Bencana Ini, Apakah Kita Salah Memahami Cara Kerja Tuhan?

Saya menyaksikan siaran berita hari ini, agak enggan sebenarnya karena menonton berita hampir selalu membuat saya emosi. Tapi, kali ini, tak apalah buat pengisi waktu.

Ilustrasi gambar : okezone.com

Nah betul kan? Lagi-lagi berita buruk yang disiarkan. Banjir lagi, kali ini di sepanjang aliran Bengawan Solo. Belakangan, hujan memang lebih rajin menyapa. Nyaris setiap sore. Terus berlanjut hingga malam atau pagi. Gara-gara hujan pula, sejumlah kawasan longsor. Saya sudah tidak sanggup lagi mengikuti kelanjutan siaran itu. Terlalu banyak bencana membuat hati saya miris. Seperti tidak putus-putus bencana menghantam Tanah Khatulistiwa ini.

Coba saja kita kilas balik lagi ke awal tahun, atau mungkin malah ke awal tahun di tahun sebelumnya, seperti tidak ada jeda istirahat buat kita untuk sekadar menarik nafas lega. Bencana alam macam beruntun datang menyapa. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, silih berganti unjuk gigi. 

Anehnya, berkali-kali disapa bencana, kelihatannya tidak segera membuat kita belajar tanggap dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Ya lingkungan kita, tanah dan air kita ini, sekarang sudah tidak lagi ramah dan bersahabat dengan kita. Apa yang salah?

Tiap tahun, tiap kali terjadi bencana, kita selalu gembar-gembor tentang penyelamatan lingkungan. Isu lingkungan dibahas di media, dibicarakan di forum-forum resmi tapi tidak banyak tindakan nyata yang mengikuti. Kepedulian lingkungan, penyelamatan ekosistem dan penyelamatan kemanusiaan akhirnya berhenti pada tataran ide saja. Setelah itu, tamat. Tidak banyak aksi yang mengikuti.
Apa sih yang salah dengan otak kita? Apa kita terlalu bebal, terlalu bodoh atau kadung tidak peduli dengan keselamatan kehidupan kita sendiri.

Mungkin ya, ini hanya kemungkinan yang terbersit di benak saya. Ada yang salah dalam cara kita memandang bencana. Mungkin karena dibiasakan atau karena terbiasa? Entahlah. Tapi bencana, sering kita lihat sebagai bentuk “ujian” dari Tuhan untuk menguji sebesar apa keyakinan kita. Lalu apa? Kita lantas berserah, menyerah pada “keinginan” Tuhan.

“Kalau ini keinginan Tuhan, siapa yang bisa mencegah?” Dari kacamata agama, ini memang tidak salah. Yang salah, karena setelah itu kita berhenti berusaha, kita berhenti berpikir kritis dan tidak lagi adaptif dengan perubahan lingkungan.

Kita sama-sama tahu hubungan kita dan alam tidak lagi seharmonis sebelumnya, bukannya memperbaiki hubungan itu, kita malah kerap melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Membabat hutan lagi, lagi dan lagi. Pohon di pekarangan ditebang sekena hati karena kita tak mau repot menyapu halaman setiap hari. Pohon-pohon besar dibabat karena konon dihuni dedemit. Astaga!

Jangan-jangan, ada yang salah pada pemahaman kita mengenai cara kerja Tuhan. Kita anggap Tuhan menentukan segala sesuatu atas kemauan-Nya sendiri. Jadi kalau ada bencana, itu karena kehendak Tuhan, sebagai manusia apalah daya kita untuk mencegahnya. Lucu! Tidak kah pernah terlintas di pikiran kita bahwa Tuhan sebenarnya telah menciptakan alam beserta dengan hukum alam sekaligus, hukum sebab akibat.

Bahkan, Tuhan sendiri pun patuh terhadap hukum itu. Siapa yang menabur benih dia akan menuai hasil. Karena hukum yang ditetapkannya ini, Tuhan pun bahkan tidak ikut campur. Ia biarkan manusia menentukan sendiri nasibnya. Yang berwelas asih akan memperoleh kasih, yang menebar kebencian akan mendapat derita.

Kalau begitu cara kerja Tuhan, maka akan sangat mudah bagi kita untuk mengetahui siapa yang patut disalahkan dari bencana yang tak kunjung putus terjadi di negeri ini. Jawabannya adalah kita sendiri. Kita sendiri yang menabur kebencian pada Tanah yang konon pernah jadi negeri yang dipuja-puja dunia ini. Jadi wajarlah kalau derita ini akhirnya harus kita terima.

Kita, makhluk yang konon punya kedudukan paling tinggi diantara makhluk Tuhan lain ini, seenak hati membuang sampah di sembarang tempat yang didatangi. Lebih parah lagi, kita bahkan doyan sekali nyampah. Rusak sedikit buang, kotor sedikit buang. Sedikit sekali yang terpikir untuk mengolah memberdayakan sampah, atau setidaknya bertanggung jawab pada sampah yang dihasilkannya sendiri. Akhirnya, tidak ada lagi tempat di bumi yang sanggup menampung sampah kita.

Dan manusia, sang makhluk beradab ini dengan rakusnya menebang pohon, membabi buta membakar lahan untuk keuntungan sendiri. Menangkap binantang buat tontonan, buat pamer menaikkan gengsi. Lupa bahwa ada hak hidup makhluk lain disana. Semuanya untuk memuaskan keserakahan manusia. 
Sumber gambar : antaranews.com

Namun, mengacu pada cara kerja Tuhan itu, bukankah kita masih punya harapan? Kita punya kuasa dan kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan alam. Kita masih bisa mencegah bencana yang datang silih berganti, merenggut nyawa dan keceriaan saudara-saudara kita. Cukuplah kita menghabiskan energi mencari kambing hitam yang patut disalahkan atas datangnya bencana.

