Review Buku: Ahangkara, Sengketa Kekuasaan dan Agama

Ahangkara berarti keakuan. Terasa sangat filosofis bukan?  Dalam ajaran-ajaran kuno, Sang Ahangkara inilah sumber dari segala bencana. Ajaran-ajaran lama selalu berupaya mengajarkan kita untuk melatih diri terlepas dari ahangkara. Dengan memahami secara lebih dalam apa itu aku, siapa aku, darimana aku, kemana aku. 

Mungkin karena kata Ahangkara itulah, saya tertarik dengan buku karya Makinuddin Samin ini. Ahangkara adalah buku kedua yang saya tulis reviewnya dalam blog ini. Alasannya sederhana saja, buku ini, terlalu mengesankan bila hanya dibaca dan didiskusikan dengan suami. Ada begitu banyak pesan dan pelajaran yang bisa didapat. Yang ternyata luput dari perhatian kita selama ini. Maka, saya membuat catatan kecil tentang buku Ahangkara. Sekedar berjaga, kalau suatu saat saya lupa. 


Judul : Ahangkara, Sengeketa Kekuasaan dan Agama 
Penulis : Makinuddin Samin 
Penerbit : Javanica 
Penyunting : Joni Sujono 
Penyelaras Akhir : Shalahuddin Gh 
Pemindai Aksara : Jenny M Indarto 
Pengambar Sampul : Imam Buncah 

Sinopsis 

Ahangkara mengambil setting pada sekitar awal abad ke-16 Masehi. Di masa kemunduran Majapahit, penguasa Nusantara yang tersohor itu. Setelah pemberontakan Raden Patah yang juga dikenal sebagai Panembahan Jimbun atas takhta Ayahnya sendiri, Kertabumi yang juga dikenal sebagai Brawijaya. Ironis, karena Jimbun adalah anak dari selir Kertabumi, Siu Ban Ci yang “diberikan” kepada Adipati Palembang, Arya Damar saat tengah hamil muda. 

Pasca keberhasilannya menggulingkan kekuasaan Majapahit, Jimbun memindahkan pusat pemerintahan ke Demak dan menobatkan Nyo Lay Wa, seorang berdarah Tiongkok sebagai raja boneka di Majapahit. Namun, mengembalikan kejayaan masa lalu Majapahit sebagai Negara Adidaya ternyata bukan perkara mudah. Hingga era kekuasaan Trenggana, Demak ternyata masih terus dihantui bayang-bayang kekuatan Majapahit. Di sisi lain, Demak juga harus melawan bangsa barat yang kala itu mulai menguasai perdagangan di Nusantara. 

Para tokoh utama kisah ini adalah keluarga sederhana di Ambulu, yaitu Ki Garga, Dugda, dan Sagara. Sederhana tapi berperan luar biasa karena mereka adalah anggota Telik Sandi yang melakukan operasi inteljen. Sebuah operasi senyap yang seringkali tidak kita sadari berperan penting dalam pertarungan kekuasaan. 

Sungguh luar biasa pertarungan kekuasaan yang terjadi di Demak pada masa pemerintahan Trenggana ini. Selain karena ambisi Trenggana untuk menaklukan kerajaan-kerajaan Brang Wetan (Jawa Timur) yang masih sangat loyal dengan Majapahit. Yang tentu saja mendapat perlawanan luar biasa sengit. Demak juga dibayang-bayangi oleh “penumpang gelap” yang ingin mengubah tujuan perang penaklukan Jawa menjadi perang antar keyakinan. 

Tak cukup begitu, intrik perebutan kekuasaan diantara para keturunan Panembahan Jimbun sendiri terus menerus menghantui Trenggana. Dendam akibat perebutan takhta antar saudara di masa lalu yang diwariskan. Adalah Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan yang tersingkir dari pusaran kekuasan Demak. Ia menuntut balas dan pertanggung jawaban Trenggana atas kematian ayahnya, Surawiyata alias Raden Kinkin, juga dikenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen

Dalam sengketa kekuasaan yang rumit inilah keluarga telik sandi Ambulu terlibat. Mereka mengatur langkah, menghembuskan berita-berita, menyadap informasi rahasia dari dalam Keraton hingga menata pertempuran fisik yang luar biasa. Operasi yang harus dijalankan dari dalam hutan selama 19 tahun dengan mengorbankan nyawa, harta, kedudukan dan cinta. 

