Review Buku: Siwa, Ksatria Wangsa Surya

Jujur saja, sebelum ini saya belum pernah mereview buku. Saya memang penikmat buku. Tapi sebatas itu saja, belum sampai tahap menganalisa detail buku. Bagaimana alur cerita, seperti apa penokohannya. Apalagi sampai merekomendasikan ke orang lain. Ohh saya nggak sampai sejauh itu.

Tapi buku terakhir yang saya baca ini rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Saking terkesannya saya pada buku ini, saya coba membuat catatan kecil. 

Yah, semacam review begitulah. Jadi maafkan kalau review saya ini ala kadarnya. Maklum masih pemula, tentu tidak bisa disejajarkan dengan mereka yang sudah sering membuat review buku.

Jadi inilah review buku ala ala saya.

review-buku-siwa

Judul : Siwa, Ksatria Wangsa Surya
Judul Asli : The Immortals of Meluha
Penulis Amish Tripathi
Penerjemah : Desak Nyoman Pusparini
Penyunting : Shalahuddin Gh
Sampul : Imam Bucah

Sinopsis 

Kisah yang terjadi ribuan tahun silam di Lembah Sungai Indus. Tepatnya 1900 SM. Siwa, Kepala Suku Guna yang mendiami kawasan Gunung Kailasha, Tibet harus berjuang keras melindungi anggota sukunya dari ancaman Suku Pakrati yang menginginkan wilayah Danau Manasarowara, kediaman Suku Guna. 

Setiap saat harus berjaga-jaga terhadap ancaman serangan, Sungguh sebuah kehidupan yang keras.

Satu waktu, seorang utusan dari Meluha datang menawarkan kehidupan yang lebih baik untuk Suku Guna. Mengajak mereka pindah ke Meluha. 

Negara Meluha yang dihuni Wangsa Surya adalah bangsa dengan peradaban tinggi. Penduduknya berumur sangat panjang, berkat ramuan sakti bernama Somras. Ramuan rahasia leluhur Wangsa Surya yang diracik dari pohon Sanjiwani dan tirta (air) suci Sungai Saraswati.

Warga Meluha hidup dengan memegang teguh tatanan aturan ketat yang ditetapkan Sri Rama sejak ribuan tahun sebelumnya. Keteraturan dan kepatuhan terhadap tatanan kuno yang mengantarkan bangsa ini pada peradaban impian manusia modern. 

Penataan kota yang rapi, pengaturan sanitasi yang sangat baik hingga pembagian warna (kasta) berdasarkan peran dan kemampuan masing-masing penduduknya.

Negeri yang tentram ini, menghadapi ancaman besar saat aliran Sungai Saraswati, bahan utama pembuat Somras, perlahan mengering. 

Tak hanya itu, sejumlah serangan brutal juga kerap terjadi di sejumlah kawasan. Menyasar kuil dan kaum Brahman yang tak bersenjata serta permukiman penduduk. Tuduhan pelaku mengarah pada Wangsa Chandra yang mendiami kawasan Swadipa, di sebelah timur wilayah Bharatawarsa (India Kuno).

Situasi bertambah genting saat Wangsa Chandra tampaknya bersekutu dengan Kaum Naga, bangsa yang lihai berperang dan menghalalkan segala cara. Saat kejahatan merajalela tak terkendali, rakyat Meluha hanya dapat berharap pada sebuah ramalan kuno tentang seorang ksatria, Sang Juru Selamat yang akan datang membebaskan mereka dari mara bahaya. 

Sang Penyelamat ini tidak berasal Wangsa Surya maupun Wangsa Chandra dan memiliki leher berwarna nila. Itulah Sang Nilakantaha, penyelamat yang dijanjikan dalam ramalan. Ciri-ciri ini didapati pada seorang pengungsi dari Gunung Kailasha bernama Siwa.

Siwa yang lehernya berubah warna menjadi nila setelah meminum Somras kini menjadi tumpuan warga Meluha yang putus asa. Meski tidak benar-benar percaya dengan ramalan kuno itu, toh Siwa tak punya pilihan lain selain menjalankan dharmanya sebagai Juru Selamat. 

