#Batik Indonesia Untuk Siapa? Milik Siapa?


Saat kebanyakan orang sibuk berbangga, menepuk dada, bungah atas pengakuan UNESCO terhadap batik. Dan ketika sebagian besar orang tiba-tiba merasa jadi insan yang paling nasionalis karena memakai batik, saya malah sibuk bertanya-tanya dalam hati. Untuk apa pengakuan ini? Untuk siapa? Akankah sebuah pengakuan sebuah lembaga internasional akan membangkitkan batik kembali? 

Mungkin ini sama rasanya seperti saat kita membanggakan Indonesia memiliki hutan tropis luas dengan ratusan spesies flora dan fauna di dalamnya, tapi lupa bahwa kerusakan hutan berlangsung begitu cepat. Lengkap, dengan kepunahan spesies flora fauna dan kehancuran ekosistem didalamnya. Atau mungkin, rasa kebanggaan itu sama dengan saat kita mengumbar-umbar kekayaan dan keragaman budaya, suku, bahasa di Indonesia, tapi kita lupa bahwa makin hari kita makin intoleran dengan perbedaan. Yah, kita tengah diseragamkan. Kita membanggakan perbedaan padahal kita sendiri menolak bergaul dengan saudara sebangsa yang berbeda dengan kita. 

Warisan Tak Ternilai 

Batik Parang- Salah satu motif batik tertua. Memiliki makna petuah untuk tidak menyerah, ibarat ombak laut yang tidak pernah berhenti bergerak. (Wikipedia)
Batik adalah warisan budaya yang tak ternilai dari leluhur kita. Pernyataan itu saya amini dan saya akui kebenarannya. Pengakuan lembaga internasional merupakan pembuktian penting atas eksistensi budaya kita, saya juga menyadari hal itu. 

Lantas, apa itu artinya semua masalah selesai hanya dengan pengakuan lembaga internasional? Menurut saya, pengakuan ini hanya sebuah cambuk. Cambuk untuk membangunkan kesadaran kita dari tidur panjang. Kita mungkin terlalu lama terjajah, hingga kesadaran bahwa leluhur kita adalah bangsa dengan kebudayaan luar biasa pun terbenam hingga ke dasar alam bawah sadar. Termasuk salah satunya, ingatan dan pengetahuan kita terhadap batik. 

Sepanjang pengetahuan saya, batik bukan sekadar motif kain. Batik adalah hasil dari sebuah proses panjang pemberian motif pada kain. Sebenarnya pewarnaan kain dengan teknik celup dan penggunaan lilin tidak hanya ada di Indonesia, di Negara Asia lainnya seperti Cina, cara pewarnaan kain semacam itu juga umum dilakukan sejak ratusan tahun silam. Namun, pembuatan motif kain dengan menggunakan canting hanya dilakukan oleh leluhur kita. Bukan proses sederhana, karena membatik membutuhkan konsentrasi dan kesabaran tingkat tinggi dan full handmade

Makanya, membatik tidak bisa dilakukan secara instan. Dan, mungkin juga karena proses membatik yang bersifat meditatif itulah, motif batik lawas hampir selalu sarat dengan filosofi ketuhanan. Itu lantaran motif batik tercipta sebagai cermin hati pembuatnya. Proses inilah, yang mula-mula harus kita hargai, sebelum kita menghargai hasil jadinya. 

Inovasi yang Membunuh 

Tapi disini pula ironinya. Euphoria pengakuan batik oleh UNESCO membuat kita membabi buta ingin melestarikan batik. Sayang, tanpa dilandasi pemahaman yang benar. Saya membicarakan tentang inovasi batik printing yang secara perlahan sebenarnya malah membunuh batik itu sendiri. 

Sejujurnya, harapan saya sempat melambung saat antusias masyarakat kita menggunakan batik meningkat tajam. Apalagi, setelah pemerintah menetapkan Hari Batik dan mewajibkan pegawai pemerintah menggunakan seragam batik pada hari tertentu. Begitu juga dengan perusahaan swasta dan sekolah. Tapi sayangnya, antusias yang tinggi itu tidak diikuti dengan kesadaran untuk melestarikan kegiatan membatik itu sendiri. Alih-alih memakai batik karya tangan para pengrajin, kita malah lebih suka mencari cara instan membeli batik printing. Yang, menurut saya, tidak bisa dikategorikan sebagai batik. Itu hanya kain bermotif batik. Kalau ini dibiarkan terus, apa jadinya dengan industri batik yang sebenarnya. 

Memang, batik printing lebih murah. Ketersediaan di pasar juga bukan main banyak. Mudah didapatkan dimana-mana. Hal yang sulit untuk diimbangi oleh pengrajin batik tradisional yang mengerjakan seluruh proses kain batik secara manual. Tapi, kalau kita terus memilih membeli batik printing ketimbang batik tulis dan batik cap, lalu bagaimana nasib para pengrajin batik? 