Tentang Ahangkara 

Buku setebal 496 halaman ini membagi kisah berdasar dua masa, yaitu 1527 M (Kupu-kupu di Atas Candi) dan 1546 hingga 1549 M (Kunang-kunang diatas Kubah Masjid). Jujur saja, pada dua bab pertama di bagian Kupu-kupu di Atas Candi, saya masih tak bisa membaca akan dibawa kemana kisah ini. Ada banyak tokoh yang terlibat, dan mereka kelihatannya tidak saling berhubungan. Hingga akhir Bab 2 saya bahkan masih belum bisa memahami siapa tokoh utama cerita ini. Tapi, semua terbayar lunas setelah saya lanjut membaca bab-bab berikutnya. 

Cara bertutur Makinuddin Samin ini memang agak unik. Setidaknya buat saya. Ia melompat- lompat dari satu kejadian ke kejadian lain. Dari satu tokoh ke tokoh lain. Ditambah lagi dengan kilas balik untuk menjelaskan konteks kejadian dan pemikiran para tokoh. Bukan berarti tidak runut, justru dari situlah kita bisa memahami satu kejadian dari beberapa sudut pandang. Penulisnya mungkin sengaja menyuruh pembaca menyatukan puzzle hingga mendapat satu gambaran utuh. Luar biasa! Dia sukses membuat saya lebih dari “membaca”. Penulis ini berhasil mengajak saya, atau lebih tepatnya memaksa, menganalisa tiap kejadian dan konflik dalam novelnya. 

Saya tidak banyak menemui novel dengan tema telik sandi seperti Ahangkara ini. Apalagi, novel ini didasarkan pada kejadian sejarah. Tentu butuh riset yang tidak hanya mendalam, tapi juga lama. Karena bagian sejarah yang dituturkan dalam Ahangkara ini, boleh dibilang merupakan missing link, jeda sejarah. Bagian sejarah yang hilang atau dihilangkan dari pelajaran-pelajaran sekolah dan dari pengetahuan umum yang kita dapat selama ini. 

Nyaris sepanjang masa sekolah, saya selalu penasaran apa kiranya yang membuat Nusantara ini begitu mudah dikuasai bangsa barat hingga ratusan tahun lamanya. Pikirkan! Pelajaran sejarah selama ini hanya menyebut tentang kehebatan Majapahit. Raja terkenal adalah Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Saya malah baru tahu belakangan bahwa Hayam Wuruk hanya didampingi Mahapatih Gajah Mada sesaat diawal kekuasaannya. Gajah Mada lebih banyak mengambil peran pada masa kekuasaan Tribuwana Tunggadewi.

Lalu pasca kebesaran Majapahit, tiba-tiba pelajaran sejarah di sekolah biasanya akan langsung bercerita mengenai kedatangan Portugis, disusul Belanda dan Inggris yang akhirnya menguasai Nusantara dengan siasat divide et impera. Sungguh menganjal hati, apa yang membuat Nusantara, dengan sejarah kekuatan masa lalunya bisa dengan begitu mudah “dibodohi” dan dijajah oleh Bangsa Barat. Jawabannya berhasil saya temukan dalam novel Ahangkara ini. 

Ada pergeseran nilai-nilai hidup rupanya. Masyarakat Nusantara kala itu mungkin masih gagap dengan pergeseran nilai ini. Dan Portugis dan Belanda masuk disaat yang tepat. Cara hidup dan tatanan leluhur yang berhasil membawa Nusantara menjadi bangsa yang disegani, sudah dipreteli dan diberangus. Dihapuskan dan dimusnahkan dari catatan sejarah. Pertarungan kekuasaan yang bersumber dari Ahangkara inilah alasannya. 

Dalam karyanya ini, Makinuddin Samin dengan sangat berani menawarkan sebuah fakta sejarah baru. Fakta sejarah yang agak berbeda dari yang selama ini saya yakini. Yaitu tentang penyebaran Islam di Jawa. Saat membaca novelnya nanti, Anda juga pasti akan sadar bahwa sejak awal penyebarannya, Islam memiliki dua wajah. 

