meski jalan jauh, rasanya nggak sia-sia kok. Karena sepanjang perjalanan kita bisa menikmati rerimbunan pohon di kiri dan kanan jalan, hamparan sawah yang hijau. Dan sesekali berpapasan dengan warga lokal yang memanggul rumput sambil berjalan kaki. Benar-benar pemandangan khas desa yang bikin kangen. Jalan masuk ke Desa Kepuhsari pun kelihatan sangat ndeso. Hanya jalan kecil yang lebarnya mungkin tak lebih dari tiga meter dan deretan pohon tinggi di sisi jalan.

Awalnya, saya membayangkan akan menjumpai deretan craft store penjual wayang disana. Tapi ternyata tidak, yang kelihatan cuma rumah-rumah penduduk biasa. Agak ragu jadinya, bener nggak ya ini Kampung Wayang?

Kami lalu memutuskan mampir di sebuah rumah dengan papan nama besar di bagian depan bertuliskan Sekretariat Kampung Wayang “Pokdarwis Tetuka”. Ada seorang lelaki yang sedang menatah wayang di teras rumah itu.
Narend sebenarnya sempat terlelap sepanjang perjalanan, maklum itu waktunya dia tidur siang. Tapi begitu dibisiki ada wayang, dia langsung melompat bangun. “Mana wayangnya?”

Kelihatannya kami nggak salah mampir kok. Karena rumah sederhana itu juga berfungsi sebagai galeri wayang. Ada wayang kulit, lukisan wayang , wayang beber dan souvenir tokoh-tokoh pewayangan. Wah luar biasa senangnya Narend. Dia langsung ribut tunjuk sana, tunjuk sini, minta ini, minta itu.

Keahlian turun temurun

Meski baru mulai diresmikan sebagai Kampung Wayang tahun 2012 silam, kegiatan pembuatan wayang di Desa Kepuhsari ini ternyata sudah berlangsung sangat lama lho. Menurut Retno Lawiyani, pengelola Kampung Wayang, keahlian membuat wayang disana sudah diwariskan sejak abad ke 17. Kelihatannya di masa-masa itu Kecamatan Manyaran memang menjadi pusat untuk produksi berbagai produk kesenian wayang. Karena di Desa Bero, Kecamatan Manyaran ternyata masih banyak pula yang memproduksi gamelan. Sementara itu Kelurahan Punduhsari, masih di Kecamatan Manyaran, menjadi sentra pembuatan rancakan (wadah) gamelan.

Bisa jadi karena itu, keahlian tatah sungging wayang di Desa Kepuhsari jadi sangat mendarah daging. Anak-anak kecil sudah banyak yang menguasai keahlian ini. “Dulu saya juga menemani Bapak membuat wayang, sampai saya akhirnya ikut membuat wayang. Sekarang anak saya juga mulai membuat wayang,” kata Sujoko, seorang pengrajin wayang.

Membuat wayang itu ternyata bukan perkara gampang lho. Selain perlu keahlian khusus, bahan bakunya juga nggak mudah didapat. Bahan baku wayang kulit terbaik adalah kulit kerbau yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah per lembar. Makin repot lagi, karena sekarang kulit kerbau makin susah dicari. Kata Retno, untuk keperluan bahan baku, para pengrajin disana harus mendatangkan kulit kerbau kualitas terbaik dari Toraja, kadang juga dari Kudus. Termasuk juga tanduk kerbau untuk bagian gapit-nya. “Kerbau sekarang makin jarang dipelihara, makanya bahan bakunya juga makin sulit dicari.”

Kenapa harus kulit kerbau? Ternyata kulit kerbau memiliki resistensi yang baik terhadap perubahan suhu dibanding dengan kulit sapi. Jadi kalau dibuat wayang, hasilnya nanti nggak bakal mudah bergelombang. Lebih awet dan posisinya lebih ajeg. Makanya, wayang dari kulit kerbau lebih mahal daripada wayang kulit sapi punya Narend sebelumnya.

