When Size Does (not) Matter


Setelah berhasil menyapih Narend, entah kenapa bobot tubuh saya terus merangkak naik, tak mau turun. Mungkin terlalu bahagia karena sukses menyapih setelah berjuang sekian lama? Mungkin lemak di badan saya ikut merasakan euphoria karena tidak lagi harus bangun tengah malam untuk menyusui? Entahlah.

Yang jelas begitu kenyataannya. Tiga bulan setelah berhenti menyusui, timbangan saya naik enam kilogram. Berarti rata-rata berat badan saya naik dua kilogram tiap bulan. Wooouuuuuu. Panik? Nggak juga. Awalnya saya sama sekali nggak sadar kalau nambah gemuk. Kalau badan agak berat saya pikir biasa lah itu. Adakalanya badan saya kasih warning gitu kalau saya kelamaan mager. Sekedar alarm dari tubuh kalau saya perlu giat olahraga, atau paling nggak peregangan tiap pagi deh.

Saya baru sadar bobot badan saya naik ketika orang-orang sekitar mengomentari bodi saya yang makin berisi. Mulai dari komentar yang sok sopan, sindiran sadis sampai sarkasme.

“Kayaknya tambah gemuk ya. Itu loh bajunya keliatan agak sempit.” 

“Ih pipinya kok jadi gembil gitu.” 

“Duh perutnya ko buncit gini? Hamil lagi? 

“Ya ampun mbak, lengannya itu loh jadi kayak paha kerbau.” 

Jujur saja, bukan bobot tambahan enam kilogram yang bikin hati dan pikiran saya sedih dan panik. Tapi komentar-komentar yang kebanyakan justru diucapkan oleh orang-orang terdekat saya itu. Hampir setiap hari selama beberapa bulan mendengar sindiran dan komentar soal lemak dan bobot badan gitu bikin saya malu bercermin. Karena cermin di rumah saya sepertinya makin lama makin sepakat dengan orang-orang. Iya, saya memang tambah gemuk. Makin rajin saya melihat cermin maka makin gemuk pula kelihatannya.

Jadi, saya mulai coba diet. Saya skip jam makan malam. Laper dikit nggak apa deh. Yang penting kurus lagi. Tapi, tidak makan malam bikin saya nggak nyenyak tidur. Tengah malam terbangun dengan perut perih kelaparan. Bodohnya, menu favorit untuk makan tengah malam itu adalah mie instan. Kadang dikasih bakso atau telur juga. Maka, makin gendutlah saya.

Dan komentar betapa montoknya lengan, kaki, perut dan pipi, harus saya dengarkan tiap hari. Pakai baju apapun rasanya jadi salah, nggak ada baju yang bagus di badan. Saya memang tidak perlu membeli baju dengan ukuran lebih besar. Baju lama masih banyak yang cukup, tapi ya itu tadi, jadi kayak lemper. Ketat banget. “Gemuk bikin mati gaya!” Jelek kan pikiran saya?

Saya Tidak Sendiri 

Sampai satu hari, saya memenuhi undangan acara The Face of Balga 2017 yang digelar oleh BalgaMagz di Novotel Solo. FYI, BalgaMagz ini media lifestyle yang mengambil segmen khusus untuk wanita bertubuh Plus Size. Balga sendiri dalam kosakata bahasa batak berarti besar, kuat.


Nah, The Face of Balga ini, merupakan salah satu event tahunan BalgaMagz. Semacam ajang pencarian model untuk wanita bertubuh Plus Size. Rangkaian kegiatan ini sebenarnya sudah dimulai sejak 17 Desember 2016. Dari ratusan pendaftar Ada 10 finalis yang terpilih kemarin. Para finalis ini selain mendapat pelatihan modeling, hadiah-hadiah kece dan kontrak eksklusif di BalgaMagz juga mendapat kesempatan untuk mengikuti fashion trip ke sejumlah kota, salah satunya acara di Solo yang saya datangi itu.

Datang ke acara bergengsi yang digelar di hotel berbintang begitu sebenarnya bikin saya minder. Badan lagi gemuk begini, mau pakai baju apa saja rasanya kok salah. Tapi nggak baik kan menolak undangan. Saya pun datanglah, dengan persiapan lebih dari lima jam. Bukan buat dandan tapi buat bercermin. Dan meyakinkan diri bahwa lengan saya yang besar ini tidak terlalu nampak.

Para finalis The Face of Balgaz itu berbobot minimal 70 kilogram loh, sekitar 20 kilogram lebih berat dari saya. Tapi mereka cantik, luwes dan kelihatan keren banget di mata saya. Jadi rasanya saya salah karena menganggap gemuk bikin mati gaya. Buktinya mereka semua kelihatan keren tuh.

