Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok?

Pandemi : Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok 

Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok
"Apakah pandemi dan kemiskinan bisa membuat perokok berhenti merokok?" 

Kalau pertanyaan itu diajukan kepada suami saya yang perokok, dia pasti akan menjawab, “Tidak!”

Ya, suami saya perokok. Walau bukan perokok berat, dia tetap seorang perokok aktif. Dalam sehari selalu ada batang rokok yang disesap, meski jumlahnya tak banyak. 

Mungkin lebih dari separuh hidupnya sudah dia habiskan dengan bermesraan bersama rokok. Setelah makan, rokok lah yang dia ingat. Kalau sedang kumpul dengan teman-teman, tentu saja ada rokok yang menemani dan bukan saya. Bisa dibilang waktunya bersama rokok, jauh lebih banyak daripada waktu yang ia habiskan bersama saya. 

Sementara saya? Saya seorang penderita asma. Jangankan asap rokok, debu dan udara dingin pun bisa membuat napas saya hampir putus. Makanya saya anti rokok. 

Asap rokok membuat napas berasa ampek. Belum lagi kalau bau asapnya melekat di baju. Wah rasanya luar biasa nggak enak dan susah dihilangkan. 

Tapi memiliki seorang suami perokok aktif, yang kelihatannya tidak berniat berhenti dalam waktu dekat, memaksa saya buat kompromi. Oke, suami bisa merokok tapi hanya boleh dilakukan di luar rumah. Dan saat masuk harus segera cuci baju dan sikat gigi. 

Sedangkan saya, harus sedikit menahan hasrat buat ngomel setiap kali menghidu aroma rokok di baju atau badannya. Aturan ini berat buat dia, dan juga tidak mudah buat saya. Tapi kami sepakat buat kompromi hingga akhirnya makin terbiasa. 

Jujur saja, menuliskan cerita ini rasanya seperti membongkar urusan rumah tangga kami. Rasanya canggung dan sungkan kalau harus diumbar. Tapi nggak apa deh, semoga saja bisa diambil hikmahnya. 

Dari sekian banyak perbedaan pendapat antara saya dan suami, hanya urusan rokok yang membuat kami terus berseberangan sampai sekarang. Saya sulit memahami keasyikan dan manfaat dari rokok. Sementara dia, tak habis pikir kenapa saya begitu tak menyukai rokok. 

Rokok itu pemborosan 

Saat pandemi datang, kami juga ikut melakukan penyesuaian anggaran belanja rumah tangga. Beberapa pos anggaran yang dikategorikan rekreasi dan tidak urgent mau tidak mau harus dihapus. Dialihkan untuk simpanan dana darurat dan kesehatan. 

Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok
ilustrasi

Rokok, adalah pos pengeluaran pertama yang saya jadikan sasaran. Usulan yang tentu saja langsung ditentang oleh suami. 

Padahal saya rasa argumen yang saya ajukan cukup kuat, tolong disimak ya. 

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, suami adalah perokok aktif. Dan sejak menikah dan punya anak, kuantitas merokoknya sudah sangat berkurang. Kalau dulu ia bisa menghabiskan satu pak rokok atau lebih, sekarang 1 pak rokok bisa untuk 2 hari. 

Jadi, rokok yang biasa ia beli adalah jenis rokok kretek seharga Rp 18.000 per bungkus. Sebungkus rokok untuk 2 hari, berarti kami mengeluarkan sekitar Rp 270.000 per bulan. 

Itu belum termasuk “rokok sosial”. Maksudnya rokok yang dia beli untuk diisap saat berkumpul dengan bapak-bapak lain. Atau rokok yang ia bagi kepada temannya. Jadi budget aslinya memang jadi lebih besar. Sekitar 350.000, tergantung jenis rokok yang dibeli. 

Tapi, kita ambil saja hitungan kasarnya. Kalau anggaran untuk rokok Rp 270.000 tiap bulan, berarti dalam setahun jumlahnya mencapai Rp 3.240.000. Lumayan banget kan? 