Bagian gapit juga dipilih dari tanduk kerbau karena lebih halus tapi kalau dipegang dalam waktu lama tidak gampang licin terkena keringat. Cocok buat dimainkan oleh anak, karena nggak mengiritasi kulit. Nah, kalau punya Narend yang sebelumnya sih bagian gapitnya malah terbuat dari bambu yang dicat hitam. Pantesan tiap kali main wayang bagian kuku dan tangan Narend berbekas hitam.

Sempat surut 

Seperti nasib kesenian tradisional lain (baca tulisan saya tentang Batik), geliat produksi wayang di Kepusari juga sempat surut. Menurut Sujoko, era 1980-an jadi masa paling suram bagi pengrajin wayang. Pesanan wayang nyaris terhenti, dan otomatis memutus mata pencaharian sebagian besar penduduk Kepusari. Semangat untuk melestarikan ketrampilan seni tradisional ini pun sempat surut juga.

Harapan baru muncul lagi, setelah pesanan wayang kembali meningkat pada akhir dekade 1990-an. Waktu itu, pesanan dari Jakarta dan luar negeri mulai banyak masuk. Para pengrajin mulai giat membuat wayang lagi. Setelah UNESCO mengakui wayang sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia, 7 November 2003, pesanan wayang makin mengalir deras. Sekarang Sujoko dan para pengrajin wayang di Kepuhsari nyaris tidak pernah berhenti membuat wayang.

Proses pembuatan wayang , mulai dari pengolahan kulit mentah hingga proses tatah, sungging hingga pemasangan gapit memerlukan waktu lumayan lama. Menurut Sujoko, untuk pembuatan wayang ukuran standar ia bisa menghabiskan waktu total pengerjaan selama delapan hari. Harganya bervariasi tergantung tingkat kerumitan. Mulai dari 700 ribuan sampai lebih dari Rp 3 juta. Jenis wayang yang dihargai paling mahal adalah wayang yang dihias prada emas, karena bahan bakunya cukup mahal.

Saya rasa, dengan tingkat kerumitan pembuatan yang cukup tinggi, keahlian tatah sungging yang makin langka dan bahan baku yang mahal. Kayaknya harga segitu wajar deh ya.

Mengenal Wayang, Warisan Tak Ternilai

Namanya juga Desa Wisata, rasanya nggak lengkap dong kalau nggak ada kegiatan-kegiatan menarik disana. Selain menyediakan belasan homestay buat para turis, kita juga bisa mengikuti berbagai macam kegiatan seperti workshop pembuatan wayang, menyaksikan pertunjukan wayang dan untuk anak-anak SD ada juga games pengenalan wayang. Oia, selama tinggal disana nanti, kita juga bisa menikmati berbagai hidangan lokal yang masih sangat tradisional seperti bothok daun sembukan, pepes tempe, singkong rebus dan masih banyak lagi. Seru!!

Semua aktivitas itu dikemas dalam paket-paket wisata. Ada paket Arjuna, Kresna, Pandawa dan Pandawa Max. Paket Arjuna meliputi kunjungan dan workshop pembuatan wayang. Wayang sudah dibuat nanti bisa dibawa pulang. Biayanya hanya sekitar Rp 300 ribuan untuk wisatawan domestik. Menurut hitungan saya murah tuh, karena kita sudah bisa bawa wayangnya langsung.

Sayang, Narend belum bisa ikutan yang ini, karena paket-paket ini umumnya ditujukan buat anak-anak usia SD hingga orang tua. Belum ada paket wisata khusus buat anak usia PAUD kayak Narend.

Tapi, kalau kita mau dibuatkan paket wisata khusus sesuai kebutuhan, pihak pengelola siap kok. Tinggal mengubungi Mbak Retno Lawiyani dan minta diatur paket wisata yang diinginkan. Bisa melalui WA 085326775388 atau 081225439279. Nanti Narend cari teman dulu lah buat main kesana lagi, biar bisa sekalian kongsi biayanya kan? Hehehe.

