Belajar Dari Habibie : Inspirasi untuk Anak Bangsa

habibie-mantan-presiden
Sumber Gambar : batampos.co.id

Sudah jadi tradisi setiap tahun di bulan Agustus, kalimat-kalimat patriotisme tiba-tiba digaungkan dimana-mana. Semua berbicara tentang kemerdekaan, bicara tentang Indonesia. 

Sayangnya, sepanjang pengamatan saya, pertanyaan dan topik diskusi yang terlontar setiap kali perayaan kemerdekaan masih juga tidak jauh-jauh dari pertanyaan, “Sudah merdekakah kita? Bila harga pangan masih tinggi dan tak terjangkau, bila masih banyak rakyat yang sengsara dan hidup di bawah garis kemiskinan. Layakkah kita disebut merdeka?” 

Pada akhirnya, lagi-lagi, kita hanya mampu mengeluh, mengkritisi peran Negara dan mempertanyakan kinerja pemerintah. Sungguh, masih belum terlalu banyak orang yang betul-betul melakukan aksi nyata untuk Negaranya. Termasuk juga saya, atau mungkin juga Anda? 

Kita, termasuk juga saya, lebih suka menuntut pemerintah untuk bekerja lebih keras, menyalahkan pihak ini dan itu. Ah, kita harusnya maklumlah, orang-orang di pemerintahan sana memang tidak sempurna. Mungkin terlalu banyak yang harus diurus, semua minta diprioritaskan. 

Atau mungkin mereka yang mengemban amanat rakyat itu sebenarnya tidak paham bagaimana harus mengurus Negara. Sudahlah, bagaimanapun mengeluh dan terus menuntut tanpa aksi nyata, jelas bukan solusi tepat untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. 

Kita mungkin harus belajar lebih banyak tentang patriotisme dan nasionanalisme yang sebenarnya. Bukan nasionalisme wacana tapi nasionalisme nyata. 

Sejujurnya, kita punya banyak tokoh bangsa yang bisa dijadikan panutan. Soekarno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Gus Dur dan berderet nama lainnya. Sayang, sebagian besar dari mereka tinggal nama. Memang ada banyak karyanya yang bisa kita pelajari, ada buku tentang perjalanan hidup dan pemikiran mereka yang bisa kita baca, tapi kadang akan lebih afdhol kalau kita bisa belajar nasionalisme dari tokoh yang masih hidup. 

Habibie, bagi saya adalah salah satu putera terbaik bangsa. Dia adalah tokoh hidup, dimana kita bisa belajar langsung tentang patriotisme, nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa. 

Habibie di mata saya 

Saya membaca pemberitaan tentang Pameran foto Habibie dan gebyar aneka lomba yang diselenggarakan berbagai komunitas yang tergabung dalam Friends Mandiri Museum. Pameran ini dibuka untuk umum mulai 24 Juli 2016 hingga 21 Agustus di Museum Bank Mandiri Kota Tua, Jakarta Barat. Ini membuat saya menggali lagi memori masa kecil saat pertama kali mendengar nama Habibie. 

habibie-mantan-presiden
Sumber Gambar : Kaskus

Kilas balik ke masa sekitar duapuluh tahunan silam, saat saya masih bocah. Saya ingat, setiap kali saya mogok makan, malas belajar maka orang tua saya selalu berkata “Ayo makan ikan, makan yang banyak supaya pintar seperti Habibie.” 

Di lain waktu, orang tua saya menasehati, “Belajar yang rajin, supaya bisa sekolah di luar negeri dan bikin pesawat seperti Habibie.” 

Mungkin bukan hanya saya, mungkin sebagian anak-anak generasi 80-an hingga awal 90-an juga sering mendengar hal yang sama. 

Saat itu saya menganggap, bahkan hingga saat ini, bahwa Baharuddin Jusuf Habibie adalah manusia paling pintar di republik ini. Naif memang, tapi seperti itulah saya memandang sosok Presiden ke-3 RI itu. 

Tubuhnya mungil, cara jalannya cepat, mata yang kerap terbelalak dan penuh energi, serta cara bicara yang cepat, semakin menegaskan citra Habibie di mata saya sebagai orang cerdas. Tipikal manusia disiplin yang bekerja dengan rencana terukur dan cepat. Indonesia seharusnya merasa bangga dan sangat beruntung memiliki tokoh seperti Habibie. 

Industri pesawat terbang jelas bukan industri sepele. 

Pesawat adalah moda transportasi yang, menurut saya, rumit. Di dunia bahkan tidak banyak perusahaan yang mampu memproduksi pesawat terbang, setidaknya tidak sebanyak yang memproduksi mobil atau motor. 

Dan Habibie, bukan hanya seorang insinyur perancang pesawat, ia adalah seorang jenius penemu teori Crack Progression atau yang dikenal sebagai Theory of Habibie. Pengakuan internasional juga didapat oleh penerima penghargaan Theodore Van Karman ini. Sebuah anugerah bergengsi tingkat internasional bagi para pakar konstruksi pesawat terbang dunia. 

Saking besarnya peranan Habibie, Pemerintah Jerman bahkan juga menganugerahi warga Negara Kehormatan pada dia. 

Luar biasa penghormatan dunia internasional pada suami almarhumah Hasri Ainun Besari ini. Lalu, bagaimana penghargaan yang ia dapat dari negerinya sendiri Indonesia? 

Belajar dari Habibie 

Habibie adalah orang cerdas. Selepas lulus SMA, ia terpilih sebagai satu dari ratusan pelajar SMA yang dikirim pemerintahan Soekarno keluar negeri untuk menimba ilmu teknologi dirgantara. 