Satu wajah penuh toleran, membaur dan damai yang disebarkan dan diajarkan oleh para Wali. Sebut saja keputusan Sunan Kudus untuk membangun masjid dengan arsitektur Hindu Buddha dan cara dakwah Sunan Kalijaga yang memanfaatkan wayang purwa serta tembang dolanan. Namun ada juga wajah Islam yang keras, mudah mengkafirkan orang lain dan berhasrat untuk mengubah Nusantara menjadi seperti Arab. Tanpa candi, tanpa lontar kuno. Bagaimana? Bisa melihat relevansinya dalam berbagai kejadian di masa kini? 

Sungguh mengharukan, saat membaca usaha penyelamatan lontar-lontar kuno oleh para sisa-sisa prajurit Majapahit dari gempuran “penumpang gelap” dalam pasukan Demak. Belum lagi, keteguhan warga Ambulu, termasuk Ki Garga yang rela mengorbankan nyawa dalam menyelamatkan Candi Ambulu. Satu hal yang saya pahami, bahwa bukan sekedar wujud fisik candi atau lontar yang ingin dijaga oleh mereka. Tapi simbol dan penghargaan terhadap leluhur dan tanah air mereka lah yang harus dipertahankan. Dalam bahasa kekinian, mungkin inilah yang disebut Nasionalisme. 

Hal yang lain yang sangat menarik dalam novel ini, dan juga menjadi catatan penting buat saya adalah berbagai operasi inteljen (telik sandi) yang dijalankan. Ada siasat Erlangga, siasat Mada, dan siasat Wijaya. Siasat yang terakhir inilah yang memakan waktu hingga 19 tahun lamanya. Dikendalikan dari dalam Hutan Gelung. Sebuah siasat yang melibatkan begitu banyak anggota telik sandi dan berhasil menewaskan Trenggana. 

Jujur saja, saya agak terpana dengan penajabaran berbagai operasi telik sandi dalam Ahangkara. Lihatlah bagaimana para pasukan telik sandi ini memprovokasi para pedagang untuk protes pada Panembahan Mukmin, Raja Demak pengganti Trenggana. Kabar-kabar miring diciptakan, lalu disebar secara sistematis hingga menimbulkan keresahan dan memecah belah penduduk serta mengikis kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Itulah yang terjadi pada Demak di akhir-akhir kekuasaannya. Siasat ini pula yang konon dulu digunakan Mahapatih Gajah Mada untuk menaklukan sejumlah kerajaan di Nusantara.

Oh Tuhan! Bukankah ini kejadian yang serupa yang terjadi di Indonesia modern? Saat jatuhnya Orde Lama, ketika era reformasi, dan keresahan yang terjadi belakangan ini. Bukankah semua sangat mirip dengan kerja inteljen yang dituliskan dalam Ahangkara? 

Untuk lebih memahami, silahkan baca bukunya. Mau mendapatkan secara gratis? Gampaaang… ikuti ketentuannya dan jangan lupa jawab pertanyaan dikolom komentar. Oke! 

  • Wajib Like fanpage Javanica. Silahkan klik Javanica
  • Wajib like fanpage Makinuddin Samin . Silahkan klik Penulis 
  • Follow twitter @WiedWidya dan akun IG : @widya_narendra (optional) 
  • Share info GA ini melalui twitter dan mention @WiedWidya 
  • Jawab pertanyaan berikut di kolom komentar, dengan format : 
Nama :
Email : 
Akun Fb/Twitter: 
Link share : 
Jawaban : 

Pertanyaan : Operasi telik sandi, bisa dikatakan operasi senyap yang dijalankan oleh Negara maupun penguasa dalam rangka melanggengkan kekuasaan atau menjaga kestabilan Negara. Salah satu metode yang biasa dilakukan para telik sandi dalam mencari informasi rahasia dan penting. Para pejabat dan mantan pejabat Negara tak luput dari hal ini. Bagaimana pendapat Anda tentang penyadapan? 

  • Tersedia 2 buku Ahangkara dari Penerbit Javanica untuk dua orang pemenang yang beruntung dengan jawaban paling menarik dan anti mainstream. Jadi silahkan kemukakan pendapat sejujur mungkin. 
  • Event ini hanya untuk peserta yang berdomisili Indonesia 
  • Periode GA Ahangkara (minggu III) berlangsung 6 – 12 Maret 2017. Jawaban paling lambat ditunggu hingga pukul 23.59 WIB hari Minggu, 12 Maret 2017.
 Good Luck !!!





