Ibu (tidak) Sempurna?


Baru beberapa minggu lalu, saya berlagak jadi tukang cukur rambut. Korbannya siapa lagi kalau bukan anak saya tercinta, Narendra. Rambutnya yang sedikit itu mulai gondrong dan makin nggak sedap dipandang. Maka, saya bereksperimen jadi tukang cukur dan hasilnya…gagal total. Ah saya nyerah deh. Urusan rambut Narend, saya pasrahkan ke tukang cukur.

Sebelumnya, dengan kemampuan jahit yang masih terhitung amatir, saya coba menjahit sendiri piyama untuk Narend. Tapi menjahit baju ternyata nggak sesederhana menjahit pouch, plushie atau sarung bantal. Bentuknya sih bener, seperti piyama. Tapi begitu dipakai, ada aja yang nggak pas. Bagian selangkang lah yang terlalu pendek, bagian lengan juga terlalu sempit. Belum lagi jahit bagian kerah tuh, sungguh bikin peluh. Dan….piyama buatan saya pun tidak layak pakai.

Itu cuma dua contoh kegagalan saya, kalau mau dibuat list bisa jauh lebih banyak lagi. Ada yang bikin nasi goreng ja mpe gosong. Bikin sop terlalu asin. Terus apa nih maksudnya, pamer-pamer kegagalan? Biar keliatan konyol gitu? Nggak sih. Saya cuma tersadar aja, jadi ibu “sempurna” itu sulit. “Sempurna” dalam konteks ini adalah ibu ideal yang jago memasak, piawai menjahit baju anak-anaknya sendiri, bisa jadi guru yang diandalkan untuk mengajari anak di rumah, dan segambreng “tugas” ibu ideal yang dipahami oleh masyarakat apada umumnya. Rentetan kegagalan mengerjakan urusan rumah tangga yang saya alami sejak pertama kali jadi ibu, seketika membuat saya sadar bahwa saya memang ibu yang “gagal”. Ah, perasaan seperti itu bikin saya down. Bikin saya stress. Kepikiran, gimana kalau ada ibu-ibu laen yang tau kalau saya nggak becus masak, nggak piawai menjahit dan suka norak kalau liat Shane Westlife di TV (haiyah…ketauan banget tuanya). Ih, nggak dewasa banget sih, udah emak-emak masih belagak ABG. Kalau sampai emak-emak lain tau, mungkin saya di bully, diolok-olok dan jadi bahan sindiran. Kejauhan ya mikirnya. Padahal, saya yakin usaha saya untuk jadi ibu rumah tangga yang baik juga sudah optimal lho.

Saya rela deh nggak bekerja dulu demi menyediakan waktu dan perhatian penuh untuk keluarga, terutama untuk Narend. Rela deh jam tidurnya dikurangi sampai 70% dari jam tidur orang kebanyakan. Rela kok nggak belanja baju dan make up berbulan-bulan supaya lebih hemat. Rela belajar masak supaya anak saya bisa makan makanan homemade. Saya rela deh mengurangi atau bahkan menghilangkan kesenangan saya untuk jadi ibu yang baik. Tapi, tetap saja tidak bisa jadi ibu ideal. Dan seberapa keras pun saya berusaha tetap saja ada potensi kena ejek oleh emak-emak lain. Iya kan?

Dipikir-pikir, kenapa sih saya harus membebani diri sampai sebegitu rupa untuk menjadi “ibu ideal”? Kenapa kita, para wanita ini harus mendapat beban sosial yang begitu besar untuk menjadi ibu ideal? Dan lagi, ukuran ideal itu menurut siapa? Bahagiakah kita kalau sudah mendapat predikat ibu ideal? Rentetan pertanyaan membuat saya berpikir kembali. Apakah ibu ideal membuat keluarga kami bahagia? Atau ini hanya karena saya terlalu membebani diri.

