Nrimo, Korban Salah Kaprah

Jaman akan berganti. Perubahan adalah keniscayaan. 
Siapa yang berani membantah hal itu? Satu masa, Nusantara pernah berada di masa kejayaan. Masa dimana banyak negara-negara manca menaruh hormat, mengagumi bahkan memuja-muja. Namun, masa berganti, perubahan terjadi, Nusantara lalu berada dalam masa kelam. Warga pribumi dijadikan warga kelas dua. Dilarang belajar, dibatasi gerak-geriknya, bahkan diperlakukan selayaknya budak di tanah sendiri.

Dari masa kerajaan kemudian beralih menjadi Republik. Dari kain jarik, beralih jadi celana. Begitu banyak perubahan terjadi, sebagian kadang terjadi begitu cepat. Lalu bagaimana orang Jawa bisa bertahan diantara gempuran modernisasi, pengaruh budaya dari bangsa-bangsa pendatang seperti Eropa, Arab dan Cina? Itu mungkin karena karakternya yang nrimo.

Nrimo? Oh ya ampun, itu kan pandangan kuno. Sudah tidak relevan dengan jaman sekarang, era kekinian. Bagaimana kita bisa mengejar ketertinggalan dari bangsa lain kalau kita cuma bisa nrimo.

Hei tunggu dulu!! Mungkin selama ini kita salah kaprah tentang maksud simbah-simbah kita yang selalu nrimo ini. Dalam pemahaman dan budaya orang Jawa, nrimo adalah bentuk mekanisme batin untuk beradaptasi dengan lingkungan, lengkap dengan segala perubahan yang ada.

Jadi nrimo dalam budaya Jawa beda sekali artinya dengan pasrah. Sebagai catatan, pasrah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti menyerahkan sepenuhnya. Pengertian ini mungkin lebih cocok untuk dimaknai sebagai sikap pasif. Nrimo bukan berarti pasif, tidak melakukan sesuatu. Orang Jawa berpandangan bahwa hal-hal yang terjadi di dunia, sebagian besar berada di luar kendali kita. Kita, sebagai manusia hanya mampu mengendalikan apa yang ada dalam batin kita sendiri. Karena itu, alih-alih kecewa dan stres karena banyak hal terjadi diluar kendali kita, akan lebih baik bila kita mau menerima keadaan sebagaimana adanya. Yang tidak bisa diubah, tidak perlu diubah. Tapi yang bisa diusahakan harus terus diupayakan

Makanya, jangan heran kalau Orang Jawa begitu adaptatif dengan perubahan yang ada. Bahkan saya rasa, pemahaman itu pulalah yang membuat Orang Jawa bisa begitu toleran terhadap orang lain. Tanpa bermaksud tidak hormat pada kebudayaan lain. Sebut saja mengenai penetapan bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia.Padahal bila mengacu pada kekuatan pengaruh tokoh-tokoh terpelajar suku Jawa yang ikut dalam Kongres Pemuda saat itu, mungkin tidak sulit untuk "memaksakan" bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan. Namun, itu tidak terjadi.

Budaya nrimo ini pula yang membuat Orang Jawa toleran menerima perbedaan. Beda pendapat, beda agama, beda suku adalah hal yang berada di luar kendali diri. Bahkan kalau dipaksa untuk diseragamkan pun hal itu hanya akan menimbulkan konflik. Maka satu-satunya jalan tengah adalah nrimo.

Lalu bagaimana relevansi budaya nrimo di masa sekarang. Jelas, bahwa perubahan terjadi makin cepat, sebentar kita dipuja, sebentar kemudian dihina. Sebentar bergelimang harta, tak lama kehilangan. Batin yang labil, yang selalu memberontak setiap kali terjadi perubahan akan selalu tidak tenang. Batin yang memberontak akan menghabiskan energi yang besar, sampai-sampai pemiliknya tidak lagi punya cukup energi untuk hidup apalagi berupaya dengan cara yang benar.

Sepertinya ini jadi pe-er buat kita, termasuk buat saya sendiri, supaya mau menggali kembali nilai luhur yang diwariskan para leluhur. Sudah terlalu lama kita tercabut dari akar. Tidak mengenal lagi keluhuran nilai-nilai lokal tapi malah berkiblat ke budaya bangsa lain, yang sudah pasti memiliki karakter yang berbeda dengan kita. Karakter dan budaya yang mungkin kurang pas untuk kita.  

Tidak ada komentar