Nyaman dengan Diri Sendiri 

Saya bertemu mbak Ririe Bogar di acara itu. Dia pemimpin redaksi BalgaMagz sekaligus penggagas komunitas Xtra-L Indonesia. Namanya sudah beberapa kali saya dengar dari beberapa liputan di media cetak dan televisi. Moment The Face of Balga itu kali pertama saya bertemu langsung dengan dia. Dan kesan pertama saya terhadap mbak Ririe adalah dia perempuan yang sangat percaya diri. Kelihatan nyaman dengan diri sendiri dan sangat ramah.

Mungkin karena itu ya, saya sama sekali nggak terpikir untuk memperhatikan tubuhnya yang berukuran Plus Size. Di mata saya dia sosok perempuan yang yang inspiratif dan kelihatan sangat bersemangat saat berbicara. Sungguh!

Singkat cerita, saya sedikit curhat ke dia, tentang penambahan bobot ini, dan betapa tak nyamannya saya dengan hal itu. Mau tau apa komentarnya?

“Itulah permasalahan kebanyakan perempuan! Ini masalah krisis kepercayaan diri. Bahkan orang yang tidak gemuk pun merasa dirinya gemuk.”

Dueeeeenggg….. Saya merasa sedikit tertampar. Gimana maksudnya nih?

Dia melanjutkan lagi. “Mbak, Anda nggak bisa lihat saya? Saya lebih besar lho dari mbak. Tapi saya nyaman saja tuh. Karena kualitas kita tuh nggak ditentukan dari ukuran tapi dari pola pikir.”

Ya keliatannya ada benarnya juga. Bukankah saya menderita begini karena berpikir bahwa diri saya jelek karena “sedikit” gemuk. Gara-gara terlalu terfokus dengan penambahan bobot ini saya jadi lupa menikmati hidup. Lupa melihat bahwa ada banyak berkah lain yang saya terima setiap hari. Mbak Ririe sendiri bercerita, ia sudah melalui fase-fase “kegelapan” itu. Dia bahkan sudah kenyang di bully karena ukuran tubuhnya. Dia juga sudah mencoba berbagai macam program diet, bahkan sampai sempat masuk rumah sakit. Tapi untungnya ada momentum yang mengantar dia pada pencerahan.

Sosok Oprah Winfrey yang terkenal itu rupanya yang menginspirasi mbak Ririe. “Saya berpikir, Oprah itu lebih besar dari saya, lebih hitam kulitnya. Tapi dia bisa sesukses itu.”

Salah satu masalah kita adalah kita kadang berpikir terlalu dangkal. Mengukur kebahagiaan berdasarkan bentuk fisik, status pernikahan, keturunan, serta hal-hal materiil lainnya. Sampai-sampai lupa bahwa kebahagiaan itu sebenarnya masalah penerimaan dan berdamai dengan kehidupan. Okelah kita tidak sempurna, tidak semua yang kita inginkan atau harapkan bisa terwujud. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti bahagia. Karena sebenarnya kita selalu punya alasan untuk bahagia.

Dalam kesempatan itu, saya belajar sedikit dari mbak Ririe tentang cara menikmati hidup.

1. Cintai diri sendiri 


Ini hal sederhana yang sering lalai dilakukan. Bayangkan, kita bisa begitu mudah mencintai pasangan, anak, keluarga hingga hewan peliharaan. Memberikan yang terbaik, memotivasi mereka, tapi kenapa hal yang sama tidak bisa kita lakukan pada diri sendiri? Bukankah kita sendiri juga layak untuk dicintai. Menunggu cinta dari orang lain kadangkala tidak selalu sesuai harapan.

Jadi kenapa tidak belajar untuk mulai mencintai diri sendiri dulu. Mencintai dan menghargai diri sendiri berarti kita memberikan yang terbaik untuk diri kita. Memberi makanan yang bergizi dan sehat, berolahraga adalah cara sederhana untuk mencintai diri.

Satu hal yang perlu kita sadari adalah kecantikan tidak berbanding lurus dengan ukuran tubuh. Lihat para finalis The Face of Balga? Mereka rata-rata berbobot lebih dari 70 kilogram tapi tetap bisa tampil cantik bukan? Jadi, kita tidak perlu menunggu body kita langsing, pipi tirus, atau hidung mancung dulu supaya bisa mencintai diri sendiri.

2. Berdamai dengan kehidupan 


Harus diakui, kehidupan tidak selalu ramah pada kita. Kadang kita bertemu orang yang seperti tak habis kata mencela, mencari kejelekan kita. Kadang juga berat badan kita melonjak gila-gilaan karena hamil atau menyapih, seperti saya. Atau mungkin kita baru kehilangan hal/ orang yang kita sayang.