Bukankah melestarikan batik berarti juga melestarikan dan mencintai kegiatan budaya membatik itu sendiri. Menghidupkan lagi semangat para pengrajin batik untuk terus membatik dan melakukan regenerasi pembatik. 
Perlu regenerasi pembatik untuk menjaga kelestarian batik.

Kalau kita membeli batik printing, bukan pengrajin batik daerah yang kita sejahterakan, melainkan pabrik kain besar yang kuat modal. Belakangan malah juga santer kabar, masuknya kain motif batik dari Cina. Nah, kalau sudah begitu, makin terdesaklah nasib pengrajin batik. 

Peran  Pemerintah 

Ini seperti kilas balik ke sekitar tahun 1970an. Saat pemerintahan Orde Baru membuka keran untuk pengusaha tekstil asing masuk ke Indonesia. Mesin-mesin tekstil mulai didatangkan, kain-kain impor makin membanjiri pasar. Di satu sisi, masyarakat diuntungkan dengan kemudahan mendapat sandang berharga murah, tapi disisi lain, kebijakan itu mematikan potensi asli Indonesia. 

Saya ingat, sekitar tujuh tahun lalu sempat berbincang dengan seorang pembatik yang tinggal di Kawasan Pasar Kliwon, Solo, Ny. Heru Bagiyanti namanya. Saat itu, ia mengaku telah 27 tahun menekuni batik tulis. “Di masa orde baru, kain impor dan mesin-mesin pembuat kain banyak masuk ke Indonesia. Alhasil, usaha batik keluarga kami makin terjepit,” kata dia. 

Sebelum itu, menurutnya, kain batik sebenarnya sempat mencicipi masa jaya. Ya, mungkin karena tidak ada pesaing. Batik bisa menjadi idola di negeri sendiri. Lalu, saat Orde Baru berkuasa dan memberi peluang pada tekstil asing untuk masuk, tersingkirlah mereka. Terpuruknya para pengusaha batik karena gagal bersaing dengan kain impor, menurut dia, membuat banyak pengrajin batik mencari peruntungan di negeri jiran, Malaysia. Bahkan, orang tuanya sendiri sempat berniat untuk boyongan ke Malaysia. Boleh jadi, itupula cikal bakal mengapa “tetangga dekat” kita itu berani mengklaim batik sebagai miliknya. Wong yang mbatik disana juga orang kita sendiri! 

Berkaca dari cerita itu, menurut saya, pelestarian batik memang harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, terutama pemerintah. Sebagai pengatur dan pembuat kebijakan, pemerintah paling berwenang dan paling mampu memberi sokongan kepada pengrajin batik. 

Belajarlah dari kesalahan masa lalu, saat pemerintah tidak memberi perlindungan yang semestinya pada pengusaha lokal, maka di generasi selanjutnya anak-anak negeri ini hanya bisa puas dengan menjadi konsumen. Kita menyejahterakan orang asing. Dan lantas menjadi budak di negeri sendiri, karena ketergantungan yang teramat besar pada bangsa lain. 

Pemerintah sebenarnya bisa memulai dengan memberi insentif kepada pengrajin batik di daerah. Menghidupkan kembali koperasi-koperasi batik di daerah dan membantu pemasarannya. Bentuk insentif bisa dengan pemberian modal usaha, subsidi untuk pembelian bahan baku seperti malam dan pewarna, yang konon, sebagian besar masih impor dari Cina, Amerika, Jerman dan Polandia. Nah lho! 

Kalau ongkos produksi batik tulis dan batik cap bisa ditekan, harga jual ke konsumen tentu juga bisa diturunkan sehingga lebih terjangkau. Tentu akan lebih baik, kalau dibuat juga pelatihan untuk membuat pewarna sendiri. Menggunakan bahan-bahan alami seperti daun-daunan, akar tanaman lokal dan kulit bawang. 

Langkah berikutnya, adalah dengan menggiatkan pelatihan membatik untuk kalangan muda sebagai upaya regenerasi. Mungkin bisa jadi keterampilan wajib bagi siswa-siswi di sekolah. Setelah itu, pemerintah juga perlu membantu pemasaran kain batik. Walau sebenarnya langkah itu sudah ada dengan mewajibkan pegawai pemerintah memakai seragam batik. Tapi kali ini, sekalian saja wajibkan seragam batik dari kain batik tulis atau cap. Tidak sulit kan? 

Itu cara paling sederhana lho ya. Saya yakin, orang-orang di pemerintahan sana jauh lebih piawai merancang program pemasaran batik yang baik agar bisa makin mendunia. Asalkan ada kemauan. 