Bujukan Dhaksa, Raja Meluha, simpatinya terhadap penduduk Meluha dan cintanya kepada Sati, puteri Meluha menguatkan tekadnya untuk memimpin Wangsa Surya berjuang melawan Wangsa Chandra. 

Namun apa yang kemudian dialami Siwa justru menggoyahkan hatinya. Ia kembali ragu tentang takdirnya sebagai Nilakhanta.

Merenungkan makna penyelamat yang sebenarnya.

Kesan Saya 

Sungguh! Ini adalah satu dari sedikit novel mitologi terbaik yang pernah saya baca. Bagian pertama dari rangkaian trilogy Siwa Karya Amish Tripathi ini sukses mengaduk-aduk emosi saya. 

Saat sampai di kisah para Wikarma yang ikut berperang, saya bahkan bercucuran airmata, sedih. Sebenarnya saya yang terlalu mellow atau ini karena kelihaian penulisnya menjalin cerita hingga saya terhanyut sedemikian dalam? Ah begitulah. 

Di bagian lain, saya malah dibuat tersipu-sipu sendiri oleh adegan romantic antara Siwa dan Sati. Gemas rasanya.

Dan saya harus acungi dua jempol pada cara penulis menggambarkan situasi pertempuran dan perkelahian dalam kisah ini. Sangat detail, sangat lugas namun tidak sampai membuat kita bergidik karena terlalu sadis. 

Kita bisa belajar bagaimana perkelahian ala ksatria masa lalu. Ada aturan pertempuran yang harus ditaati ternyata. Seperti tidak membunuh musuh yang sudah menyerah, tidak menyerang dari belakang dan sebagainya.

Membaca novel ini, saya bisa membayangkan betapa dahsyatnya novel ini saat difilmkan nanti. Konon, saking fenomenalnya novel ini, beberapa rumah produksi Bollywood dan Hollywood sudah mengajukan tawaran kepada penulis untuk memfilmkan kisah ini. Salah satunya Karan Johar. Tau kan? Itu loh produser dan sutradara yang berada di balik kesuksesan Kuch Kuch Hota Hai dan Kabhi Khushi Kabhi Gham. 

Pendapat pribadi saya, film ini memang seharusnya digarap oleh orang India yang paham betul tentang latar belakang Siwa, Mahadewa.

Lebih dari itu, sepertinya saya juga harus angkat topi atas keberhasilan penyunting, Shalahuddin Gh atas sentuhannya membuat alur yang mulus, diksi yang berwarna dan penggambaran yang apik dalam Siwa versi bahasa Indonesia ini. 

Tentu, pengalamannya sebagai editor dalam sejumlah novel sejarah seperti Sabda Palon membuatnya lebih paham bagaimana membuat kisah ini terasa begitu dekat dengan budaya Indonesia.

Lanjuuut!! 

Dalam novel ini, Amish seperti membongkar pemahaman mainstream kita tentang sosok Mahadewa. Bahwa seorang dewa tidak terlahir dan menerima anugerah kedudukan tinggi sebagai Mahadewa begitu saja. 

Kedudukan itu didapat sebagai buah karma baik di kehidupannya sebagai manusia. Begitu juga dengan anggapan hanya ada satu Mahadewa. Dalam karyanya, Amish menyelipkan pemikirannya tentang posisi Mahadewa yang diemban secara bergantian dari satu jiwa ke jiwa lainnya.

Namanya juga karya fiksi, kisah ini tentu sangat berbeda dengan kisah mitologi Siwa yang dikenal selama ini. 

Meski begitu sebagian besar tokohnya mengacu pada tokoh dalam mitologi. Sebut saja Sati, sang puteri Meluha yang juga dikenal sebagai salah satu pasangan Siwa. Namun dalam kisah mitologi, percintaan Siwa dan Sati berakhir tragis setelah Sati membakar diri untuk menjaga kehormatan suaminya. 

