Triana Rahmawati & Griya Schizofren: Menyalakan Jiwa yang Terpinggirkan

triana rahmawati-griya schizofren

Waktu saya SMP, ada seorang bapak yang selalu duduk di trotoar depan sekolah. Bajunya lusuh, kotor sampai tak jelas lagi apa warna aslinya. Rambutnya juga panjang, terurai dan terpotong tak beraturan. Kata para pedagang yang sering mangkal di depan sekolah, bapak tadi ‘orang stres’. 
“Jangan dilihatin, nggak usah dekat-dekat. Nanti kamu diamuk lho,” kata para pedagang, memperingatkan kami. 

Jujur, saya dan teman-teman takut melihatnya. Seringkali, kami memilih jalan memutar, melewati gerbang lain demi menjauh dari bapak itu. 

Sebenarnya saya sering iba melihat si bapak. Selain kerap diperlakukan tak manusiawi, si bapak juga sering jadi sasaran keisengan anak-anak sekolah yang lewat. 

Saya jadi saksi, bapak itu diperlakukan tak manusiawi. Tapi saya memilih untuk menjauh, tak mau ikut campur. Karena takut jadi sasaran kemarahan bapak tadi. “Itu orang stres. Biarin saja!” kata orang-orang. 

Tahun berlalu, dan stigma itu ternyata masih melekat. Istilah 'ODGJ' masih sering jadi semacam alarm untuk segera menghindar, meski sebenarnya saya belum pernah melihat perilaku mereka yang benar-benar membahayakan 

Stigma yang Menjauhkan Kita dari Kemanusiaan 

Ada satu kejadian lagi di awal April 2023. Kalau nggak salah ingat, saat itu bertepatan dengan minggu ketiga Ramadan. Sudah jadi rutinitas tiap tahun, komunitas kami, Kumpulan Emak Blogger Solo, mengadakan bakti sosial di bulan Ramadan. Tahun itu, kami memutuskan menyalurkan bantuan ke Griya PMI Solo. 

Griya PMI Solo merupakan sebuah rumah singgah bagi ODGJ yang terlantar atau tak memiliki keluarga. Mulai berdiri tahun 2012, Griya PMI menyediakan 2 pelayanan, yaitu: Griya PMI Peduli yang menampung dan merehabilitasi ODGJ, dan Griya PMI Bahagia yang diperuntukkan bagi Lansia terlantar. 

Lokasinya tak jauh dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Nggak heran, sepanjang perjalanan menuju ke tempat itu, saya menjumpai banyak papan nama bertuliskan 'kost' yang berjajar di kanan-kiri jalan. Menandakan area tersebut memang ramai mahasiswa. 

griya pmi peduli
Griya PMI Solo (sumber foto: ANTARA)

Setelah melakukan penyerahan bantuan dan berbincang santai, para pengurus mengajak kami berkeliling dan menemui beberapa penghuni di sana. “Yuk, biar sekalian kenalan dengan penghuni di sini,” ujar mereka yang langsung diamini oleh teman-teman saya. 

Saya agak ragu. Hati kecil saya masih menyimpan sedikit ketakutan menghadapi ODGJ yang tinggal di sana. Bagaimana kalau nanti mereka ngamuk dan memukul saya? Seram! 

Kami berjalan menelusuri lorong dan berpapasan dengan beberapa penghuni. Beda dengan bapak tua yang dulu suka nongkrong di depan sekolah, ODGJ yang saya temui saat itu berpenampilan lebih bersih. 

Bajunya rapi meski sederhana. Rambut mereka rata-rata dipotong pendek, nyaris gundul. Mereka tidak galak apalagi menyerang. Hanya pandangannya kosong, atau kadang menatap kami dengan sorot mata yang tidak saya mengerti. 

Kami terus berjalan dan akhirnya sampai di kamar khusus. Pintu dan jendela kamar ini diberi teralis. Menurut pengurus, penghuni yang ditempatkan di kamar itu punya ‘kondisi khusus’. Jadi demi keamanan dan kenyamanan bersama, kamar dibuat seperti itu. 