Tapi alih-alih bersedih dan terus bertanya “kenapa aku?” Bukankah akan lebih baik kalau kita mulai berdamai dulu dengan keadaan. Dengan begitu pikiran kita bisa lebih jernih, hati bisa lebih tenang. Kadang dalam keadaan seperti ini, kita bisa lebih peka dengan tubuh kita sendiri. Sehingga kita tahu apa yang dibutuhkan oleh tubuh dan jiwa kita.

"Oke badan saya besar."
"Baiklah, saya pendek. Bahkan tidak sampai 1,5 meter."
 Lalu kenapa? Apa lantas saya tidak berhak menikmati hidup? Berdamailah dengan keadaan.

3. Kembangkan hobi dan potensi diri 

Melakukan hobi adalah cara terbaik untuk menikmati hidup. Melakukan hal kita suka bisa membuat pikiran kita sibuk dan terjauh dari pikiran-pikiran negatif. Saya jadi kepikiran, mungkin para haters dan pembully itu adalah orang-orang yang memang kurang kerjaan sehingga punya banyak waktu untuk menyusahkan orang lain. Lebih suka berpikir jelek daripada berkarya. Mengembangkan hobi dan potensi diri, secara langsung atau tidak langsung juga membentuk kepercayaan diri. Memenuhi kebutuhan manusia untuk mengaktualisasikan diri.

4. Kumpulkan energi positif, berteman dengan orang-orang positif


Kita ini seperti spons yang mudah menarik energi dari sekitar. Entah negatif atau positif. Untuk orang–orang yang masih labil seperti saya, terpaan energi negatif jelas sangat berpengaruh. Saya jadi sedih, susah, males makan, nggak bisa tidur. Semua karena energi negatif yang saya simpan dalam diri sendiri. Bodohnya. 

Makanya saya rasa, saya perlu lebih banyak berkumpul dengan orang-orang yang berenergi positif. Orang-orang yang tidak melulu menilai saya karena fisik, tapi menghargai apa adanya saya sebagai manusia.

Kesimpulannya, saya mungkin harus mulai belajar mengubah pola pikir dan berhenti menilai sesuatu hanya dari wujud fisiknya saja. Karena hidup sebenarnya punya arti yang lebih dalam dari itu.

Semoga jadi lebih tau ya....

10 komentar

  1. Bener banget ini, masalanya ada pada penerimaan diri dan pede sih.
    Duuh tapi membangun pede yg bakoh nggak mudah apalagi kalau biasa tak dianggap wkwkwk.
    Makanya mending cari lingkungan yg kasih support positif aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sih mbak.. butuh proses utk mengubah pola pikir dan membangun pede. Makanya aq rajin2 kumpul ama temen2 yg positif macam di KEB gt lah 😁

      Hapus
  2. iri, bisa naik 2 kg tiap bulan hehe di banding saya yang susah banget naik bbnya. emang bener mb, kita harus bahagia dengan diri sendiri dulu, orang lain mah entar aja kalo mau komen ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduuh mbak..andai sebagian bb ku bisa kusumbangin pengen bgt dah. Tapi berhubung ga mungkin.. akhirnya aq belajar nrimo dg keadaan skg dl lah. Yg penting bahagia y

      Hapus
  3. Mbak wowid gemuk? Nggak kali. Ideal mah menurutku.
    Btw, Sepakat kalau yg sibuk nyinyirin kita adalah orang2 yang kurang kerjaan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ideal?? Ah mbak aida i love u..😘😘😘😘😆😆😆
      Jarang2 ada yg komen gt deh

      Hapus
  4. yang terpenting juga tetap sehat mbaakk... ukuran apapun itu, tubuh sehat hati bahagia.. heheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia mbak.. biasanya kalau aq nambah lemak nambah masalah kesehatan..ditambah hati sedih karena jd baper tiap ada orang yg komen gemuk.. hiks

      Hapus
  5. Aku lho pingin berisi. Tapi setuju poin bergaul dengan orang yg positif. Ngaruh bangeet...

    BalasHapus
  6. Insight yang menarik mak dan tipsnya pun oke. Memang benar menjadi diri sendiri itu penting, dan stop memikirkan pendapat orang lain karena kita lebih tahu tentang diri kita.
    Permasalahan berat ini memang hal yang bikin pusing hahahah saya pun begitu. Saya nggak nyaman jika berat melebihi normal. Saya pun mencoba berdamai dan melakukan hal-hal yang membuat saya nyaman. Saya mulai menerapkan pola hidup sehat dan kembali olahraga. And it's work!

    Mereka-mereka ini selalu mengajarkan pada kita bahwa nyaman is a must. Harus bisa nyaman dengan tubuh kita, karena itu bentuk satu percaya diri yang utama. ^^

    Makanya, saya berusaha banget ngerem omongan tentang berat ke sesama perempuan. :D

    BalasHapus