Kita nggak bisa mengelak, tidak juga bisa menafikan bahwa dibenak sebagian besar masyarakat kita masih ada persepsi bahwa tanggung jawab mengurus rumah, mengurus anak adalah domain ibu. Setiap kesalahan atau “kecelakaan” yang terjadi di lingkungan rumah adalah kesalahan ibu. Anak jatuh, gara-gara ibunya nggak perhatian. Rumah kotor, ibunya males beresin rumah. Suami korupsi, gara-gara istri menuntut beli ini itu. Suami selingkuh, masih juga ada yang salahin istrinya kurang perhatian. Ini gila!

Bagaimana bisa, sekian banyak kekacauan hanya kita, perempuan yang dipersalahkan. Bukankah tugas perempuan untuk mengandung bayi, dan melahirkan sudah cukup berat. Meski kita menjalaninya dengan cukup santai dan bahagia, tapi bukankah karena “kewajiban-kewajiban” itu kita sebagai perempuan juga jadi memiliki hak lebih? Hak untuk hidup tenang tanpa takut dihakimi. Hak untuk diperlakukan layak, dimanusiakan dan bukannya dituntut untuk melakukan lebih banyak lagi.

Kadang kita sebagai perempuan terlalu membebani diri sendiri. Ya seperti pikiran saya di awal tulisan tadi. Saat saya gagal memberikan yang terbaik buat Narend maka saya gagal. Pikiran yang begini yang seringkali bikin ibu-ibu stress. Keinginan untuk mengurus semuanya sendiri, memastikan semua hal berjalan baik. Semua itu membebani pikiran kita. Ketakutan akan dihakimi, bahkan label ibu yang tidak becus selalu membayangi kita. Lalu apa?

Sepertinya sudah waktunya untuk kita, para ibu, para perempuan menata ulang cara berpikir. Satu hal yang perlu dipahami bahwa dalam urusan rumah tangga, termasuk didalamnya urusan kebersihan rumah, masalah logistik hingga pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama. Jadi, lupakanlah pembagian tugas yang berdasar gender. Seperti suami bertugas mencari nafkah dan istri di rumah mengurus anak. Itu sudah terlalu kuno. Kalau seorang perempuan bisa bekerja sambil mengurus anak, maka suami tentu bisa melakukan hal yang sama. Maka itu artinya, seorang ayah juga harus memiliki kuantitas waktu bersama anak seperti kuantitas waktu ibu dengan anaknya. Dengan begitu, ibu tidak akan terlalu terbebani dengan tanggung jawab ganda. Harus mengurus rumah, mengurus anak, tapi juga “terpaksa” mencari uang saku sendiri.

Kedua, berhentilah menghakimi ibu atau perempuan lain. Setiap orang punya pilihan dan cara hidup masing-masing. Apa yang baik untuk kita belum tentu baik untuk orang. Berhenti menghakimi sama artinya dengan mengurangi beban pikiran orang lain.

Ketiga, sadarilah bahwa, setiap orang sedang berproses menuju kesempurnaan. Itu artinya tidak ada manusia yang betul-betul sempurna. Termasuk diri kita sendiri. Akan lebih baik, bila kita lebih menghargai proses menuju kesempurnaan itu sendiri ketimbang memaksakan diri untuk selalu tampil sempurna. Tampil sempurna setiap saat itu melelahkan. Santai saja sedikit. Masakan gosong, ya sudah beli saja makan diluar. Sesekali jajan boleh dong.

Keempat, tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan. Ibu memang wanita super, tapi ibu juga punya batas kemampuan. Maka dari itu, tidak semua hal perlu kita tangani sendiri. Jangan ragu meminta bantuan dari orang lain. Ibu yang sempurna bukan ibu yang mampu melakukan semua hal sendiri. Ibu yang sempurna adalah ibu yang bahagia, menikmati setiap detik perannya sebagai ibu.

Tidak ada komentar