Tak lama, pengurus yang mengantar kami menyapa penghuni kamar itu. Ia seorang wanita. Awalnya saya nggak sadar karena rambutnya juga dipotong cepak. Sesaat mata saya dan wanita itu beradu tatap. Entah apa yang salah dari wajah saya, sejurus kemudian ia membentak ke arah saya dengan keras, ”Heeehh!!” serunya sambil melotot. Detik itu juga, nyali saya langsung ciut. Saya memalingkan pandangan dan bergegas kabur. 

Hari itu, saya sadar, saya takut sekali dengan ODGJ. Hanya saja, saya tak tahu apa yang saya takuti dari mereka? 

Kalau dipikir-pikir, bapak di trotoar depan sekolah itu tidak pernah benar-benar melakukan tindakan yang membahayakan. Pun begitu dengan wanita yang memelototi saya. Apa sih seramnya dipanggil “Heh?” 

Apa jangan-jangan rasa takut itu bukan datang dari beliau, melainkan dari stigma yang diwariskan orang-orang sekitar. 

Apakah mungkin, yang sebenarnya terjadi adalah bukan mereka yang menakutkan, melainkan cara pandang kita yang sudah lebih dulu dipenuhi prasangka? 

Perbedaan ODGJ dan ODMK 

Sebelum cerita lebih jauh, mari kita pahami dulu perbedaan antara ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan). 

Menurut definisi yang tertera dalam UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. ODMK diartikan orang yang punya masalah fisik/mental/sosial/pertumbuhan/perkembangan atau kualitas hidup sehingga berisiko mengalami gangguan jiwa. 

Sementara ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi jadi gejala/perubahan perilaku bermakna yang menimbulkan penderitaan/hambatan fungsi. 

Ironisnya, tren masalah kejiwaan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menyebutkan prevalensi depresi di Indonesia pada populasi berusia 15 tahun ke atas, adalah sekitar 1,4%. Itu artinya, ada sekitar 1 hingga 2 orang dari setiap 100 penduduk usia tersebut mengalami depresi. 

Sementara itu data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan sekitar 6,7 per 1.000 rumah tangga di Indonesia memiliki anggota rumah tangga (ART) yang mengidap psikosis/skizofrenia. Tujuh dari 1000 rumah tangga di Indonesia memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa berat. 

triana rahmawati-griya schizofren
sumber : IG @griya.schizofren

Minimnya pengetahuan, ditambah stigma masyarakat terhadap ODMK membuat persoalan ini kerap terabaikan dan sulit mendapatkan solusi yang manusiawi. 

Alih-alih didampingi dan diperlakukan secara manusiawi, ODGJ malah kerap menghadapi stigma yang membuat mereka terisolasi dan sulit pulih. Banyak orang salah paham, takut, atau percaya mitos bahwa mereka berbahaya. Akibatnya, bukan cuma dijauhi, mereka kadang sampai ditolak atau lebih parah lagi dipasung. 

Bahkan tak sedikit ODGJ dan ODKM yang ditelantarkan keluarganya. Mengapa begitu? Kebanyakan karena takut dengan stigma, khawatir dengan penghakiman sosial. 

Tria dan Perjalanan Menghapus Stigma 

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. 
Beda dengan saya yang takut dan menjauh, buat Tria, panggilan akrab Triana Rahmawati, pengalaman yang sama justru jadi titik balik. 

triana rahmawati-griya schizofren
sumber foto : ANTARA

Saat ia melihat langsung bagaimana ODGJ dan ODMK kerap diperlakukan dengan stigma dan jarak, hatinya tergerak. Bukan untuk menjauh, melainkan mencari cara agar mereka bisa kembali diterima masyarakat. 

Tahun 2012, dengan dukungan dari orang-orang terdekat ia pun mengagas komunitas Griya Schizofren. Sebuah gerakan sosial kemanusiaan yang menjunjung prinsip persahabatan. Tujuannya sederhana tapi dalam, yaitu memanusiakan penanganan orang dengan masalah dan gangguan kejiwaan, supaya mereka bisa kembali dihargai sebagai manusia seutuhnya. 

Semuanya berawal dari sini..... 