Lebih jauh lagi, upaya pelestarian batik sebenarnya tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Sebagai bagian dari budaya bangsa, batik akan hidup bila bentuk kebudayaan lain juga dihidupkan. Seperti kesenian ketoprak, wayang, ludruk, tari-tarian tradisional dan sebagainya. Begini jelasnya, kesenian-kesenian tradisional itu selalu mengenakan batik sebagai bagian dari atributnya bukan? Kalau kesenian tradisional ini hidup, lestari dan ditampilkan dimana-mana bukankah penggunaan kain batik juga akan meningkat dengan sendirinya? 

Kalau kita benar-benar ingin melestarikan batik, bukankah seharusnya kita menghidupkan kembali penggunaan batik asli dalam keseharian? Menghidupkan kembali pakaian tradisional menjadi salah satu cara mudah yang bisa kita lakukan untuk melestarikan batik. Seperti orang-orang Jepang yang walau sangat modern tapi masih sangat bangga menggunakan kimono, begitu juga seharusnya kita. Meski modern, kita juga wajib bangga menggunakan batik diberbagai kesempatan. Tentu saja, kali ini jangan lagi menggunakan batik printing. 

Pada gilirannya, kita tetap tidak bisa menipu zaman. Karena batik printing sudah terlanjur diminati sebagian masyarakat, karena persaingan sudah terlampau ketat, satu-satunya jalan untuk bisa bertahan adalah dengan selalu berinovasi. Ya, pengrajin batik sendiri pun harus terus terbuka dengan berbagai pemikiran baru dan terus mencoba hal baru. Tentu tanpa meninggalkan pakem membatik itu sendiri. Inovasi itu, bisa saja berupa motif-motif baru, teknik pewarnaan dengan pewarna alami yang tak mudah ditiru, hingga inovasi dalam teknik pemasaran.

Mari lestarikan batik....

15 komentar

  1. Wah, kece insight nya.
    Betul, keberadaan batik printing memang jadi dilema.
    Masyarakat kita lebih suka yg murah walaupun mampu beli yg mahal.
    Semoga sih, perkembangan jaman nggak akan menggilas keberadaan batik tulis dan cap.
    Terus liat lemari, ngecek koleksi batik. Jangan-jangan saya termasuk yg suka dengan batik printing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masalahnya masi banyak jg yg blom ngeh kalo yg dibeli termasuk batik printing mbak..mungkin harus lebih gencar sosialisasinya y

      Hapus
  2. Batik memang warisan yang harus dlestarikan ya Mbak Wid. Tentunya dg inovasi2 yg dkenalkan dan diterima masyarakat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, tapi inovasi seharusnya jg tetap berpegang pada pakem asli y...supaya sama2 senang

      Hapus
  3. Yups, sekarang kebanyakan batik printing
    batik tulis mah langka, jarang banget ada yang bisa dan pembuatan lebih lamaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya dl ada pelatihan rutin buat masyarakat umum di kampung batik laweyan lho mbak..kapan2 kita coba yuk

      Hapus
  4. Umumnya orang lebih suka batik dengan harga murah. Kecuali bagi mereka yang lebih mengerti batik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak...sayang banget y. Jadinya pengrajin batik tulis dan cap kalah bersaing.

      Hapus
  5. Pemerintah, masyarakat dan pembatik harus bisa bersinergi untuk menjaga kelestarian batik.
    Gak bisa dipungkiri memang batik print ini menguasai pasaran karena terjangkau, tapi bukan berarti menyurutkan harapan bahwa batik tradisional akan terpuruk, tidak. Batik tradisional akan terus ada, inovasi harus dikembangkan tanpa menyampingkan pakem.

    Bagus tulisannya mbak Wied ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pelestarian batik emang harus diupayakan bersama sih mbak..nggak bs hanya dilakukan satu atau dua pihak saja. Semua harus sinergi, smoga makin banyak yg sadar dan mulai "bergerak"

      Hapus
  6. Tepuk tangan buat blog nya mba. Keren. Jadi ikutan mikir besok generasi penerus batik tulis nya gimana ya? Tapi dilema juga sih mba Wid sama batik printing, karena harga nya yang lebih mudah di jangkau sama masyarakat luas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sih, kalo kita emang senengnya cari yg murah y. Yah biar gmn, kl pas ada duit belilah batik tulis beneran, biar pengrajin batik tetap semangat membatik

      Hapus
  7. Ya dilematis jg ya mbak, yg sanggup beli batik asli ya kalangan tertentu saja. Tapi di sisi lain, meski harga batik asli mahal, tapi pekerja pembatik juga upahnya rendah sekali. Di daerahku sini, satu lembar kain upahnya 50 ribu, itu nggak selesai dikerjain satu hari. Jadi ya tetep, pengrajin kesejahteraannya ya gitu2 aja, karena statusnya buruh. Di danarhadi pun nggak beda jauh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah sempat dengar juga pemilik usaha batik besar yang membajak motif pengrajin batik rumahan lho mbak. Apa nggak makin ngenes ya..kayaknya peer pemerintah dan kita soal batik masih banyak banget y

      Hapus