(Bukan Tips) Sukses Menyapih

Horeeeee Narend sudah nggak nenen lagi! Ih rasanya terharu gitu deh. Ah anakku sayang akhirnya kau berhasil melewati satu fase menuju kemapanan dan kemandirian. Diih segini amat ya rasanya. 

Sungguh lho, rasanya seperti habis menyaksikan drama korea yang super kece banget gitu. Ada kelegaan karena akhirnya mendapati ending yang indah. Tapi juga terselip rasa sedih dan haru. Aaah, sayang ya cerita bagus gitu akhirnya kelar juga. Umur Narend tiga tahun lebih tiga bulan saat benar-benar berhenti nenen. Terlambat setahun dari usia menyapih yang sering dianjurkan. Tapi nggak apa-apa. Setidaknya saya bangga karena dia akhirnya berhenti menyusu karena kesadaran dia sendiri.

Kenangan Indah

Proses menyapih yang kami berdua jalani selama setahun bukan hanya waktu yang lama, tapi juga pengalaman yang penuh warna. Buat saya, ini adalah pengalaman pertama. Pertama kali menyusui, pertama kali menyapih. Jadi saya wajar kan kalau perasaan saya begitu campur aduk selama masa menyapih. Sementara buat Narend, tentu saja ini adalah satu langkah besar dalam proses tumbuh kembangnya. Satu langkah lagi menuju kemandirian. 

Bisa dibilang, menyapih adalah pengalaman dan moment penting untuk kami kenang berdua. Itu artinya kami berdua sukses melewati satu fase lagi. Setelah fase perkenalan menyusu, fase menyusui lalu berikutnya menyapih. Semua sudah kami lewati berdua. Penuh liku dan emosi memang tapi rasanya sebanding kok dengan perkembangan kedewasaan kami. Sebelumnya, saya sempat tergoda untuk menyapih Narend tepat saat usianya 2 tahun. Apalagi, orang-orang sekitar sudah mulai “ribut” soal hal ini. 

“Ayo cepat disapih, nanti kalau kelamaan malah susah lho lepasnya.” 

“Dibawa ke mbah  X di sono aja, biar cepet lepas nenen.” 

“Coba deh payudaranya dikasih pait-paitan gitu biar nggak nenen lagi.” 

Wah, segudang deh sarannya. Saya awalnya sempat ragu juga mengikuti cara menyapih seperti itu. Apalagi dalam banyak referensi ilmu susu menyusu yang saya baca, cara menyapih macam begitu sih tidak lagi disarankan. Ada tren Weaning With Love (WWL) namanya, terjemahan bebasnya mungkin menyapih dengan cinta. Saya sebelumnya sempat berpegang teguh dengan prinsip itu,walau tidak terlalu paham bagaimana melaksanakannya, sampai akhirnya tekanan sosial membuat saya berusaha menyapih Narend dengan cara kuno. Menempelkan plester luka pada payudara, ya itu yang saya lakukan. Sukses? Mulanya sih kelihatan begitu, sampai akhirnya saya sadar ada gangguan di cara bicara Narend, nafsu makannya juga turun. Tapi dia tidak menangis, tidak mengeluh, hanya tatapan matanya menyayat hati saya. (Baca cerita sedihnya di Ternyata Menyapih itu Rasanya Woow). 

Saya menyerah. Mana ada ibu yang rela anaknya stress begitu. Saya bahkan harus memberi perhatian ekstra agar Narend tidak tergagap lagi saat berbicara. Duh ibu-ibu, saya sungguh tidak bisa menggambarkan betapa lega dan bahagianya kami berdua saat saya memutuskan untuk menyusui dia lagi. Dan saat itu, secara resmi Narend batal disapih. Romo-nya sempet menyayangkan sih tapi apalah daya dia dihadapan saya kalau soal urusan menyusui. Hehehe. 

Moment menyapih berikutnya datang lagi saat saya terpaksa tergeletak di tempat tidur karena maag. Sakit sekali rasanya sampai saya tidak sanggup bangun dari tempat tidur. Untungnya, Narend cukup pengertian, dia bersedia berhenti menyusu tapi tidak bisa berlangsung lama. (Ceritanya ada di artikel Menyapih Lagi

Sampai akhirnya saya berhenti pasang target soal kapan Narend disapih. Biarlah dia berhenti saat dia siap. Toh, rasanya saya juga belum siap melepas masa-masa indah menyusu. Tapi saat saya berhenti pasang target, dan berhenti berharap. Justru perlahan namun pasti frekuensi menyusu Narend mulai berkurang. Sebelumnya, ia bisa menyusu kapan saja dia mau, perlahan dia hanya menyusu pada waktu-waktu tertentu. Saat mau tidur misalnya. Lama-lama, ia cuma menyusu saat tidur malam, itupun tidak lama. Hanya sekedarnya lalu dia balik badan cari posisi tidur yang enak sendiri. 