Waktu itu bulan puasa, ia jajan di angkringan tak jauh dari kostnya, yang kebetulan dekat dengan Griya PMI Peduli. Tiba-tiba terdengar adzan. Ia bertanya, “Kok sudah adzan. Ini belum waktunya berbuka kan?” 

Ibu penjual angkringan menjawab santai, “Ah, itu orang stres, cuekin saja.” 

Jawaban enteng itu menyadarkan dia, betapa seringnya kita mengabaikan eksistensi orang dengan gangguan jiwa dan masalah kejiwaan di sekitar kita. Hati Tria tergerak untuk berinteraksi langsung dengan para penghuni Griya PMI Peduli. 

Tria bersama dengan beberapa temannya disambut dengan tangan terbuka di sana. Kebetulan saat itu, Griya PMI Peduli juga belum terlalu lama didirikan. Ada sekitar 30 ODMK yang menghuni tempat itu. Mereka memang tidak mengalami gangguan selama 24 jam. Ada kalanya para ODMK ini cukup ‘nyambung’ saat diajak berkomunikasi. Dan ternyata berinteraksi dengan para ODMK tidak semenakutkan yang dibayangkan. 

triana rahmawati-griya schizofren
sumber foto : uns.ac.id

Terkesan dengan pengalaman interaksi pertamanya dengan para ODMK, Tria berpikir bagaimana caranya supaya gerakan ini bisa berkelanjutan. “Nah dari situ aku dirikan Griya Schizofren. SC-nya itu Social. HI-nya Humanity dan FREN-nya Friendly,” jelas dia dalam Workshop Fotografi dan Bincang Inspiratif Astra di Griya Solopos, Kamis (21/8) lalu. 

triana rahmawati-griya schizofren

Ide mendirikan Griya Schizofren pertama kali Tria sampaikan ke dalam Program Kreativitas Mahasiswa. Dana bantuan yang ia dapatkan dari program ini lantas dimanfaatkan untuk menjalankan berbagai program. “Saat itu ada 100 relawan yang terlibat,” katanya. 

Mulai dari kegiatan sederhana seperti, menggambar, olahraga bersama hingga perbincangan ringan. Apa yang awalnya sekadar aktivitas ringan, kini berubah menjadi sarana untuk memahami dan mendampingi penghuni dengan lebih baik. 

triana rahmawati-griya schizofren
sumber :X @pmisurakarta

Kegiatan-kegiatan itu menjadi batu loncatan menuju program yang lebih terstruktur, seperti Art Therapy, yang benar-benar memberi ruang bagi mereka mengekspresikan diri. Di sini, menggambar dan aktivitas seni lainnya nggak hanya dianggap sebagai hiburan bagi penghuni. Tapi itu juga jadi cara mereka mengekspresikan perasaan, meredakan kegelisahan, dan menstabilkan pikiran. 

Ada pula kegiatan rutin seperti Fruit Day, yaitu menikmati buah segar bersama-sama. Kegiatan ini juga kerap dilakukan berkolaborasi dengan komunitas lain. Bukan sekadar makan sehat, kegiatan ini jadi momentum untuk menciptakan interaksi sosial yang lebih hangat dan humanis dengan para penghuni. Dengan begitu, mereka merasa lebih dihargai dan diterima. 

Karya yang Memberdayakan, Dampak yang Terasa 

Dari pengalaman langsung mendampingi para penghuni Griya PMI Peduli, Tria menyadari bahwa ODMK yang selama ini kerap dianggap tak berdaya dan membebani, ternyata memiliki banyak potensi. Potensi yang bisa dikembangkan sehingga mereka mampu mandiri secara ekonomi, menghasilkan karya dan produk bernilai yang memberi arti lebih bagi diri sendiri dan masyarakat. 

Mei 2018, Tria mulai membuka Schizo Store yang menjual karya-karya para ODMK. Selain sebagai ruang pemberdayaan, toko ini juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang kampanye untuk menghapus stigma negatif ODMK di masyarakat. 

triana rahmawati-griya schizofren

Tak disangka reaksinya cukup baik. Dari situ, diinisiasilah Solvenesia. Sebuah organisasi sosial yang fokus mendorong tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Melalui wadah ini, para ODMK dan berdaya dengan membuat dan mendesain berbagai produk souvenir seperti mug, tumbler, bantal, dompet, tas, buku, dan lainnya. 