Uang yang ia keluarkan buat rokok bahkan lebih besar daripada iuran BPJS Kelas 1 senilai Rp 150.000 per bulan. Dan kalau terkumpul selama setahun, jumlahnya lumayan buat beli smartphone baru. 

Tentu saja suami saya bersikukuh menentang rencana penghapusan anggaran rokok. Sebagai kompromi, ia bersedia mengganti rokoknya dengan yang lebih murah. 

Hah, lebih murah? 

Setahu saya, tahun ini pemerintah menaikan cukai rokok sampai 23%. Konon, ini kenaikan tertinggi dalam satu dekade terakhir. Dan menurut suami saya, rokok yang biasa dia beli itu tergolong rokok murah. 

Jadi masih ada yang lebih murah lagi? 

Ternyata ada lho. 

Kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah, membuat banyak perokok beralih ke rokok produksi pabrik-pabrik gurem. Tidak sulit mencarinya, karena rokok begini sangat banyak tersedia di pasaran. Tentu saja dengan harga yang sangat murah. Bahkan ada yang harganya tidak sampai Rp 5.000 per bungkus. 

Mau yang lebih murah lagi? 

Sekarang juga banyak dijual rokok tingwe alias rokok linting dhewe (melinting sendiri). Para perokok bisa membeli tembakau yang dijual dalam berbagai kemasan. Kemasan tembakau berisi 50 gram dijual seharga Rp 12.000 hingga Rp 14.000. Tembakau ini bahkan punya banyak variasi, karena ditambahkan semacam saus perasa. 

Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok
dok. pribadi


Satu bungkus tembakau seberat 50 gram itu bisa untuk merokok selama seminggu, tapi bisa juga lebih singkat. Tergantung perokoknya. 

Untuk mengisapnya, perokok bisa menggunakan kertas rokok yang dijual terpisah, atau menggunakan klobot (daun pembungkus bonggol jagung yang sudah kering). Bisa dilinting secara manual menggunakan tangan, atau juga menggunakan mesin pelinting mini. Barang ini juga banyak ditemukan di pasaran. 

Kegiatan melinting rokok ini, menurut suami, malah jadi kegiatan tambahan yang seru saat merokok bersama teman. Para perokok kadang berkreasi dengan menghias rokoknya dengan air kopi buat menambah rasa. 

Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok
rokok tingwe (linting dhewe) - dok.pribadi

Dengan argumen itu, suami menepis pendapat saya bahwa rokok adalah pemborosan. Menurut dia, kalau mengisap rokok klobot atau rokok murah lainnya, dalam sebulan ia hanya perlu menghabiskan sekitar Rp 50.000 hingga Rp 70.000. 

Rokok merusak kesehatan 

Saya rasa seluruh dunia sudah tahu, rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Menurut praktisi kanker paru, dr Sita L Andarini sebagaimana dikutip dari kbr.id (Perokok Aktif Disarankan Cek Kesehatan Paru Tiap Tahun), perokok aktif berisiko terkena kanker paru 14 kali lipat lebih besar. Sementara pada perokok pasif atau terpapar asap rokok punya resiko 4 kali lebih besar. 

Nggak cuma itu, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), seperti yang saya kutip dari kbr.id (Perokok Lebih Rentan Terinfeksi Virus Corona), menyatakan bahwa perokok lebih rentan terinfeksi COVID 19 dibanding orang bukan perokok. 

Dijelaskan oleh Ketua Umum PDPI, Agus Dwi Susanto bahwa rokok bisa mengganggu imunitas dan saluran pernapasan dan paru. Hal inilah yang membuat perokok lebih rentan terinfeksi. Selain itu, merokok juga meningkatkan regulasi reseptor Angiotensin-Converting Enzyme-2 (ACE2). Reseptor ACE2 ini disebut para ahli merupakan tempat masuknya virus COVID -19. 

Menurut Agus, paru-paru perokok mengandung ACE2 50% lebih besar daripada orang yang tidak merokok. Bisa disimpulkan perokok berisiko 2 kali lebih besar terinfeksi COVID 19. 

Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok
ilustrasi

Dan tahukah kalian? 