9 komentar

  1. Cara bertuturnya unik ya mba? Buat saya rumit, pemikirannya. Makin itu kakak kelas saya di kampus. Beberapakali suka ngobrol memang orangnya filosofis banget.
    Buat org spt saya dia itu unik. Pantaslah kalau karya nya juga filosofis.

    BalasHapus
  2. Wah penasaran sama reviewnya, pengen beli bukunya lah :)

    BalasHapus
  3. Menarik bukunya. penasaran pingin baca juga

    BalasHapus
  4. Nama : yasmiyanti
    Email : yasmiyanti24@yahoo.co.id
    FB/Twitter : Yaz / @yaz_1090
    Link share : https://mobile.twitter.com/yaz_1090/status/838688086238191616?p=v


    Menurut saya jika penyadapan itu dilakukan untuk membongkar rahasia yang memang harus diungkap, menurut saya itu sah saja. Namun jika penyadapan itu untuk kepentingan konsumsi pribadi dan tidak berhubungan dengan apapun itu, menurut saya itu sebuah pelanggaran.

    BalasHapus
  5. Nama : Yoga Surya Bintara
    Email : yogasuryabintara@gmail.com
    Akun Fb/Twitter: Yoga Surya Bintara / YogaSur35103062
    Link share : https://mobile.twitter.com/YogaSur35103062/status/839775399525564419
    Jawaban : Penyadapan? Jika pertanyaannya adalah Bagaimana pendapat Anda tentang penyadapan, kira-kira apa jawaban yang tepat? Maka saya akan menjawabnya dengan setepat mungkin (wkwkwkwk). Semua harus dimulai apa itu penyadapan, penyadapan menurut KBBI adalah proses, cara, perbuatan menyadap. Lalu, kenapa ada penyadapan? Sebenarnya penyadapan itu suatu bentuk ekstrim dari ke-kepo-an seseorang pada si doi. Lho, kok kepo? Iya, kepo; anda tidak salah baca kok. Sebenarnya orang dilahirkan dengan bakat kepo walau pun dengan kadar yang berbeda-beda. Misal jika anda memiliki kadar ke-kepo-an yang luar biasa besar, maka anda akan mulai stalking si doi hingga anda puas dengan memandang doi dari jauh (eh, puas dengan hasil stalking maksudnya 😂). Kalau anda kadar stalkingnya standart sih gpp lah ya, tapi yang jadi masalahnya kalau keponya besar bangettttzzz (maaf lebay 😂) maka anda akan berusaha untuk mengetahui sesuatu yg lebih dalam lagi (misalnya inbok fb mungkin), nah, disini lah klimkasnya, karena rasa ke-kepo-an yg besar maka udah bisa diduga bahwa anda akan berusaha sekuat tenaga utk memuaskan nafsu ke-kepo-an anda tersebut sampai-sampai menyadap gadget si doi (miris) 😢. Jadi, jika ditanya tentang pendapat saya tentang penyadapan, maka jawaban saya singkat, "Tolong dong keponya dikondisikan". Terlepas dari pro-kontra ttg penyadapan, hak asasi manusia yg paling mendasar selain hak untuk hidup adalah hak untuk memiliki privasi yg tidak boleh diobok-obok oleh stalker jahat 😡. Tapi lain lagi lho kalau penyadapannya dgn prosedur yg dibolehkan oleh hukum Indonesia & ada putusan pengadilan serta demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia, its good. Jadi intinya, kita juga harus tau konteks & materiilnya ttg suatu penyadapan itu ya guys? Agar kita tau penyadapan itu termasuk legal atau ilegal. Terima kasih. :))

    BalasHapus
  6. Nama : HERU WIDAYANTO
    Email : herudewalangit@gmail.com
    Akun Fb/Twitter : www.facebook.com/dlover.widayanto twitter@heru_dlover
    Link share : https://twitter.com/heru_dlover/status/840011821004206080

    Jawaban :
    Penyadapan, sebatas dilakukan untuk mencari informasi bagi kepentingan negara dan masih dalam koridor hukum yang berlaku (baik petugas yang memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan itu, maupun sasaran tersadap), menurut saya syah dan bisa diterima.