Sambil dia melepaskan diri secara perlahan dari ketergantungan pada nenen, saya juga belajar untuk mulai menerima bahwa tugas saya untuk menyusui sudah hampir selesai. Jujur saja, sebenarnya saya sangat menikmati masa menyusui. Ada emosi yang sulit dijelaskan yang membuat saya sendiri merasa ikut ketagihan menyusui. 

Benar kiranya kata para ahli itu, menyusui bukan sekedar memberi makan bayi, memenuhi kebutuhan perut dan gizinya tapi juga memenuhi kebutuhan psikologisnya. Ada ikatan emosional yang hanya bisa dirasakan oleh ibu dan bayi. Makanya berat juga buat saya saat menyadari bahwa moment indah itu akan segera berakhir. 

Kerjasama Ibu dan Anak

Pada akhirnya, saya mendapat sebuah kesimpulan bahwa proses ini memerlukan kerjasama dua pihak, ibu dan anak. Ya, seperti saat pertama kali kita mulai menyusui, ibu dan bayi sama-sama membutuhkan adaptasi. Kali ini pun sama. Ibu dan anak sama-sama perlu adaptasi saat mulai menyapih. 

Selama ini, kebanyakan orang menjadikan anak sebagai objek menyusu. Mungkin karena itulah proses menyapih sering dilakukan dengan cara yang “menyiksa” anak. Mengolesi ramuan pahit, menempelkan plester luka seperti yang saya lakukan, atau cara lainnya. Dan ibunya hanya bisa nelangsa melihat anaknya bersedih begitu, tapi itu harus ditahan. Katanya demi kebaikan anak. Ah, kalau buat saya sih itu seperti memisahkan secara paksa ikatan ibu dan anak. 

Kenapa sih kita harus terburu-buru menyapih? Kenapa sih kita tidak memberi kelonggaran kepda anak, juga kepada diri kita sendiri untuk bersama-sama melalui proses ini. Toh pada satu titik nanti, anak pasti akan menyapih sendiri kok. Tidak mungkin selamanya ia menyusu pada ibunya. Jadi mengapa tidak memberikan kesempatan kepada diri sendiri dan juga kepada anak buat melepas “ikatan” ini secara perlahan. Sampai kita siap memasuki fase “ikatan” berikutnya yang tentu juga penuh warna. 

Saat menyusui, ibu tidak hanya memberikan susu kepada anaknya, ia juga menyalurkan emosinya kepada si anak. Saat menyusui, anak bisa sangat peka terhadap perasaan ibunya. Kalau dalam hati kecil saja kita masih merasa tidak rela berhenti menyusui, emosi itu pasti akan terasa oleh anak. Dan ia pun akan makin enggan berhenti menyusu. 

Jadi, sebagai ibu yang akhirnya sukses menyapih, saya sarankan kepada para ibu yang sedang berpikir atau berjuang menyapih untuk mulai menyapih dengan memantapkan hati sendiri dulu. Sebelum mencoba jurus menyapih tradisional, siapkan hati ibu untuk benar-benar rela berhenti menyusui. Sebelum memberi pengertian pada anak agar berhenti menyusu, lebih baik beri pengertian pada hati kita dulu agar mulai rela melepaskan anak kita. Emosi itu akan terasa oleh si kecil, lalu perlahan bersamaan dengan meningkatnya kemandirian, ia pun akan berhenti menyusu. 

Saya percaya hubungan antara ibu dan anak itu dinamis. Kita akan menemui masa dimana anak kita menganggap ibu adalah idolanya, ibu adalah perempuan paling cantik dan paling baik di dunia. Tapi mungkin juga kita akan melalui masa saat anak menganggap ibu adalah perempuan paling rewel dan cerewet sedunia. Mungkin juga akan ada masa lagi saat ibu dianggap sebagai penyelamat oleh anak. Kita nggak pernah tahu pasti akan seperti apa hubungan kita dengan anak-anak kita nantinya. Yang pasti kita tahu adalah cinta kita tidak akan pernah habis untuknya bukan? 

Jadi yang perlu selalu kita siapkan adalah kepercayaan dan kerelaan untuk membiarkan anak kita tumbuh dan berkembang. Karena kadang, keinginan kita untuk melindungi bisa jadi boomerang. 
Semoga sukses menyapih!

6 komentar

  1. Aku juga harus kuat, kmaren sempet nyapih Rafa dgn cara nempelin handsapalas di PD sama kya yg km tulis mbak tp gagal dan sampe skrg masih nenen. Gak tau sampe kapan 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nikmatin dl mbak..nanti kita kangen lo masa2 seperti itu

      Hapus
  2. Intimidasi mental, hehehe, gak pernah lepas dari urusan emak-emak.
    Syukurlah Narend akhirnya bisa disapih ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Akhirnya kulalui jg fase itu..kadang kangen y hehe

      Hapus
  3. Tetap semangat mba, perlu perjuangan ya menyapihnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perjuangan banget...tp rasanya beruntung bisa punya pengalaman ini..makasi y mbak

      Hapus