Dari Kacamata Kita

Holaaaa,

Narend sudah 16 bulan, dan dia sudah mulai berjalan. Belum terlalu gesit memang, tapi dia bersemangat sekali, karena sekarang dia bisa mengikuti kemana pun saya pergi. Ya tentu saja dengan berjalan.

"Ibu...ikuuut!!" 
Begitu Narend sering memanggil saya. Ah, kadang kesel juga sih diikutin kemana pergi. Tapi nggak apa-apa deh. Namanya juga anak semata wayang. Sejak dia dalam kandungan, kami memang selalu berdua. Dia tidak terbiasa tinggal sendiri tanpa saya didekatnya. Begitu juga saya, yang mesti kadang risih, tetapi selalu merindukan rengekan dan celotehnya. 

Jadi, makin seringlah, kami jalan berdua, kadang kala bergandengan tangan. He he he he he.....
Dan saya mendapati bahwa langkah kami berbeda. Ya iyalah ya, panjang kaki saya saja jauh lebih panjang daripada Narend. Kaki Narend memang belum panjang, dia kan baru 16 bulan, bukan 16 tahun. Ditambah lagi, dia baru belajar berjalan. Kadang baru berjalan sebentar, Narend sudah kecapekan. Jadi kecepatan kami berjalan sudah tentu jauh berbeda.

Saya harus bersabar, sabaaaaar sekali mengikuti langkahnya yang kecil-kecil itu. Hadeewww mau ke dapur aja, rasanya jadi luar biasa lama. Karena saya terpaksa mengikuti langkah kaki bocah itu. Kadang saya suka nggak sabar. Saya angkat badannya, lalu saya gendong ke dapur atau ke tempat manalah yang jadi tujuan kami. Tapi bocah itu berontak, protes dia. "Tulu..jala-jala!!" (artinya bisa ditebak kan? maksudnya "Turun, jalan-jalan"). Saya sih gampang aja jawab "Iya, nanti jalan. Sekarang Narend mau ikut ibu nggak? Ibu gendong aja ya." Begitu saya membujuk dia.

Malamnya, saya merenung sendiri. Ketidaksabaran saya menuntunnya berjalan, bisa jadi membuat anak saya berhenti belajar. Dia memang masih kecil, belum bisa mengimbangi kecepatan saya berjalan. Tapi dia begitu semangat belajar, dan saya mengerdilkan semangatnya dengan alasan terburu-buru? Duh bodohnya....
Padahal kalau dipikir tidak ada ruginya buat saya menunggu sebentar saja, mengikuti langkah mungilnya. Paling-paling hanya terlambat beberapa menit. Toh saya juga tidak diburu waktu. Dari kacamat saya, Narend memang berjalan lamban, tapi itu karena dia baru belajar. Apalagi yang bisa diharapkan, memang tahapan itu yang harus dia lalui. Saya, sebagai orang dewasa kan tidak bisa memaksakan dia punya kemampuan berjalan seperti saya. 

Bertolak dari pemikiran itu, saya jadi berpikir lagi betapa seringnya kita melihat berbagai kejadian hanya dari kacamata kita. Bisa soal apa saja, bisa terhadap siapa saja. Mudah sekali kita men-judge orang/ pihak tertentu, mengambil keputusan tertentu untuk orang lain tanpa bertanya keinginannya. Karena kita menilai segala kondisi dari kacamata kita. Contoh aja niy, kita lihat teman kita selalu bangun siang, terus sekonyong-konyong kita cap dia sebagai pemalas. Nah lo, padahal siapa tahu saja dia bangun siang karena semalaman lembur mengerjakan orderan, atau malam-malam sampai pagi buta sibuk nge blog kayak saya (hehehehe). Atau dia terpaksa begadang karena anaknya rewel semalaman. Sementara, pada jam yang sama, kita lagi asyik molor. Gunung meletus aja kagak sadar. Terus siapa yang malas?

Kekeliruan yang sama, malah paling sering kita lakukan kepada anak kita. Yah sebut saja bocah A yang dimintai tolong ibunya untuk menyapu rumah. Ini pertama kalinya bocah itu membantu menyapu, ia bahkan kerepotan memegang sapu yang gagangnya saja lebih tinggi dari badannya. Jadi bocah ini pun menyapu seadanya, semampunya dia. Alih-alih menghargai usaha keras bocah, si ibu malah menegurnya. "Nyapu rumah kok kayak gitu? Mana bisa bersih! Masak gitu aja nggak bisa sih!"

Nah itu ibu memakai standar dia sendiri untuk menilai kerja anak. Kalau dilingkungan kerja yang memang menetapkan standar tertentu untuk karyawannya, bolehlah ditegur. Itupun dengan asumsi semua karyawan memiliki kemampuan yang seimbang dan telah melalui pelatihan khusus. Tapi adil nggak ini kalau kita berlakukan ke anak kita? Kayaknya sesekali penting juga ya buat kita melihat dari kacamata orang lain, bukan melulu dari kacamata kita.

Tidak ada komentar