    Tetapi jika penyadapan itu dilakukan secara tidak prosedural, hanya untuk memuaskan ambisi orang-orang tertentu dalam memantau segala gerak lawan politiknya, apalagi jika sampai masuk ke privacy pihak tersadap, saya mengecamnya sebagai perbuatan tidak bertanggung jawab.

    BalasHapus
  7. Nama : Lidha Maul
    Email : lidhamaul@gmail.com
    Akun Fb/Twitter: lidha.maul/@lidhamaul
    Link share : https://twitter.com/lidhamaul/status/840814886825336832
    Jawaban :

    Menyadap? Sebentar. Saya mesti membayangkan bila diri saya adalah sebuah negara. Saya haruslah kokoh, kuat dan tidak tertandingi. Bagaimanapun juga saya tidak melindungi 1-2-3 orang. Selain manusia, saya juga tempat hidup alam dan kepentingan. Saya tidak mau mudah goyah oleh serangan dari luar. Tapi negara bukanlah mutlak sebuah bangunan. Kekuatan saya juga bersumber dari dalam. Dari kecintaan rakyat pada saya. Sebelum menyadap, saya harus menyelaraskan visi-misi kami bersama, dan cinta rakyat adalah penyempurna.
    .
    Tapi, rongrongan dari luar pasti ada. Rakyat yang mudah dihasut kemungkinan ada. Penyadapan bisa jadi sebuah cara mengamankan negara. Saya tahu privasi setiap orang bisa terganggu, mereka bisa kehilangan kepercayaan pada negara. Hilangnya kepercayaan mereka adalah wacana keruntuhan saya. Jadi, saya akan pilih memata-matai. Siapa yang dimata-matai? No.1 jelas MUSUH. Bila menyadap bagian dari memata-matai, maka penyadapan terhadap musuh akan dilakukan. Termasuk rakyat yang ingin menjembatani MUSUH. Negara tidak suka penyadapan terhadap rakyatnya sendiri. Sayangnya, mau tidak mau. Demi bukti yang otentik, jika pengakuan tidak pernah berhasil.
    .
    Kunci suksesnya adalah RAHASIA. Rakyat yang disadap, rahasianya tidak boleh dipublikasikan, tidak boleh disakiti, tidak boleh lebih dari seharusnya. Dan harus kembali dibangun kepercayaan dan cinta pada negerinya.
    .
    Hanya satu jenis penyadapan yang tidak rahasia dan boleh dilakukan siapa pun dalam negara. Menyadap pohon karet.
    .
    Terimakasih.
    (mohon maaf bila jawabannya kepanjangan, tapi sebenarnya pengen panjang-panjang lagi. Piss..:D )

    BalasHapus
  8. sayang bukunya sdh terbeli, sebelum tau kuisnya, tp ga apa yg penting isi bukunya mudah-mudahan bagus,,, meski dlm bentuk novel, tp bisa mengaya wawasan nusantara sebelum penjajahan,, intrik-intrik pihak 2 yang berkepentingan yg memanfaatkan trah penguasa,, sebelumnya sy membaca buku2 tulisan Damar Shashangka,,yg memberikan gambaran baru buat saya tentang apa yg "diperkirakan" terjadi di masa itu.. jayalah Nusantara

    BalasHapus
  9. Nama : Dimass Anugrah A A
    Email :dimassa3@yahoo.com
    Akun Fb/Twitter: https://www.facebook.com/dimass.a.atmaja
    Link share :

    Jawaban :
    Sejarah selalu berulang dan penyadapan yang dilakukan demi kepentingan bangsa dan tujuan yang dianggap mulia pada saat itu tentu saja dapat dibenarkan dan bilamana telah terjadi pergantian generasi dapat dianggap salah. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa penyadapan yang dilakukan atas dasar kebenaran menurut penguasa disuatu saat belum tentu dianggap benar oleh generasi berikutnya. Pada akhirnya, kebenaran suatu tindakan yang dalam hal ini adalah penyadapan, tidak berlaku universal dan sepanjang waktu, melainkan sifatnya relatif dan dibatasi oleh kepentingan pada suatu saat saja.
    Adalah tugas generasi berikutnya untuk mempelajari latar belakang dan intensi sesungguhnya dari tindakan penyadapan tersebut (dari generasi sebelumnya), bilamana dilakukan dalam suatu kemurnian sikap dan keteguhan hati untuk kemakmuran bangsa.

    BalasHapus