Lalu, ada juga tokoh Maharaj Dhaksa, ayah Sati yang dalam mitologi dikenal pula sebagai Prajapati Dhaksa. Seorang penganut Mahzab Wisnu yang juga putera Batara Brahma. Dalam kisah mitologi, Prajapati Dhaksa disebutkan membenci Siwa karena dianggap biang kerok ayahnya tak mendapat pemujaan dari manusia.

Dalam beberapa kisah memang disebutkan bahwa Siwa mengutuk Dewa Brahma tidak akan dipuja oleh manusia karena berbuat curang saat bertanding bersama Wisnu. 

Dalam mitologi, Dhaksa lantas mati ditangan Rudra, perwujudan Siwa. Berbeda dalam novel Siwa ini, Dhaksa yang memuja Sri Rama, dipercaya merupakan salah satu awatara (avatar) Dewa Wisnu, disebutkan juga sangat mengidolakan Siwa. Bahkan menaruh kepercayaan dan harapan kelewat besar pada Siwa. 

Saya melihat ini seperti upaya Amish untuk mendamaikan penganut Hindu Siwa dan Hindu Wisnu yang memang kerap bertentangan. Yah, ini hanya pendapat pribadi saya.

Selain itu, adapula tokoh Nandi yang dimunculkan oleh Amish. Seperti kita tahu, dalam mitologi Hindu, Nandi adalah sapi kendaraan tunggangan Siwa yang sangat setia. Dalam novel ini, tokoh Nandi digambarkan tak jauh berbeda, bertubuh tambun namun lincah, sangat setia dan pandai.

Dari sini pula saya memahami tentang pembagian kasta dari sudut pandang lain. Tidak semata-mata untuk memisahkan dengan maksud merendahkan atau meninggikan satu manusia dengan manusia lainnya. Sistem sosial ini dibuat sebagai bentuk pembagian peran sosial. 

Setiap warna memiliki dharma-nya masing-masing. Mereka memiliki tugas, tanggung jawab dan peran yang disesuaikan dengan kemampuannya. Selama setiap warna menjalankan dharmanya dengan baik, maka keseimbangan tatanan dapat terwujud. 

Pembagian warna (kasta) tidak serta merta membuat ksatria lebih bahagia dan beruntung daripada warna waisya atau sudra. 

Ksatria memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keamanan Negara, mengatur jalannya pemerintahan dan melindungi kehidupan kasta lainnya. Atas tanggung jawab itu, ia berhak atas upeti. Pembagian kasta pun sebenarnya tidak didasari atas darah, melainkan kemampuan masing-masing. 

Nah kalau mau lebih jelas baca Siwa.

Saya sendiri nggak sabar menunggu bagian kedua dan ketiga terbit.


7 komentar

  1. Ceritanya keren mbak... Sebenarnya saya suka baca cerita fiksi yang berbau mitologi seperti ini, cuma belum ada kesempatan. Hehehehe... Sebelumnya baca Mahabarata saja udah seneng :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haduuh saya malah blom baca yg Mahabarata nih...tau cerita lengkapnya cm dr serial ama wayang tuh

      Hapus
  2. Wah kalo review buku ntuh mbak Alvina jagonya :D
    Jadi ingat kisah Mahabarata, kisah mitologi gini menarik banget :D bagaimana si penulis meramu mitologi dan fiksi menurutku ini hebat. Cara dia agar tidak bertentangan, mengambil sudut pandang lain ini keren abis.
    Harus masuk bucket list nih buku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Blog nya mbak alvina tuh jd salah satu referensiku cr buku kece mbak..Yup ni buku recommended bgt lah..baca mbak

      Hapus
  3. Noted nih buat tambah bacaan bukunya

    BalasHapus
  4. belum pernah baca bukunya..tapi sempet ngikutin ceritanya beberapa waktu lalu di TV..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yg serial tv itu berdasar mitologi mbak. Kalau novel ini ceritanya beda.

      Hapus