Yess waktunya pulang. Narend sukses merayu Romo untuk membelikan dua wayang ukuran kecil. Wayang Baladewa, favoritnya dan Prabu Kresna. Iyalah, masak pulang dari Kampung Wayang nggak bawa Wayang.

Jadi nggak sabar Ke Kampung Wayang lagi.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @visitjawatengah (www.twitter.com/visitjawatengah)

22 komentar

  1. Amay punya teman yang hobi ndalang, Mba. Dia hapal hampir semua tokoh wayang. Bahkan orang tuanya kadang tanya sama dia, ini siapa namanya..hehe.. Keren Mba.. Saluuut sm Mbak Wied dan suami yg mau "menuruti" hobi Narend. Semoga kelak Narend bisa melestarikan kesenian wayang kulit ya.. Aamiin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin mbak. Ngikutin kesukaan anak aja sih, toh positif jg. Eh, temennya Amay ikut sanggar dalang gt nggak mbak? Mau dong kl da infonya

      Hapus
  2. Duh, Narend gemesiinnn. keliatan seneng banget ya sama wayang. Good!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah dia sih tergila-gila ma wayang mbak Mae..😁

      Hapus
  3. Keren mb Wid, wah bakat jd dalang cilik ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin mbak. Blom sampe kesana sih arahnya yg penting dia belajar seni leluhur dl. Buat melestarikan lah

      Hapus
  4. Wih, masih ada bothok daun sembukan?? Pengeenn. Btw, wayang e bagus2 ya mbak, ngremit ukirane ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha itu dia. Aq malah baru tau daun sembukan dibikin bothok. Enak y mbak? Penasaran ama rasanya

      Hapus
  5. Beberapa waktu lalu ke pendoponya. Tapi tutup. Saya malah belum ke kampungnya. Nanti lah kalau pulang kampung. Nice story mb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha ini dia yg orang wonogiri. Asyik, tapi ternyata manyaran jauh bgt dr wng kota y mbak..hehe

      Hapus
  6. Halo mba,
    Baru tahu kalau ada kampung wayang. Menarik infonya mba :)

    BalasHapus
  7. Wiiihhh keren hobi Narend! Salut mbak ^^ senang banget tau ada anak-anak yang hobi kesenian tradisional..
    Dan kampung wayang ini beneran baru tau :( walau tempatnya jauh worth it banget ya. Suka deh kunjungi tempat kayak gini, melihat lebih dekat bagaimana cara mereka bikinnya.

    Eh Narend favoritnya Kresna? Sama dong :D

    Good luck, mbak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan2 dijadwalkan main ke kampung wayang yuk..mau?

      Hapus
  8. eh, saya pernah kesini mak..

    saya dulu punya murit daerah sana yg suka wayang, pernah ikut kompetisi wayang di wonogiri dan juara

    tpi dia sekarang sudah besar..

    waahh narend bisa nih menggantikan generasinya nanti :D

    BalasHapus
  9. agak PR juga ya untuk sampai kesini mbak, jauhhh hahaha. tahun lalu saya kesini pakai acara nyasar 2x di jalan, tanya orang-orang wonogiri, untung pada baik-baik.

    tapi desa wisata wayang ini potensial banget untuk dikembankan. menginap di homestay, belajar kuda lumping, bikin wayang, main ke air terjun, dll. seru!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuuuull. Nggak nyangka sejauh itu. Saya jg pake nyasar sih mas.
      Tp emang potensial bgt, sayang kurang promosi kayaknya.

      Hapus
  10. Tulisannya keren, Mbak. Menggugah kesadaran kita tentang kekayaan budaya yang semakin lama semakin kita tinggalkan. Saya sendiri mbuh kapan terakhir lihat wayang, itupun cuma lihat di tivi. Sayang banget kalau sampai kebudayaan seagung ini sampai punah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih mas..Pertunjukan wayang memang nggak terlalu ramai ya, kalah promosi sama acara musik IDM dan sejenisnya. Tapi lumayan kok di beberapa stasiun TV lokal masih rutin menayangkan..

      Hapus