Dalam talkshow Ruang Publik bertajuk “Pandemi : Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok” yang siarkan secara streaming oleh Kantor Berita Radio (KBR), 26 Agustus 2020 silam, Peneliti CISDI, Nurul Nadia Luntungan menyebutkan bahwa penyakit yang disebabkan rokok menyedot porsi anggaran BPJS yang cukup besar. 

“Biaya sakit di Indonesia itu mahal. Bahkan BPJS pun ikut menderita karena rokok karena pengeluaran terbesarnya dipakai untuk mengobati penyakit akibat rokok,” kata Nurul. 

Tercatat pada 2017, jumlah kasus penyakit yang terkait rokok mencapai lebih dari 5 juta kasus. Bahkan menurut Kementerian Kesehatan, seperti yang dikutip dari detik.com, dana BPJS yang dipakai untuk pengobatan akibat rokok mencapai 5,9 triliun. 

Kalau begini, rasanya usulan Ekonom Senior, Drajad Wibowo tentang pencabutan jaminan kesehatan bagi perokok jadi masuk akal. Karena mengacu pada Perpres no 111 tahun 2013 pasal 25 ayat 1 huruf j dikatakan bahwa gangguan kesehatan yang terjadi akibat kesengajaan tidak dijamin oleh BPJS. 

Nah merokok, lanjut Drajad dalam keterangan pers seperti yang dimuat di detik.com, termasuk dalam usaha menyakiti diri dengan sengaja. “Jadi seharusnya penyakit akibat merokok tidak dijamin pelayanan kesehatannya.” 

Lalu bagaimana saat hal ini saya tanyakan pada perokok? 

Kebanyakan perokok, seperti juga suami saya, berasumsi bahwa merokok tidak selalu berbanding terbalik dengan kualitas kesehatan. Menurut dia, banyak orang-orang tua di desa yang merokok tapi tetap berumur panjang dan jarang sakit. 

“Yang seperti itu nggak bisa digeneralisir,” katanya. 

Nggak cukup sampai disitu, tak sedikit pula perokok yang meyakini bahwa rokok punya banyak manfaat untuk kesehatan. Selain bisa membuat pikiran lebih rileks, rokok juga dipercaya punya efek obat. Bahkan sekarang ada jenis rokok dengan embel-embel herbal yang diklaim bisa menyembuhkan penyakit. 

Dalam sejarah rokok kretek bahkan disebutkan bahwa Haji Djamari, sang penemu rokok kretek, awalnya membuat rokok kretek untuk menyembuhkan sakit dadanya. Eksperimen Haji Djamari membuat rokok dengan racikan tembakau dan cengkeh ini lantas digemari. 

Pada masa itu, rokok kretek bahkan diklaim sebagai “rokok obat”

Pengendalian rokok 

Rokok telah menjadi budaya. Suka tak suka kita harus mengakui itu. Meski tidak ada literasi kuat yang mendukung, diyakini kebiasaan merokok sudah dilakukan orang-orang kita sejak zaman dahulu kala. Bahkan jauh sebelum kelahiran rokok kretek. 

Rokok dianggap sebagai perekat dalam hubungan sosial. Rokok, katanya bisa membuat suasana jadi lebih santai dan bersahabat. Bahkan untuk orang yang tak saling kenal, rokok disebut berfungsi sebagai “pembuka kata” buat mencairkan suasana. Tak heran, kalau fakta menyebutkan bahwa 7 dari 10 laki-laki di Indonesia jadi perokok. 

Kendati begitu, pantaskah kesenangan merokok itu menghalangi hak orang yang tidak merokok buat menghirup udara segar? 

Di Indonesia, banyak perokok nggak tahu diri! Mereka merokok di tempat umum, di kendaraan umum, di pusat pelayanan kesehatan, di sekolah, di tempat ibadah, bahkan di kendaraan bermotor. Perokok di Indonesia, nahasnya sering nggak peduli dengan orang sekelilingnya yang terganggu dengan asap rokok. Tak peduli ada anak kecil, ada ibu hamil, mereka tetap santai saja merokok. 