Ia memperdalam ilmu teknologi penerbangan di RWTH Aachen, Jerman Barat hingga akhirnya berkarir di perusahaan penerbangan Messerschmitt-Bölkow-Blohm, di Hamburg Jerman. Tahun 1973, pemerintahan Soeharto memanggilnya kembali ke tanah air untuk melanjutkan ambisi membangun industri dirgantara Indonesia. 

Habibie sudah menjabat sebagai Vice President saat itu, posisi bergengsi. Tapi toh, ia kembali juga. Dan melalui IPTN berhasil membuat N250. Penerbangan perdana N250 pada masa itu, menyedot perhatian. 

Bangsa ini pantas berbangga karena berhasil memproduksi pesawat sendiri. Pesawat terbang adalah industri strategis. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia sepatutnya memiliki bahkan memproduksi pesawat sendiri untuk kebutuhan distribusi, transportasi bahkan untuk keamanan nasional. 

habibie-mantan-presiden
Sumber Gambar : dream.co.id

Dampak pergulatan politik tahun 1998, proyek pesawat nasional lantas dihentikan. Saya bisa bayangkan remuknya perasaan Habibie saat itu. 

Waktu, tenaga, energi yang ia curahkan sepenuhnya untuk mewujudkan pesawat nasional terasa sia-sia. Kandas begitu saja. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan menjadikan N250 sebagai bahan olokan. N250, pesawat buatan anak negeri sendiri dikatakan ringkih dan mudah jatuh, tidak akan bisa menyaingi pesawat buatan Amerika. 

Sebegitu rendahnya kerja keras itu dihargai oleh orang “kita” sendiri. 

Reformasi 1998, “memaksa” Habibie untuk terjun ke politik. Menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri atas desakan rakyat. 

Seorang insinyur yang terjun ke politik, seperti ikan yang dilempar ke daratan. Habibie dinilai tidak kompeten memimpin Negara. Sebagian malah menganggapnya presiden boneka, antek Orde Baru. 

Mungkin itulah sebabnya beberapa kebijakan pada masa kepemimpinannya dianggap sebagai kesalahan. Salah satu yang cukup kontroversial adalah referendum Timor Timur yang berakhir dengan lepasnya provinsi termuda itu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Menurut saya, tidaklah sepenuhnya benar kalau dikatakan Habibie tidak berkompeten dalam memimpin. Ingat ia pernah menjabat sebagai Vice President di perusahaan penerbangan di Jerman. Ia memimpin IPTN, bahkan bertahun-tahun menjabat sebagai Menristek. 

Untuk memimpin Negara sepertinya, ia hanya butuh adaptasi. Namun, satu hal yang perlu diingat, Habibie saat itu mewarisi sebuah Negara yang berada di tengah kondisi genting. 

Kerusuhan terjadi dimana-mana, konflik sosial berada di titik puncak menunggu pemantik untuk bisa meledak lebih dahsyat lagi, kondisi ekonomi terpuruk dalam level terendah. Dan keamanan nasional sedang berada pada masa kritis. 

Saya yakin, siapapun pemimpinnya saat itu tentu akan mengalami kesulitan. Menjadi presiden di masa genting seperti itu, layaknya menyerahkan nyawa untuk dibantai beramai-ramai oleh saudara sendiri. Tapi Habibie, lagi-lagi berdasarkan penilaian saya berhasil melewati dengan relatif mulus. 

Bayangkan bila saat itu, Habibie bertindak represif untuk menekan gejolak politik seperti yang dilakukan pemerintah Orde Baru dalam penumpasan PKI. Saya yakin sebenarnya ia bisa melakukannya. 

Dibawah kepemimpinan Habibie sebagai presiden, Indonesia berhasil menggelar Pemilu dengan lancar. Ia bahkan tidak berniat mencalonkan diri lagi menjadi pemimpin. Saya rasa politik kekuasaan bukanlah passion-nya. Lagi-lagi, kita abai pada pengorbanan Habibie ini. 

Berkali-kali dikecewakan oleh bangsanya sendiri, kelihatannya tidak membuat Habibie putus asa dengan tanah airnya. 

Toh di usia senjanya ia masih aktif berkonstribusi kepada Negara ini, salah satunya melalui organisasi Habibie Center. Padahal kalau ia mau, apa susahnya menikmati masa tua sambil bersantai di Jerman. Hidup makmur dari royalti sejumlah temuan dan teorinya. Tapi ternyata bukan itu pilihan Habibie. 

habibie-mantan-presiden
Sumber Gambar : news.metrotvnews.com

Saya juga heran kenapa beliau mau repot-repot mengabdi tanpa pamrih untuk bangsa yang sama sekali tidak mampu menghargai usaha dan pengorbanannya. 

Mungkin, ia lakukan itu karena cinta. Kecintaan Baharuddin Jusuf Habibie kepada negaranya membuat ia mengabaikan cercaan dan ejekan yang didapat dari saudara sebangsanya sendiri. 

Inilah nasionalisme yang sesungguhnya. Inilah semangat patriotisme yang sepatutnya kita teladani. Malulah terus mengeluh pada negeri ini padahal pengorbanan dan kerja kita belum lagi sebanyak Habibie. 

#Habibie80

2 komentar

  1. Mba , Uti salah satu orang yang mengidolakan Pak Habibie. Semoga di Indonesia akan lahir Habibie2 yang akan menjadikan Indonesia negara yang besar dan jadi tokoh yang berakhlak mulia seperti beliau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin uti..justru itu tugas kita sebagai orang tua kan? Untuk mndidik anak2 kita spy bs menjadi manusia yg pintar dan berakhlak spt habibie.

      Hapus