Keuntungan dari penjualan produk souvenir itu disalurkan ke ODMK dan operasional Griya PMI sehingga kesejahteraan mereka meningkat. 

Hingga saat ini, Solvenesia telah menghasilkan 50.000 produk, sekaligus memberikan peluang kerja pada mereka. Menurut Tria, setiap tahun, sekitar Rp 50 juta dan disalurkan kepada ODMK dalam bentuk fasilitasi kesehatan dan pelayanan sosial melalui Solvenesia. 

triana rahmawati-griya schizofren

Tidak hanya jadi solusi untuk ODMK, Solvenesia juga membantu perekonomian sekitar 130 keluarga. Seperti kita tahu, masalah kejiwaan ini, tak hanya berdampak bagi penderita, tetapi juga berdampak besar pada anggota keluarga lainnya. Mulai dari tanggungan biaya yang tidak sedikit, hingga beban stigma dari masyarakat. 

Saat Lelah Berjuang, Mari Satukan Gerak Agar Terus Berdampak 

Melihat Tria yang kini penuh semangat, sulit dipercaya bahwa dulu ia pernah merasa di titik nol. Ada hari-hari ketika semangatnya surut, rasa lelah menumpuk. 

Menjalankan gerakan sosial tanpa dana sambil tetap harus mengurus kebutuhan ekonomi sendiri mungkin terasa seperti menapaki jalan terjal yang tak berujung. Ia mengaku sempat ingin rehat, sekadar hening mengisi ulang energi yang terkuras. 

Rasa lelah itu Tria sampaikan kepada teman-teman dekat dan suaminya. Ia menceritakan semua tantangan yang dihadapinya, dari keterbatasan dana hingga beratnya meyakinkan orang lain untuk peduli. 

triana rahmawati-griya schizofren

Lalu.... Mungkin inilah yang disebut campur tangan Tuhan, yang tak ingin hambanya berhenti melakukan kebaikan. Tanpa ia sangka, ceritanya bersama Griya Schizofren ini sampai ke ajang Satu Indonesia Awards 2017, membuka peluang baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. 

Ajang ini memberi kesempatan baginya untuk mempresentasikan komunitasnya ke lebih banyak orang, dan ternyata gerakannya mendapat apresiasi berupa dukungan dalam berbagai bentuk, termasuk finansial dan eksposur media. Dukungan yang membuat gerakan sosialnya semakin berkembang dan berdampak. 

Semua perjalanan ini, membuat Tria menyadari satu hal penting: bekerja bersama orang lain bisa menumbuhkan semangat yang tak bisa ia capai sendirian. Jika Astra percaya kita mampu, mengapa kita sendiri tidak percaya? 

sumber : IG @griya.schizofren

Sebagai penutup, saya hanya ingin bilang, bahwa stigma terhadap ODGJ dan ODMK seringkali membuat kita melihat mereka hanya dari keterbatasan atau ketakutan. Padahal sebenarnya banyak yang bisa kita pelajari dari mereka. Jiwa mereka, meski menghadapi tantangan yang berat, tetap punya kekuatan untuk berkreasi, berinteraksi, dan menginspirasi. 

Tria menunjukkan bahwa ketika kita membuka pandangan, mendampingi, dan memberi kesempatan, mereka bukan sekadar penerima bantuan, tapi juga pemberi inspirasi dan energi positif. 

Jadi, jangan biarkan stigma menutup mata kita. Lihatlah mereka sebagai manusia seutuhnya, yang punya potensi, yang bisa memberi makna, dan yang jiwanya tetap bebas untuk bersinar. 

Semoga jadi tambah tahu..... 

triana rahmawati-griya schizofren



Referensi :
https://solopos.espos.id/6-bulan-griya-pmi-peduli-sembuhkan-18-orang-sakit-jiwa-361834 
UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa

Tidak ada komentar