Yang membuat saya makin jengkel adalah karena pemerintah terkesan setengah hati mengendalikan rokok. Disatu sisi kampanye gerakan anti rokok digemakan di segala penjuru. Imbauan untuk tak merokok gencar disampaikan Kementerian Kesehatan melalui Kampanye Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS). Cukai rokok pun ikut dinaikan. Malah di beberapa daerah juga ada aturan tegas tentang larangan merokok di tempat umum 

Tapi bagaimana realitasnya? 

Aturan hanya tinggal aturan. Karena meski cukai dinaikan, pemerintah toh tetap menyetujui impor tembakau. Maunya gimana tuh? Cobalah sesekali main ke kantor instansi pemerintah atau kantor lembaga negara di daerah. Nggak susah kok mencari perokok di sana. Ironi kan, bahkan pembuat kebijakan larangan merokok ditempat umum pun tak bisa membuat tempatnya sendiri bebas rokok. 

Sikap pemerintah yang setengah hati menghadapi perokok tak jauh beda dengan sikap masyarakat kita yang permisif pada perokok. Alih-alih menegur perokok yang merokok sembarangan, kita malah lebih sering membiarkan. 

Rokok jelas sulit buat dihapuskan, tapi saya yakin pasti bisa dikendalikan. Dimulai dari ketegasan pemerintah terhadap aturan merokok di tempat umum. Para pejabat negara sudah sepatutnya memberi contoh dengan tidak merokok. Kalau perlu terapkan syarat bebas rokok pada orang yang ingin menjadi pejabat negara atau aparat negeri sipil. 

Untuk melindungi petani rokok dan jutaan pekerja industri rokok, mungkin ada baiknya kalau pemerintah mulai mengkaji manfaat tembakau lainnya. Tidak harus jadi rokok tapi bisa untuk manfaat lain seperti kesehatan, kecantikan dan lainnya. Untuk itu perlu penelitian mendalam tentang khasiat tembakau. Dengan begitu, panen tembakau petani bisa dialihkan untuk hal yang lebih bermanfaat. Begitupun para pekerja di industri rokok bisa beralih melakukan pekerjaan lainnya. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan? 

Gerakan mengendalikan rokok di masyarakat sebenarnya sudah mulai muncul. Salah satunya dengan pencanangan Kampung Bebas Asap Rokok di Cililitan dan di beberapa kawasan di Solo, Jawa Tengah. 

Di Kampung Bebas Rokok, setidaknya warga perlahan mulai dididik untuk tertib tidak merokok sembarangan, termasuk di dalam rumah. Ada tempat khusus yang disediakan untuk merokok. Para perokok juga dilarang meminta bantuan anak-anak membeli rokok di warung. 

“Selain itu, kita juga bisa membantu para perokok yang ingin berhenti. Karena sebenarnya tak ada perokok yang dengan sengaja berniat membunuh orang-orang di sekitarnya dengan asap rokok,” tambah Nurul dalam talkshow Ruang Publik KBR

Menurut Nurul, banyak perokok yang gagal berhenti merokok karena lingkungan yang tidak mendukung. Nah, keberadaan Kampung Bebas Rokok merupakan usaha yang tepat untuk membangun lingkungan yang bisa memotivasi perokok untuk berhenti merokok. 

Apakah Pandemi Membuat Perokok Berhenti Merokok
sumber infografis : indonesiabaik.id

............

"Jadi kalau aku nggak bisa merokok harus ngapain dong pas kumpul sama teman-teman?" kata suami.

"Ya udah nginang sirih aja gimana? Bikin gigi kuat kan?" 

…......

Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

4 komentar

  1. Tulisannya mengalir sekali, Teh :)

    Kebijakan pemerintah untuk impor tembakau juga aku nggak setuju. Itu juga mematikan petani tembakau lokal :(

    BalasHapus
  2. Kalau dalam keluarga saya papa saya yang sudah banget pisah sama rokok. Greget banget kali tega merokok di dekat anak-anak.

    BalasHapus
  3. Ayahku juga perokok berat, tulisannya enak, pantesan juara Mbak. Selamaaat.

    BalasHapus
  4. iya, tulisannya kayak rengginang. kriuk..kriuk. renyah...

    BalasHapus