Perdebatan Basi! Ibu di Rumah vs Ibu Bekerja

Banyak orang tidak paham bagaimana kerja dan peran ibu. Dan karena tidak paham, jangan harap pula mereka bisa betul-betul menghargai tiap peluh yang kita cucurkan tiap hari. Tiap perhatian dan usaha kita untuk memastikan suami, dan anak-anak bisa hidup nyaman dan menjalani hari-harinya dengan gembira dianggap angin lalu oleh mereka-mereka yang kurang paham ini.

Dan nggak asyiknya, mereka-mereka yang nggak paham ini, atau mungkin nggak mau tahu, malah dengan seenak udel mengkritisi peran kita sebagai ibu, di media sosial pula. Entah ibu yang bekerja atau ibu yang tinggal di rumah, saya yakin, setiap ibu selalu memikirkan dan mengusahakan yang terbaik untuk suami dan anak-anaknya. Terutama untuk anak-anak.

Okelah mungkin ada sebagian ibu yang kemudian memutuskan bekerja meski sebenarnya kondisi keuangan keluarga memungkinkan dia untuk tetap tinggal di rumah. Tapi apa yang salah dari hal itu? Ibu juga manusia yang butuh aktualisasi diri. Atas dasar pemikiran apapula, Anda bisa memastikan bahwa ibu bekerja lantas tidak bisa memberi perhatian cukup dan mengasuh anaknya dengan baik selayaknya ibu yang selalu tinggal di rumah. Persoalan kayak gitu bukan ilmu pasti. Bukan seperti hitungan matematika 1 + 1 = 2. Beda banget.

Ibu saya memang tidak bekerja, beliau mendedikasikan diri sepenuhnya di rumah, mengurus kami sekeluarga dengan sangat baik. Tapi, tidak sedikit pula, ibu-ibu teman saya yang bekerja tapi bisa tetap mengurus anak-anak mereka dengan baik. Malah, mereka bekerja jauh lebih keras. Saya bisa bayangkan bagaimana para ibu bekerja itu harus bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, memandikan dan mengurus segala keperluan anak dan suami yang mau sekolah dan bekerja. Sementara dia sendiri juga harus bersiap untuk berangkat kerja. Saya juga bisa bayangkan betapa peningnya kepala para ibu bekerja saat urusan kantor menumpuk sementara anak sakit. Toh, mereka tetap berusaha mengurus segalanya sesuai yang dia mampu. Apa usaha keras seperti itu tidak layak mendapat penghargaan?
Designed by Freepik

Kalaulah ibu bekerja menghabiskan waktu hingga 8 jam di kantor, sementara waktu bersama anak-anaknya setiap hari hanya bisa disisihkan 3 jam tiap hari, apa lantas ia tidak pantas disebut ibu? Logika kok ngawur!!! Kalau gitu saya balas tanya, apa bapak yang hanya menyisihkan waktu beberapa jam di akhir pekan untuk anak-anaknya juga layak disebut “bapak”?!!

Tapi sudahlah, saya menulis ini toh tidak bermaksud membuat perdebatan baru.

Layak tidaknya seorang perempuan disebut ibu, sebenarnya juga tidak pas kalau hanya diukur dengan durasi waktu pertemuannya dengan anak-anak. Ibu yang tinggal di rumah dan notabene selalu berada disamping anaknya juga kadang tidak benar-benar “hadir” untuk anaknya. Ibu sibuk dengan gadget atau nonton tv, sementara anaknya dibuat sibuk dengan tablet atau mainan yang seabrek. Tidak ada interaksi diantara keduanya. Itu yang saya sebut tidak “hadir”.

Saya juga seorang anak, saya punya pengalaman puluhan tahun menjalankan peran sebagai anak. Dan sepanjang masa ini, saya merasakan adakalanya ibu begitu sibuk dengan berbagai peran sosialnya, dan frekuensi pertemuan kami berkurang meski tinggal satu rumah. Namun apakah saya kehilangan ibu? Nggak juga, karena disela kesibukannya mengurus rumah tangga dan menjalankan peran sosial, ibu selalu ada saat saya membutuhkannya. Mendengarkan keluhan dan cerita gembira saya, bahkan bisa membaca pikiran saya. Ibu, meski tidak menghabiskan waktu 24 jam penuh bersama anaknya ternyata bisa tahu bahwa anaknya sedang sedih, meski tanpa diberitahu. Bahkan saat tinggal di perantauan dan jauh dari ibu, saya masih tetap merasakan kehadiran ibu, melalui telepon-telepon singkatnya, dan melalui kiriman makanannya.

Poinnya adalah, bukan masalah apakah seorang ibu bekerja atau tinggal di rumah tetapi apakah dia hadir sepenuhnya untuk keluarga. Jadi ibu bukan perkara gampang. Kami, para ibu bisa menggantikan peran bapak untuk mencari nafkah, dan itu sudah banyak yang membuktikan. Tapi kalian para bapak, apa bisa menggantikan peran ibu untuk memasak, mengurus rumah, merawat anak sakit, memandikan anak, memberi susu, memastikan makanan selalu tersedia di rumah, mengatur keuangan rumah tangga dan berbagai urusan tetek bengek lain? Belum banyak laki-laki yang mampu membuktikan.

Jadi, para lelaki, anak-anak, cobalah untuk memahami dan menghargai kerja keras ibu dan istri kalian. Hidup di “dunia lelaki” ini sudah cukup berat bagi kami. Kalaupun tidak bisa membantu meringankan beban kami setidaknya jangan menghakimi para ibu yang sudah mengupayakan yang terbaik bagi keluarganya.

2 komentar

  1. Aku selalu salut sama working mom.. Dulu sebelum menikah, aku sempat kerja sih, jd paham gimana sibuknya pagi hari. Makanya karena aku pikir aku ngga sanggup bangun terlalu pagi dan menyadari managemen waktuku buruk sekali, saat ini aku memilih tetap di rumah. Tapi pengen juga sih ngajar lagi. Cuma mesti nunggu ijin dari suami. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mak.. saya juga salut. Saya pribadi sih tau diri, nggak sanggup kalau harus kerja diluar sembari ngurus rumah. Makanya cari kesibukan yg lebih fleksibel aja.

      Hapus