Mengapa kita tidak memutar otak, mengatur strategi untuk memulihkan hutan tropis kita yang terus menyusut setiap tahun? Mengapa tidak kita limpahkan perhatian kita untuk menjaga hewan-hewan langka yang makin terdesak habitatnya? Mengapa kita tidak belajar menjadikan hewan dan tanaman sebagai sahabat kita.

Lagi-lagi konyol, saat kita mendapati banyak monyet atau binatang lainnya “turun gunung”, mendatangi permukiman penduduk, kita malah berpikir bahwa mereka adalah hama pengganggu. Karena itu sah untuk dibunuh, kalau perlu pemusnahan secara massal. Kenapa sih tidak terlintas dibenak kita, bahwa mereka melakukan itu, karena tidak ada lagi makanan yang cukup di habitat aslinya. Makanan dihutan habis karena jumlah pohonnya menyusut. Pohon di hutan ludes lantaran kita tebang demi perluasan areal permukiman, untuk perkebunan, untuk sawah, atau malah untuk sekedar bersenang-senang, buat lapangan golf misalnya. Masih berpikir bahwa binatang-binatang itu hama? Atau malah kita “hama” sesungguhnya?

Memikirkan hal ini, teringatlah saya pada kebijaksanaan lokal para leluhur kita dulu. Leluhur yang sering kita anggap klenik, pemuja pohon yang ternyata jauh lebih manusiawi daripada kita, sang manusia modern ini. Para leluhur kita itu, punya aturan tegas saat memilih pohon yang akan mereka gunakan untuk kebutuhan. Kayu untuk bahan bangunan hanya dipilih dari pohon usia tua, dengan karakteristik tertentu saja. Saat hendak menebang pun, ada ritual semacam permohonan izin kepada Tuhan untuk memanfaatkan ciptaan-Nya. Berharap agar kayu yang ditebang itu membawa manfaat dan bukan sebaliknya. Dengan memberi perlakuan khusus kepada hutan seperti itu, tentu, mereka juga tidak berani berbuat sembarangan apalagi sampai membabat hutan lalu membakarnya seperti yang banyak dilakukan sekarang ini.

Manusia adalah bagian dari ekosistem. Kita bukan makhluk yang bisa berbuat semena-mena terhadap makhluk lain karena hidup manusia sesungguhnya sangat bergantung pada eksistensi makhluk-makhluk lain. Hidup kita bergantung pada kelestarian tanaman, kelestarian hewan yang tinggal di bumi yang sama dengan yang kita tempati ini. Menghancurkan mereka sama halnya mengundang bencana bagi lingkungan dan pada gilirannya jadi bencana untuk kemanusiaan.

Bencana Ini, Apakah Karena Kita Salah Memahami Cara Kerja Tuhan?

10 komentar

  1. Mudah2an tidak ada lg bencana yg memakan korban seperti yg terjadi sudah2 ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harapan kita semua gt y mbak...mungkin kita memang harus mulai berbenah diri n lebih peduli sjak skarang

      Hapus
  2. Kebutuhan manusia akan ruang semakin besar seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Mungkin itu juga yang membuat penebangan hutan menjadi semakin tak terkendali.

    Mari kita mulai dari diri sendiri. Suami saya sering membuat Bak Penampung Air Hujan utk rumah2 kliennya. Sayangnya ini memang agak mahal. Tapi konon katanya, ini bisa sedikit mengurangi banjir. Jika setiap rumah punya 1 bak oenampung air hujan, yg ngga permanen aja lah, insya Allah kebanjiran bisa dicegah.

    Saya juga mulai menanam pohon meski lahan rumah saya sangat sempit. Niatnya sih untuk "ngasih makan" serangga, jika musim buah-buahan tiba. Supaya keseimbangan ekosistem terjaga.

    Duh..kalau sudah bicara soal lingkungan, memang bisa jadi melebar kemana-mana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha..betul betul sebenarnya banyak y yg bs kita lakukan...semoga smakin banyak yg sadar mbak

      Hapus
  3. Mengubah kebiasaan pemicu bencana memang gak mudah. Contohnya sampah di sungai.
    Rumah mertuaku di Surabaya deket kali mba, dan yang namanya sampah, wuih...penuh. Padahal sudah disediakan tempat sampah besar dibeberapa titik. Tapi ya teteep aja pada buang ke sungai.
    Kalau hujan dikit pasti banjir, lha jalan airnya penuh sampah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang lucu yg gt kan mbak..dia sendiri yg buang sampah smbarangan, giliran kena banjir saling menyalahkan n cari kambing hitam..ckckck

      Hapus
  4. Setuju banget sama tulisan ini. Manusia sering berbuat salah, giliran kena bencana baru menyalahkan... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah waktunya introspeksi diri ya...supaya tidak lagi mewariskan bencana ke anak cucu

      Hapus
  5. Pembangunan mbak. pembangunan yang tak terbendung juga jadi penyebabnya. apalagi pembangunan asal-asalan yang tak memikirkan tentang dampaknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pembangunan yang tak beradab mbak. Dan inilah hasilnya. Sebenarnya kalau kita nggak terlalu tamak, seharusnya kita bisa tetap membangun peradaban yang ramah lingkungan kan?

      Hapus